Quantcast
Channel: A DAYEUH IN A LIFE
Viewing all 458 articles
Browse latest View live

Kenapa Terlalu Tampan Penting untuk Ditonton?

$
0
0
KARENA: saya termasuk barisan penggemar seri Terlalu Tampan di Webtoon, HAHAHAHAHAHA.

Ketika menonton film ini, saya baru menyadari bahwa "Pak Archewe" itu
dibaca "Pakar Cewek", bukan "Pacar Cewek"  (sumber gambar)
Ketika dikenalkan adik saya pada komik tersebut, saya langsung menyukainya dengan segala kehiperbolaannya yang melucukan. Memang selanjutnya saya tidak mengikuti seri itu karena faktor-faktor teknis dan pada dasarnya sudah kurang suka membaca komik. Tetapi ketika melihat trailernya di Youtube, saya langsung bergereget ingin menonton film adaptasinya, tidak sabar menanti hari-hari setelah 31 Januari 2018, tanggal premiernya. Di samping memang saya punya kepenasaranan khusus pada tayangan versi live action dari komik atau apa pun, saya butuh hiburan dan kesegaran dong (#apasih).

Seperti yang diutarakan dalam entri sebelumnya, saya mesti melalui perjuangan berat untuk dapat menonton film ini. (Oke, ketularan lebay.) Karena saya mesti pulang pergi dengan sepeda dan cuma tahu 21. Saya sempat putus asa ketika mengecek situs 21 dan di Bandung Terlalu Tampan tinggal diputar di Ciwalk, Ubertos, dan Jatos. Semuanya jauh dari rumah. Yang paling dekat di Ciwalk mahal pula.

Saya merasa aneh dengan kenyataan ini. Padahal belum dua minggu penayangan, tetapi kenapa film tersebut sudah turun layar dari kebanyakan 21 yang ada di Bandung? Padahal menurut beberapa review di Youtube yang satu saya tonton dan sebagian saya cuma lihat thumbnail-nya, film itu tampaknya cukup bagus. Beberapa review dalam bentuk tulisan juga menyetujui. Komedinya lebih baik dibandingkan dengan Orang Kaya Baru, katanya. Tetapi malah Orang Kaya Baru yang lebih tahan di bioskop. Saya berasumsi mungkin karena Terlalu Tampan ini terkesan remaja banget sekalay, sementara Orang Kaya Baru sepertinya lebih appeal bagi kalangan yang lebih luas.

Selain itu, di dunia nyata, orang-orang di sekitar saya, yang dalam percakapan mereka saya singgung tentang film ini, pada tidak menunjukkan ketertarikan. Bahkan adik saya yang mengenalkan komik ini kepada saya, yang ternyata telah menonton bersama temannya padahal tadinya mau saya ajak bareng, tampak tidak begitu merekomendasikan film ini. Bagi dia, ceritanya drama remaja biasa seperti di FTV sedangkan komedinya garing.

Tadinya saya mau ikhlas saja menunggu sampai film ini muncul di LK21 atau televisi. Lagi pula, ada saat-saat ketika film ini tidak lagi terasa begitu menarik.

Sampai suatu kali saya membuka Kompas. Kalau tidak capek, saya ingin rutin membaca koran--yang kebetulan dilanggan anggota keluarga di rumah--sebelum tidur. Ketika melihat iklan bioskop, khususnya poster Terlalu Tampan, biasanya saya merasa biasa saja diselipi sedikit membatin, Kapan ya bisa nonton? Namun kali itu muncul kesadaran bahwa BIOSKOP BUKAN CUMA 21. Ada juga CGV--beberapa teaternya di Bandung.

Paginya, pada hari yang tampak bagus untuk menonton bioskop karena hari nomat, saya membuka situs CGV dan mencari film Terlalu Tampan, lokasinya di Bandung, yang menawarkan HTM nomat paling murah.

Siang itu juga saya meluncur dengan sepeda ke BEC untuk merelakan Rp 35.000,00 dan menanti pemutaran pada pukul 13.20 WIB.

Memasuki Teater 6, saya melihat ada dua mbak-mbak duduk di bangku paling atas. Saya sendiri memilih bangku D8 biar pas di tengah-tengah. Menjelang pemutaran datang sepasang cowok-cewek yang duduk tepat di belakang saya. Ketika film sudah berjalan, datang lagi empat sekawan cewek semua yang juga duduk tepat di belakang saya. Di tengah pemutaran, dua cewek yang duduk di paling atas keluar. (WHY?!?!) Kalau bukan karena suara yang sesekali muncul dari belakang, plus sekali tendangan di kursi, saya sudah hampir merasa cuma seorang diri yang menonton di ruangan itu. Seolah-olah, film itu diputar hanya untuk saya.

Oke, cukup pengantarnya.

Untung selama menonton enggak mimisan, kejang-kejang, atau pingsan  (sumber gambar)
***

Saya keluar dari bioskop dengan perasaan puas dan tanpa penyesalan, tentu saja. Lagi pula, sesal itu tak ada gunanya (#pembelaan).

Terlalu Tampan bukan film drama remaja biasa. Terlalu Tampan memadamkan nafsu yang tak pernah ada untuk menonton Dilan 1991. Terlalu Tampan tidak sekadar mengandalkan kutipan-kutipan aneh dari cowok sok keren dengan cewek pendamping yang entah apakah yang tampak dari dirinya selain kecantikan dan keluguan.

Saya bukan penggemar film yang kerap kalap menambah GB di harddisk dari situs bajak laut. Cuma sejak mengenal film semacam trilogi Naked Gun, Airplane, dan sebagainya, kepekaan saya mulai tersentuh untuk memerhatikan efek-efek komedi yang disajikan dalam satu potongan gambar. Sejak berusaha mempelajari teknik menulis novel secara dramatis pula, saya merasa mulai peka dengan pengembangan karakter, pembangunan konflik, dan segala unsur yang menjadikan suatu karya benar-benar kreatif dan bukan sekadar bercerita. Dari sedikit wawasan yang masih jauh dari menjadikan saya pakar itu, saya menyimpulkan bahwa: Terlepas dari kontennya yang pro pacaran padahal pacaran itu mendekati zina kemasannya yang berkesan tersegmentasi abis (: seolah-olah khusus remaja), Terlalu Tampan merupakan film komedi yang uwah.

Siapa tidak geli ketika trio bully yang sengaja tidak naik kelas sampai tiga kali itu diperkenalkan secara anime.

Siapa tidak mesem ketika kepala sekolah ditampilkan seperti bos yakuza bertato sepanjang lengan.

Siapa tidak geleng-geleng kepala ketika kemunculan Amanda si Terlalu Cantik kerap diiringi kelopak mawar yang beterbangan.

Siapa yang tidak menikmati lagu HIVI! "Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi" yang menjadi latar ketika Kulin menginsafi bahwa dirinya tidak lebih daripada sekadar obat nyamuk.

Entahkah ada yang memerhatikan pantulan Kibo yang berubah-ubah di cermin di belakangnya saat berbicara dengan Kulin.

Entahkah ada yang mengamati keharuan Sidi karena SMA BBM menerima prom gabungan sampai-sampai air matanya mengental keluar lewat satu lubang hidung.

Entahkah ada yang menyadari bahwa cuplikan Cinta Jose seolah-olah isyarat bahwa si pembuat film memang sadar bahwa konflik yang disajikan itu sangat telenovela sekali. Terasa lucunya enggak sih, my love?

Tapi gayanya jangan ikutan Lupus dong, Mas.
(sumber gambar)
Selain itu, ketika tahu bahwa adik saya sudah menonton, saya memintanya untuk menceritakan film tersebut secara jauh lebih mendetail daripada yang ada di review-review, seperti bagaimana pemecahan konfliknya. Namanya juga penggemar spoiler, dibeberkan begitu tidak menyurutkan ketertarikan saya akan film itu. JUSTRU SAYA MAKIN TERTARIK. Sebab, saya suka tokoh utama yang antihero. Saya suka karakter berhati busuk biarpun tampangnya jauh dari busuk. Sebab, di situlah letak pergulatan manusia, pelajarannya: bagaimana menaklukkan setan-setan yang ada di dalam diri. 

Bisa dibilang, sekarang saya lebih suka versi adaptasinya daripada yang asli, biarpun Kulin versi komik mungkin lebih patut diteladani karena antipacaran, wkwk. Kalau komiknya sekadar menyajikan hiburan, filmnya bisa dijadikan pelajaran berkomedi.

Masih Mau Jadi Orang Kaya?

$
0
0
Saya mendengar tentang film ini pertama kali dari teman saya. Setelah melihat trailernya di Youtube, saya merasa agak tertarik. Tetapi ketertarikan saya menonton film ini tidak sebesar pada Terlalu Tampan. Setidaknya tidak sampai membikin saya rela pergi sendirian ke bioskop--Terlalu Tampan itu yang pertama.

Sebulan lebih berlalu. Saya kembali bertemu dengan teman saya itu dan film Orang Kaya Baru masih ada di bioskop. Dia ternyata belum menonton film itu. Saya mau menemani dia.
 
sumber
Maka, pada hari Valentine, kami sebagai pasangan teman, pergi ke Festival Citylink untuk menonton pemutaran pada pukul 16.55 WIB dengan HTM Rp 30.000,00.

Ruangan terisi tidak sampai setengahnya, tetapi jumlah penontonnya masih lebih banyak daripada sewaktu saya menonton Terlalu Tampan beberapa waktu lalu--yang padahal premiernya belakangan.

Singkat cerita, saya mengakak lebih banyak saat menonton film ini ketimbang Terlalu Tampan. Tetapi, karena beberapa faktor yang bersifat pribadi, saya merasakan euforia yang berbeda. Terlalu Tampan dikemas secara keremaja-remajaan, tentu saja, yang lebih sesuai dengan jiwa saya dan karena itu lebih menarik secara visual. Untuk Orang Kaya Baru, ketimbang menyoroti aspek komedinya, saya merasa lebih berat pada pesan moralnya ...

... yang sepertinya agak rumit untuk disimpulkan. 

Film ini mungkin meledek para OKB, tetapi mungkin juga hendak memperingati orang-orang yang hendak menjadi kaya bahwa kaya mendadak itu bisa mengakibatkan berbagai efek negatif. 

Entah juga apa bedanya antara kaya mendadak dan kaya bertahap sih.

Untuk mengatasi efek-efek negatif itu, orang mesti memiliki sikap mental tertentu dalam menghadapi dan mengelola kekayaannya. Maka, sudah siapkah Anda menjadi kaya? Kalau sampai sekarang Anda belum kaya, ya mungkin karena memang Anda belum siap untuk kaya. Maksudnya, kalau Anda tiba-tiba kaya, mudaratnya mungkin lebih besar daripada hidup Anda yang sekarang. Mungkin.

Seperti Terlalu Tampan yang menunjukkan bahwa memiliki ketampanan berlebih(an) dari sananya itu tidak selalu menyenangkan, menjadi kaya dari lahir juga belum tentu enak, kali, ya?

Tiap-tiap keadaan itu, tampan atau jelek, kaya atau miskin, sudah sepaket dengan keuntungan dan kerugian masing-masing. Ujung-ujungnya, apa pun keadaan kita, yang bisa kita lakukan hanya mensyukurinya and make the best of it untuk menggapai rida Allah.

Oke, entri kali ini lebih random daripada biasanya.

Dalam film ini, saya cenderung merasa relate pada Duta, yang karena merasa kaya, lantas menjadi yakin untuk menggapai mimpinya. Tetapi ternyata kekayaannya itu rekayasa belaka (kalau bukan ilusi), sehingga dalam keadaan kepepet mau tidak mau ia mengorbankan idealismenya.

Selebihnya, saya gagal relate. Boleh jadi impian menjadi kaya baru muncul ketika saya sudah merasakan kekurangan yang teramat sangat, seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan lalu menjadi kalap ketika disodori makanan. Biarpun ke mana-mana naik sepeda, jarang beli pakaian baru, hanya punya kurang dari setengah juta per bulan untuk bersenang-senang, tidak punya rekening di bank jangankan asuransi, dan pernikahan sakinah mawadah tampak di luar jangkauan, saya masih dapat merasa nyaman berkecukupan. Saya belum berpikiran untuk menjadi kaya, enggak tahu kalau nanti ....

Bukit Candi Ketika Sepi

$
0
0
Saya pertama kali diajak ke Bukit Candi ketika sedang ramai-ramainya, yaitu pada Minggu pagi. Sejak turun dari angkot di Alun-alun, banyak orang menyertai kami dengan pakaian olahraga menyusuri jalan menanjak. Tanjakannya tidak curam amat, tetapi cukup bikin terengah-engah bagi yang tidak terbiasa berolahraga. 

Mendekati puncak, keadaan penuh sesak oleh pengunjung dan pedagang. Suasananya kurang lebih seperti Gasibu atau Tegallega pada waktu yang sama.

Di puncak ada lapangan besar dengan dua gawang dari bambu serta area-area gundul lain sebagai spot untuk menikmati pemandangan serupa lukisan di bawahnya. Di sisinya terdapat bukit kecil yang dinamakan Bukit Candi, disebabkan oleh bentuknya yang berundak-undak menyerupai candi.

Pada kesempatan pertama itu, kami tidak sempat naik ke bukit. Banyaknya orang membikin saya tidak berselera untuk berlama-lama ke mana-mana. Kami cuma jajan tahu crispy lalu menyingkir ke area yang sebetulnya tidak sepi amat. Namun di situ kami bisa duduk memakan jajanan sembari menikmati pemandangan kali yang membelah lautan sawah di bawah dan tidak bisa berbuat apa-apa terhadap anak-anak SMP yang meletakkan sampah mereka begitu saja.

Sepulangnya dari situ, saya berangan-angan untuk suatu saat kembali mengunjungi Bukit Candi ketika sepi sekaligus turun mandi main air di kali seperti bidadari.

Kesempatan itu datang baru-baru ini.

Pada Kamis (22/2/2019) sekitar pukul tujuh pagi kami berangkat. Tidak jauh dari jalan masuk di seberang Alun-alun, kami terhambat oleh pusaran motor. Pengendara datang dari empat penjuru mata angin. Memang di perempatan itu tidak ada lampu lalu lintas dan agak ke atas terdapat beberapa sekolah. Parkir motor untuk siswa SMAN 1 Cicalengka--salah satu sekolah tersebut--sampai memakan beberapa pelataran rumah warga sekitar.

Lepas dari pusaran kemacetan, perjalanan mulai tenang namun bukannya tanpa kegetiran. (#alah) Kami menyaksikan pembangunan di kanan-kiri jalan yang mengkhawatirkan, di antaranya karena tidak kunjung selesai atau lahan yang teramat curam. Banyak juga ditemui titik-titik pembuangan sampah yang mengeluarkan bau sengit.

Segala permasalahan umat manusia tersebut tergusah begitu kami mendekati puncak. Pemandangan kota dari ketinggian memang biasanya menakjubkan. Dari sisi pembatas jalan kami bisa melihat jalan kereta, karena kebetulan sedang ada kereta yang melintas, meliuk-liuk seperti ulat berwarna perak. Padahal itu bukan ulat betulan, cuma ulat besi, kereta yang dari ketinggian tampak menyerupai ulat, tetapi tetap saja saya bergidik jijik. Biar begitu, seandainya saya fotografer dengan kamera canggih, tentu pemandangan kereta yang menyerupai ulat itu akan menjadi objek yang sangat menarik.

Sayang jalan keretanya tidak terlihat dengan kamera ponsel android saya yang tipe sangat-sederhana-sekali.
Teman saya yang warga Cicalengka sudah mewanti-wanti bahwa Bukit Candi ketika sepi menjadi ajang pemuda-pemuda setempat untuk indehoi. Tetapi, alhamdulillah, tampaknya pagi itu diberkahi bagi kami, sehingga kami tidak harus menyaksikan kemaksiatan di muka bumi. Saat kami datang, tidak ada orang lainnya di tempat itu. Dalam kesempatan begitu, it's a must untuk menaiki Bukit Candi sampai puncaknya.

Bukit Candi dilihat dari sisi jalan.
Akan tetapi, hujan semalam membuat tanah yang kami pijak menjadi lembap. Sol alas kaki kami menjadi tebal oleh tanah. Memang langkah menjadi agak berat, namun tanggung ah.

Selagi mengarungi lapangan lembap menuju bukit itulah kami mendapat adanya fenomena aneh berupa lingkaran besar di tanah. Lingkaran itu terlihat karena warnanya lebih gelap dibandingkan dengan tanah di sekitarnya. Teman saya bilang itu jejak kendaraan. Tetapi menurut saya itu tidak mungkin sebab kendaraan memiliki beban yang mestilah menimbulkan galur-galur, sementara yang ini rata saja dengan tanah di sekitarnya. Mungkinkah itu sebenarnya ...

... jejak alien?

*selipkan soundtrack The X-Files

Jalan setapak menaiki bukit tampak amat curam tanpa pijakan yang mantap. Kami melangkah dengan merayap menyerupai kera atau malah spiderman sebagai upaya berhati-hati. Sesekali kami meluapkan keraguan, kepanikan, berikut kegentaran, namun secara keseluruhan kami bergembira ria. Maksudnya, sambil tertawa-tawa (atau teriak-teriak).

Akhirnya kami tiba di puncak.

Sudah lama tidak bersinggungan langsung dengan alam liar, saya merasa kegirangan dan mengeksplorasi titik-titik tanpa tumbuhan yang hanya sedikit dibandingkan dengan area yang saking lebatnya oleh tumbuhan sampai-sampai tidak mungkin ditembus tanpa golok. Teman saya bilang dulunya, sekitar sepuluh tahun lalu, ketika terakhir kali ia mendaki ke puncak bukit itu, lahan yang lebat oleh tumbuhan liar itu berupa kebun. Tampaknya sekarang kebun itu telah lama ditelantarkan.

Sambil duduk di sebuah batu lebar, menikmati masing-masing sebutir jeruk entah keprok atau kino, dan menghadap sinar matahari pukul delapan pagi kurang, kami mengkhayalkan dibangunnya tangga yang aman dari bawah ke puncak, ditatanya lahan bekas kebun itu menjadi tempat yang Instagram-able dan seterusnya.

Di sini saya sempat ragu untuk mengambil foto atau menyimpan keindahan pemandangan yang terlihat untuk diri saya sendiri. Saya dan teman membuat pembenaran dengan membahas sedikit tentang "sampah fotografi", yang setelah membaca artikel bersangkutan secara utuh entah apakah memang ada hubungannya.

Meskipun begitu, sesungguhnya pemandangan dari puncak Bukit Candi tidak semuanya indah. Saya mendapati satu titik, di sisi lapangan di bawah, yang berupa jajaran sampah plastik sepanjang entah berapa meter. Walaupun dipikir-pikir lagi, sebetulnya itu indah juga karena berwarna-warni--tidak cuma cokelat dan hijau. Ibarat kata, ada sentuhan modernitas agar seluruh pemandangan ini tidak semata alami. Sebab yang berlebihan itu memuakkan. (#apacoba)

Dari puncak juga terlihat bahwa di lapangan ternyata tidak hanya terdapat satu lingkaran besar, tetapi ada juga dua lingkaran lain yang lebih kecil. Saya menunjukkan kepada teman saya bedanya lingkaran itu dengan galur-galur yang lebih mungkin merupakan jejak kendaraan. Ini menguatkan dugaan saya bahwa lingkaran-lingkaran itu sebenarnya ...

... jejak alien?

*putar lagi soundtrack The X-Files

Setelah "menanam" (baca: melempar ke semak-semak) biji jeruk berikut kulitnya, mengharapkannya agar tumbuh berbuah lebat memberi makan pengunjung dan menjadi amal jariah bagi kami, kami pun menyudahi aktvitas yang sangat menyehatkan itu dan menghadapi masalah berikutnya: mencari jalan turun. Kami menemukan jalan setapak yang kira-kira aman untuk dituruni, dan melaluinya sembari berjongkok. Rasanya memang seperti disetrap atau habis ditangkap polisi, namun kini kami mengerti sebabnya jalan bebek kerap digunakan sebagai hukuman: Ini semata soal survival.

Kami menghabiskan beberapa saat di teras masjid terdekat untuk mencungkili tanah dari sol alas kaki menggunakan ranting atau tongkat yang ditemukan di jalan.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke kali ...

... yang ternyata harus dengan menerobos kebun orang.

Yang dimaksud dengan menerobos ini bukan sekadar lewat di tepiannya, melainkan membelah di tengah-tengahnya, yang membuat kami ragu untuk meneruskan.

Lagi pula arus kalinya sedang deras dan sepertinya tidak aman untuk main air di sana. (#penghiburan)

Jadi kami hanya duduk-duduk di naungan beratapkan lembaran karung pupuk dan berbangkukan bilah-bilah bambu, kemudian turun sedikit dan menghabiskan waktu sejenak di area yang datar (sebelum terhambat oleh kebun orang itu) untuk menikmati pemandangan dan mengambil foto.

Di sini saya menyesal karena tidak mengambil foto sewaktu berada di puncak Bukit Candi. Baru terpikirkan oleh saya untuk memamerkan keindahan pemandangan ini pada teman-teman mengobrol di luar negeri 

(Sekaligus untuk menunjukkan kemungkinan jejak alien, tentunya.)

(*tet not tet not tet nooot ....)

Kali impian yang rupanya belum kondusif untuk dikunjungi.
Melihat jalur cahaya berasa mendengar koor dari langit.
Sumedang di sebelah mana, hayo?
Ini baru yang namanya refreshing! Bukannya menghabiskan seharian di perpustakaan daerah untuk membaca buku yang menjelimet--itu mah repressing.

Merasa cukup bersinggungan dengan alam luas, kami pun pulang dengan melanjutkan khayalan dibangunnya trotoar di sepanjang jalan dari dan ke Bukit Candi supaya kami sebagai pejalan kaki punya jalur yang layak untuk melangkah tanpa harus menghindari becek dan sampah, tanpa mesti sesekali diklakson kendaraan dari belakang.

Begitu sampai di rumah, kami tidak melakukan apa pun lagi sampai setelah zuhur selain menunaikan sunah rasul, yaitu tidur.

Untuk mencapai Bukit Candi langsung dari Kota Bandung (baca: tanpa menumpang lebih dahulu di rumah teman yang warga Cicalengka), kita bisa menaiki KRD jurusan Cicalengka dengan harga tiket untuk saat ini lima ribu rupiah. Dari Stasiun Cicalengka, kendaraan umum berikutnya adalah angkot hijau yang melewati Alun-alun dengan ongkos untuk saat ini dua ribu atau tiga ribu rupiah. Kemudian kita tinggal mengikuti jalan masuk di seberang Alun-alun sampai ke puncak, tanpa harus ripuh oleh belokan mana yang mesti diambil. Perjalanan dengan kaki ini tidak sampai satu jam, mungkin hanya sekitar setengah jam. Selamat refreshing yang sesungguhnya, wahai orang kota!

"Terbaik Untukmu" TIC Band yang Bikin Baper sama Masa Lalu Seorang Om-om

$
0
0
Saat itu Valentine, saya sedang berada dalam ojol-tapi-mobil yang memutarkan lagu-lagu akhir '90-an awal 2000-an. Saya bersama seorang teman yang, baru saya sadari, entah kenapa, sebelum ini, ketika bersama dia pun, di sekitar kami ada yang memutarkan lagu pada era tersebut, hanya saja waktu itu lagu yang saya ingat adalah Caffeine, "Hidupku 'Kan Damaikan Hatimu". Teman saya ini memang berusia beberapa tahun lebih tua daripada saya. Ketika saya baru masuk SD, ia sudah ABG dan pasti lagi baper-baper-nya dengan lagu-lagu Indonesia yang sedang tren pada waktu itu.

Jadi, pada kesempatan yang baru terjadi kurang dari dua minggu lalu itu, saya baru ngeh sama lagu ini. Saya dengarkan liriknya: 

Jangan kau pergi dariku
bila waktuku 
sedikit untukmu

Seketika itu saya teringat pada kisah orang yang baru saya kenal awal tahun ini juga. Memang kisah itu sudah lama berlalu, tepatnya sekitar medio 2000-an. Orang ini juga berusia jauh lebih tua daripada saya. Ia lebih tua daripada teman saya yang tadi itu. Kalau enggak salah ia lahir pada 1975. Jadi ketika ia sudah pegawai kantoran, saya masih SMP. Orang ini, sebut saja dengan inisialnya, RPA, punya pacar sejak tahun pertama kuliah. Jadi saat itu mereka sudah berpacaran kira-kira sepuluh tahun, hingga perusahaan milik Jepang tempat RPA bekerja menawari dia untuk menimba pengalaman di kantor pusat selama beberapa tahun. Kantor pusatnya, ya, di Jepang, sehingga RPA mesti LDR dengan pacarnya. 

Kaitannya dengan lirik lagu ini, sejak bekerja di perusahaan Jepang itu, RPA menjadi lebih sibuk daripada ketika bekerja di tempat-tempat sebelumnya, yang intinya, sangat sibuk sekali. Tidak usah dipungkiri, RPA memang mengejar materi. Ia sudah berada di usia yang cukup untuk menikah. Ia ingin menikahi pacarnya. Tetapi, ini kisah di mana-mana, sang calon mertua punya aspirasi sendiri. Tahulah, aspirasi macam bagaimana itu. Jadi, sekalipun ia banting tulang memajukan karier sampai pindah ke Jepang beberapa lama, satu tujuan terpendam di benaknya. 

Dengan suara pelan, supaya tidak terdengar oleh sopir ojol versi mobil, walau pastinya kedengaran juga sih, saya bertanya kepada teman saya, "Ini lagu siapa?"

"TIC Band," jawab dia.

Ketika kami sudah berjalan-jalan di Festival Citylink, menanti pemutaran Orang Kaya Baru, saya bertanya lagi, "Lagu TIC Band tadi judulnya apa?"

"Tunggu, tunggu, ini lagu kesukaan aku da," kata dia. Saya pun menunggu sementara ia menggumamkan lirik lagu itu dengan suara pelan, mengingat-ingat, barangkali di situ terselip judulnya. Lalu kata dia, "'Terbaik Untukmu'."


Beberapa hari ini, entah sampai berapa kali dalam sehari, saya memutar lagu tersebut di Youtube. Saya masih menerka-nerka reaksi RPA ketika mendapat surel dari pacarnya, yang menjelaskan tentang semuanya yang intinya akhir dari hubungan mereka. 

Di samping menikmati vokal yang serak-serak kumaha kitu lagi menyayat-nyayat meratap merintih pilu, seperti yang frustrasi, dengan putus asa memohon, khususnya di bagian Jangan kau pergi dariku, saya membayangkan sepertinya RPA ingin berteriak, mungkin sekali menangis, atau, yah, jiwanya pasti bergejolak terkoyak-koyak terporak poranda.

Setiap embusan napasku
kulakukan yang 
terbaik untukmu

Orang religius mungkin akan bilang di setiap embusan napas itu semestinya berzikir, melakukan yang terbaik itu ditujukan kepada Tuhan--kalau kepada manusia itu syirik. Wallahualam. Waktu itu memang RPA enggak agamis, enggak tahu kalau sekarang. Dari beberapa orang yang pernah mengalami kebersamaan dengan dia, saya tahu pengorbanan dia untuk sang pacar tidak sedikit. Ketika pacarnya menjalani sidang skripsi, ia datang. Ketika pacarnya mengikuti upacara wisuda, ia datang. Ketika pacarnya diterima kerja untuk pertama kali di pabrik di luar kota, ia kos satu bulan di dekat situ dan mengantar-jemput. (Alasannya pada orang tua supaya ia bisa berkonsentrasi mengerjakan Tugas Akhir, karena di rumah adiknya yang masih SD berisik dan ganggu melulu.) Ketika pacarnya kabur dari perusahaan dan kembali ke Bandung menjauhi orang tua, ia membantu mencarikan kos lagi. Ketika pacarnya menganggur, ia mencarikan kegiatan yang sekaligus bisa menjadi sumber penghasilan. Ketika pacarnya sudah diusir ibu kos karena tidak mampu bayar, ia rela menanggung biaya hidup sampai menjual sebagian koleksinya.

Setelah mendengarkan berkali-kali di Youtube pula saya jadi bisa mencermati liriknya. Saya merasa lagu ini semakin relate saja dengan RPA, khususnya di bagian:

Mengertilah, 
karena hidup takkan semudah kau kira
ku harus berlari mengejarnya

Sebenarnya, hidup sang pacar sedari awal memang sudah tidak begitu mudah: hubungannya dengan orang tua kurang baik, kepribadiannya introver parah, dan punya gangguan panik yang kadang menyebabkan dia pingsan. Selama berpacaran, pada umumnya RPA sangat baik pada pacarnya itu dengan selalu optimistis, mendukung, dan menghibur. 

Tetapi, yah, seperti yang dikatakan dalam potongan lirik barusan, ada saatnya ketika RPA memahamkan sang pacar bahwa hidup takkan semudah kau kira, kau harus berlari mengejarnya. Sudah saatnya, sang pacar juga harus ikut berlari. RPA mulai bersikap keras. Apalagi mereka kan mau menikah. Seperti kata Dilan, Nikah itu berat, kamu enggak akan kuat

Dan, justru, ketika itulah, ketika mereka belum lama LDR pula, ada laki-laki lain yang masuk yang rupanya terasa lebih sreg. Dan, seperti cerita beberapa orang yang sudah menikah dan beranak-pinak, kalau memang sudah jodohnya, segalanya menjadi lancar, prosesnya cepat, tahu-tahu ijab kabul. Pokoknya proses dengan si jodoh yang kurang dari setahun itu jauh lebih mulus daripada sekian belas tahun dengan RPA. Yah, begitulah nasib, deritanya tiada akhir.

Demikianlah, dikompori lagu "Terbaik Untukmu" dari TIC Band, saya kok jadi ikut baper dengan kisah orang lain yang sudah berlalu belasan tahun ini. Membayangkan reaksi RPA atas kejadian ini, saya hanya bisa berharap mudah-mudahan sekarang di usianya yang sudah empat puluhan tahun, ia telah dikaruniai istri dan anak-anak yang menenteramkan serta nyaman dengan pekerjaannya. Amin.

Petunjuk Mendetail tentang Cara Membuat Manga yang Cocok bagi Pemula yang Sama Sekali Tidak Berbakat namun Berkemauan Kuat

$
0
0
(Lagu untuk mengiringi pembacaan ini:)





Suatu ketika pada 2003 di sebuah SMP di Kodya Bandung …



Ketika kembali duduk di bangkunya, Fazaha memerhatikan di kolong ada buku lumayan besar dengan sampul berwarna. Fazaha menarik keluar buku dalam plastik bersegel itu.

sumber gambar

How to Draw and Create Manga

Fazaha tercengang.

Ia membuka segel. Rupanya ada dua buku: volume satu dan volume dua. Ketika membalik sampul buku volume pertama, Fazaha menemukan secarik kertas bertulisan:

JAHE-CHAN
BAIKAN YUK
^_^

Fazaha gondok. Ia menoleh ke seberang kelas 1A. Alfian melambaikan tangannya dengan girang. Fazaha mendesah. Ia kembali pada buku itu. Namun guru keburu datang. Cepat-cepat ia menutup dan mendorong buku itu ke kolong.



Alfian seakan-akan sudah tahu Fazaha akan menghampirinya sepulang sekolah.

“Ini apa?” Fazaha masih belum mau tersenyum. Ia menyorongkan plastik berisi dua volume buku itu.

“Buku.

“Iya, tahu, ini buku!” sahut Fazaha. “Maksudnya apa?”

“Buat kamu.”

“Beneran?”

Alfian mengangguk-angguk.

Fazaha mengeluarkan buku volume pertama. Ia membuka sampul belakangnya lalu memperlihatkan halaman terakhir. Sebuah tanda tangan dengan pulpen memenuhi hampir seluruh halaman itu. Di bawahnya ada nama: Risky.

“Ini punya orang?”

“Oh!” Alfian terkejut, seakan-akan baru mengetahui adanya tanda tangan itu. “Iya, memang asalnya itu punya Kak Iki. Tapi katanya boleh buat kamu.”

“Heh?”

“Sekarang kita baikan, kan, Jahe-chan?”

“Entar dulu! Kenapa aku dikasihnya buku bekas?”

“Tapi kan masih bagus? Itu Kak Iki belinya masih baru lo!”

Benar kata Alfian. Kondisi buku itu memang seperti yang belum pernah disentuh, walaupun tidak terbungkus ketat seperti di toko.

Namun Fazaha tidak secepat itu percaya. “Bener, dikasih buat aku?”

“Beneran! Kata Kak Iki boleh!”

“Jangan-jangan kamu ngambil enggak bilang-bilang!”

“Eeeh, enak aja!”

Fazaha bimbang. Ia baru sekilas melihat-lihat isi buku itu. Kelihatannya isinya keren dan sesuai dengan yang ia perlukan. Ia ingin membaca buku itu betul-betul dengan leluasa. Tetapi, bisakah Alfian dipercaya? Mengingat ulah cowok itu sebelumnya ….



Ketika itu, Fazaha keluar dari ruang mading sekolah sambil menahan tangis. Ia lalu terduduk di balik bangunan sekolah yang sepi. Di tempat itu kadang-kadang ia melewati jam istirahat berdua dengan Alfian sambil makan jajanan. Ketika Fazaha sedang mengusap air mata, Alfian muncul.

“Jahe-chan! Kamu kenapa? Kamu habis dijahatin orang?!”

Sambil menahan isak, Fazaha bercerita, “Komik aku dibilang jelek.” Lalu tangisnya keluar lagi.

“Siapa?!”

“Ya, enggak tahu!" Gulungan-gulungan kertas itu masuk ke kotak saran mading tanpa diberi nama. "Terus, yang ngomen bukan cuma dia aja ….” Fazaha menangkupkan kepalanya ke pangkuan. “Aku enggak bisa bikin komik ….”

“Jahe-chan, kamu jangan patah semangat. Komik kamu baru pertama kali dimuat di mading, kan?”

Tangis Fazaha bertambah kencang. Walaupun komiknya baru sekali itu tampil di mading sekolah, gambarnya telah berkali-kali terbit di Boboserta memenangkan lomba. Tetapi, rupanya, menggambar komik sama sekali berbeda dari gambar anak-anak yang biasa dibuatnya. Ketika menggambar komiknya yang akhirnya dicela orang itu, tidak terhitung berapa kali Fazaha menghapus dan menggambar ulang. Selain itu, ia harus mencari cerita yang menarik. Karena tenggat waktu, memang kemarin ia asal saja mencomot dari cerpen di majalah remaja milik kakaknya.

Pokoknya bikin komik itu rumit sekali!

“Jahe-chan, jangan menyerah. Nanti kalau bikin komik lagi, lihatin ke aku dulu aja.”

Fazaha tahu Alfian suka membaca komik. Mungkin Alfian memang bisa membantu Fazaha untuk membuat komik yang lebih baik.

Beberapa minggu kemudian, Fazaha selesai membuat komik baru. Kali ini jumlah halamannya lebih banyak. Ia menyerahkan komik itu kepada Alfian.

“Aku bawa pulang, ya.”

Fazaha mengangguk.

Besoknya Fazaha menanyakan komiknya kepada Alfian. Alfian bilang ia belum selesai memperbaiki komik Fazaha.

“Apanya yang perlu dibenerin?”

“Ada deh! Pokoknya nanti komik kamu jadi lebih menarik.”

Fazaha mengerutkan kening.

Hari demi hari Fazaha lalui tanpa absen menanyakan komiknya kepada Alfian. Alasan lainnya, “Entar tunggu kakak aku pulang. Aku mau lihatin komik kamu ke Kak Iki. Kak Iki baru pulang Sabtu.”

Fazaha menunggu.

Ketika hari yang dinantikan tiba, Fazaha menangis lagi melihat komiknya. Alfian ternyata telah mengacak-acak komiknya! Setiap muncul karakter perempuan dalam komik itu, Alfian menghapus bagian dada dan paha ke bawah, kemudian menggambarnya ulang. Dadanya menjadi lebih besar. Rok atau celana ditinggikan sehingga pahanya menjadi terbuka.

Komik itu sampai ringsek karena digulung Fazaha kemudian dipakai untuk menggebuki Alfian sekuat-kuatnya.

Fazaha tidak mau berbicara kepada Alfian lagi.

Sampai Alfian memasukkan kedua volume buku itu ke kolong bangkunya.



Fazaha sangat menginginkan buku itu. Kalau ia beli sendiri, sepertinya harganya cukup mahal.

“Ya udah, aku pinjam dulu, ya.”

“Kan memang buat kamu.”

“Ih, aku enggak percaya sama kamu!”

“Eh!? Tapi kita udah baikan, kan? JAHE-CHAAAN!”

Fazaha berlari secepat-cepatnya dari Alfian.



Begitu sampai di rumah, di kamarnya, Fazaha langsung mengeluarkan buku dari plastik. Kedua buku itu masing-masing tebalnya hanya delapan puluhan halaman dan terdiri dari empat bab.

Dua bab awal dalam volume pertama mengajarkan cara menggambar kepala dan wajah serta tubuh dan gerakan. Rupanya untuk membuat bagian-bagian tubuh itu diperlukan sketsa lebih dahulu. Kalau begitu, Fazaha membayangkan, nantinya tetap saja akan banyak menghapus juga. Tetapi, cara ini mestilah akan membuat gambarnya menjadi lebih rapi.

Buku itu mendetail sekali dengan menunjukkan cara menggambar kepala dan wajah dari berbagai sudut: depan, samping, ¾ depan, ¾ belakang, ¾ atas, ¾ depan atas, ¾ depan bawah, termasuk tentang pergerakan mulut dan perbedaan bentuk mata dari sudut yang berlainan itu. Belum lagi cara menggambar tiap-tiap objek wajah: mata, hidung, bibir dan mulut, rambut, sampai ke perubahannya agar menghasilkan beragam ekspresi.

Terungkap pula rahasia menggambar tubuh yang ternyata dengan lebih dahulu membuat kerangka seperti layangan kemudian bentuk-bentuk seperti tabung, kubus, bola, dan sebagainya. Sebelum mencoba membuat komik, Fazaha lebih terpaku kepada kepala dan wajah saja sebab itulah yang paling menarik. Ia terkesan dengan mata ala komik-komik serial cantik Jepang yang besar berbinar-binar, juga senang bermain-main dengan gaya rambut. Tetapi, ketika membuat komik, ternyata ia kesulitan meneruskan dari bagian kepala itu ke bawah. Sudah rapi-rapi di bagian atas, eh, tubuhnya tidak sesuai.

Apalagi ketika ia ingin menggambar gerakan tangan. Kalau di gambar anak-anak yang biasa dibuatnya, dengan mudah ia menggambar lekukan-lekukan jari yang kadang jumlahnya hanya empat pada satu tangan. Tetapi, dalam komik gaya Jepang ini, tangan mesti digambar dengan mendetail. Ia ingin membuat jari-jari yang lentik seperti yang betulan, tetapi betapa susahnya! Ternyata, menggambar telapak tangan, juga kaki, memerlukan sketsa lebih dahulu juga.

Ada perbedaan dalam menggambar tiap-tiap bagian tubuh cowok dan cewek, yang disesuaikan lagi dengan usia karakternya. Buku itu juga menujukkan cara menggambar karakter chibi serta pakaian yang ternyata bergantung kepada jenis kain, pergerakan badan, bahkan pengaruh angin!

Kemudian ada yang dinamakan inking atau meninta dan tracing atau menjiplak. Dalam membuat komik kemarin, Fazaha hanya mengandalkan kertas, pensil, penghapus, dan penggaris. Rupanya bagi komikus profesional, ada peralatan lain yang harus dimiliki. Mulai dari kertas, pena, sampai tinta, ada banyak macam dengan kegunaan masing-masing. Tidak hanya itu, ada juga peralatan besar seperti meja tracing, mesin fotokopi, bahkan komputer!

Menyusun cerita pun ternyata tidak sembarangan. Ada tema, gaya cerita, dan plot yang mesti ditentukan. Menyusun panel ada triknya tersendiri. Ada berbagai cara membuat latar belakang serta bentuk balon kata dengan efek yang berbeda-beda pula. Membuat komik sebaiknya direncanakan dulu di kertas lain!

Fazaha menutup volume pertama dengan kewalahan.

Setelah diam sejenak, ia menguatkan diri untuk membuka volume kedua. 

sumber gambar

Sepintas, isi bab kesatu volume kedua sepertinya tidak begitu berbeda dengan yang ada di volume pertama. Baru Fazaha menyadari bahwa gaya dalam komik Jepang itu berbeda-beda. Ada yang simpel, ada yang realistis dengan lebih banyak detail, dan lain-lainnya. Padahal sebelum ini ia memandang komik Jepang dalam satu gaya saja, ya … gaya Jepang.

Kemudian ada latar belakang! Sebelumnya Fazaha hanya berfokus pada manusia. Rupanya apa yang ada di belakang tokoh juga harus diperhatikan! Buku itu memberi petunjuk menggambar objek-objek alam seperti batu, pohon, rumput dan tanah, sampai bangunan dengan menggunakan perspektif. Kebetulan Fazaha sudah mendapatkan sedikit materi menggambar perspektif dalam pelajaran Seni.

Ada cara yang lebih gampang untuk membuat latar belakang daripada dengan menggambar perspektif, yaitu dengan menjiplak foto atau gambar di majalah. Tetapi, cara itu memakan banyak modal. Malah, kalau mau lebih canggih lagi, komputer dan scanner diperlukan. Menghasilkan gambar menggunakan komputer sama sekali tidak terbayang oleh Fazaha sebelumnya.

Penggunaan komputer dibahas lebih lanjut di bab ketiga. Buku itu bilang, penggunaan komputer tidaklah harus. Malah, keahlian menggambar lebih terasah jika semuanya dikerjakan dengan tangan. Tetapi, penggunaan komputer dapat menyingkat waktu dan menyediakan efek-efek yang berbeda. Kalau menggunakan komputer dan scanner, Fazaha mesti mempelajari software-software, misalnya Adobe Photoshop.

Fazaha membuka bab terakhir dalam buku itu, lalu tersadar. Tidak saja harus menguasai aneka cara menggambar baik dengan tangan maupun komputer, ia juga mesti pintar mengkhayal untuk membuat kisah yang mengasyikkan. Ketika menggambar, tentu saja Fazaha sambil mengkhayal yang kemudian ia tuangkan di kertas dengan pensil, spidol, atau krayon dan sebagainya. Tetapi khayalannya tidak bergerak ke mana-mana, tidak menjadi cerita!

Buku ini juga menjelaskan cara-cara untuk membuat kisah yang menghibur. Cerita harus unik, masuk akal, rapi, jelas, tidak membingungkan, menampilkan tokoh-tokoh yang persis dengan orang-orang di kehidupan nyata, mengandung banyak kejutan, hingga membikin pembaca penasaran dan geregetan.

Sebelum diwujudkan menjadi komik, cerita sebaiknya dituliskan lebih dahulu untuk menjelaskan isi tiap-tiap panel. Peletakkan panel-panel tersebut dalam satu halaman mestilah memudahkan orang untuk membacanya. Mangaka harus pintar memainkan sudut pandang dalam tiap-tiap panel karena suasana yang ditampilkan juga akan berbeda-beda.

Fazaha menutup buku dengan puyeng.

Tuh, kan, bikin komik itu memang rumit! Tetapi, setidaknya buku ini telah memecah kerumitan itu menjadi penjelasan-penjelasan yang terperinci. Orang yang tidak berbakat sekalipun bisa saja membuat komik asalkan mau mengikuti petunjuk buku ini dengan sungguh-sungguh dan bertekad keras.

Tiap halaman dari kedua volume buku ini membutuhkan latihan tersendiri. Entah berapa lama waktu yang mesti dihabiskan sampai Fazaha dapat menguasai setiap keterampilan yang diperlukan untuk membuat komik yang baik. Fazaha tidak bisa sekadar meminjam buku ini. Ia harus memilikinya.

Kalau beli sendiri, harganya berapa, ya?

Mama mau membelikan tidak, ya?

Kalau pakai uang saku sendiri, Fazaha khawatir tidak bisa jajan untuk beberapa lama.

Tetapi, bukankah Alfian bilang buku ini memang untuk dia?

Fazaha merasa masih belum bisa memercayai anak itu. Ia tidak mau diberikan barang curian.

Terlintas gagasan di benaknya.

Ah, tidak, tidak, itu pasti memalukan!

Tetapi ….



Keesokan harinya di kelas, Fazaha menghampiri Alfian.

“Aku mau ketemu sama kakak kamu.”

“Eh, kenapa?”

“Pengin mastiin bukunya memang buat aku.”

Alfian manyun seraya semakin menyipitkan matanya. “Kamu masih enggak percaya sama aku.”

“Gimana?” kejar Fazaha.

Alfian mengembuskan napas. “Ya udah ….”

“Ya udah apa!?”

“Ya entar aku bilang sama kakak aku.”

“Bener, ya!?”

“… iya ….”

“Aku enggak mau percaya sama kamu sampai kamu bener-bener ngebuktiin …” Fazaha mengguncang-guncang kerah seragam Alfian.

“... iyaaa …”



Sulit memulai pembacaan buku ini tanpa ikut mencorat-coret sketsa -_1



... bersambung ke NaNoWrimo 2019, kalau Allah menghendaki.

Belajar Perubahan Kata Kerja dalam Bahasa Perancis Lewat Lagu yang Adalah Kita

$
0
0
"Petrol Pop" merupakan soundtrack film Perancis produksi 1972 Moi Y' En A Vouloir Des Sous. Karena saya bukan penggila film dan malas berburu sampai ke situs bajak laut belum lagi cari subtitle yang bagus pembahasan film bisa makan satu entri tersendiri, maka baiklah kita lewati itu dan langsung pada pelajaran yang bisa kita dapatkan dari mendengarkan lagu ini saja.

Lagu ini bisa diakses di Youtube. Sejak diunggah pada 10 Desember 2008 oleh tuberider1976, lagu ini baru diakses sekitar 100.000 kali pada saat entri ini dibuat (Maret 2019). So, it's not that song everyone listens to. Hm, feels so edgy, rrright? Check it out, then!




Ada juga versi yang lebih modern, yang baru ditonton oleh jauh lebih sedikit orang.



Saya pribadi lebih suka yang lawas, rasanya somehow lebih epik or something like that lah, wkwkwk.

Lirik lagu ini sederhana saja, seperti yang dengan baik hati dicantumkan komentator Isaac Escargot sebagai berikut ...

Le pétrole, oh... 


Moi, moi j'aime le pétrole 
Tu aimes le pétrole 
Il aime le pétrole 
Nous aimons le pétrole 
Vous aimez le pétrole 
Ils aiment le pétrole 


J'aime ça le pétrole
Je ferais n'importe quoi pour du pétrole 


Moi, moi j'aime le pétrole 
Tu aimes le pétrole 
Il aime le pétrole 
Nous aimons le pétrole 
Vous aimez le pétrole 
Ils aiment le pétrole 


Je suis capable de tout pour du pétrole 


Moi, j'aimerai le pétrole 
Tu aimeras le pétrole 
Il aimera le pétrole 
Nous aimerons le pétrole 
Vous aimerez le pétrole 
Tu aimeras ton prochain comme toi-même 


Pour un homme qui a du pétrole, je flanche... je fonds... je consume... j'explose... je fioule... 
[Choeur] Pééééétrole ! (x5)
... sekalian dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris:

english : pétrole = oil/petroleum. 


I love oil 
You love oil 
He loves oil 
We love oil 
You love oil (plural) 
They love oil 


Oil, I'm loving it 
I would do anything for oil 


I love oil 
(...) 


I'm capable of all for oil


I will love oil 
You will love oil 
(...) 
You shall love your neighbor as yourself 


For a man who has oil, I flag... I melt... I burn... I explode... I fuel 
(choir : petroooooleum)
Seperti yang bisa kita lihat, pada dasarnya lagu ini menunjukkan perubahan kata kerja dalam bahasa Perancis dengan pola kalimat sederhana:


Subjek 
(pronomina Aku, Kamu, Dia, Kita, Kalian, Mereka) 
+
Predikat 
(verba Cinta) 
+
Objek 
(nomina Petrol)

Tentu saja, dengan menyimak lagu ini baik-baik sekalian membaca liriknya, kita juga bisa belajar cara mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Perancis tersebut, yang ternyata, sepertinya, ... tidak serada mudah bahasa Jerman

Melalui lagu ini juga kita dapat belajar untuk mengucapkan: 
Le pétrole, oh... 
dan
J'aime ça le pétrole
dan
Je ferais n'importe quoi pour du pétrole 
dan
Je suis capable de tout pour du pétrole 
dan
Pour un homme qui a du pétrole, je flanche... je fonds... je consume... j'explose... je fioule... 
dengan seksi ...

... mendesah parau-parau gimana gitu.

Tentu saja, kalau ditilik lebih lanjut, lagu ini lebih daripada sekadar pelajaran bahasa Perancis mengenai perubahan kata kerja.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, petrol adalah bahan bakar yang terbuat dari campuran gas alam dan petroleum atau disebut juga bensin. Bahan bakar jenis ini digunakan begitu banyak manusia di seluruh muka bumi untuk mendukung kegiatannya sehari-hari. Lagu ini merefleksikan ketergantungan tersebut, yang, boleh dibilang, sudah sampai taraf adiktif, enggak sih? (Coba deh baca artikel ini: "Addiction to industrialisation"). Maksudnya, bisakah seseorang yang terbiasa bepergian dengan sepeda motor atau mobil membayangkan seterusnya beralih kepada sepeda, jalan kaki, naik delman atau unta saja, begitu? Bahkan, sekalipun kita bukan pengguna kendaraan bermotor, barang-barang dalam kemasan plastik yang kita peroleh dari toko-toko itu diantar dengan mobil-mobil berkontainer, bukan? Mungkinkah kita hidup tanpa bensin sama sekali, memperoleh barang kebutuhan sehari-hari hanya dari pekarangan sendiri? Ada yang bilang, tidak ada yang mustahil. Bisa saja, asal kita pindah ke hutan. Bisa saja, kalau kita tidak kemudian digusur karena hutannya hendak dijadikan lahan produksi bahan bakar jenis lain ... katakanlah minyak kelapa sawit. Sepertinya akan terlalu luas kalau kita menyinggung juga tentang ketergantungan kita pada minyak kelapa sawit. Belum lagi jika kita bicara tentang sifat petrol yang tidak dapat diperbarui serta dampaknya terhadap lingkungan hidup seperti polusi. Jadi, kenapa kita bergantung kepada sesuatu yang pada akhirnya malahan merusak diri kita sendiri?

Bagian lagu ini yang dibawakan dengan kor seakan-akan merefleksikan banyaknya orang yang bergantung kepada petrol. Adapun bagian lainnya seolah-olah mengesankan bahwa ketergantungan terhadap petrol itu seksi. Coba, mana yang lebih seksi di antara dua ini: turun dari mobil ber-AC yang berbahan bakar petrol dengan riasan dan pakaian trendi (yang didistribusikan melalui ... tahulah) atau dari sepeda seken yang berbahan bakar singkong rebus dalam keadaan kucel oleh debu dan keringat?

Dari baik bentuk maupun isi lirik (oh, andai saya pakar linguistik dalam membedah lirik!) hingga penyampaian, lagu ini menyampaikan kenyataan tentang aku, kamu, dia, kita, kalian, dan mereka. Lagu ini adalah tentang kita semua. Lagu ini adalah kita.
J'aime ça le pétrole
Je ferais n'importe quoi pour du pétrole 

Kuliah Putu Wijaya bagi yang Meminati Sastra, Jurnalisme, atau Teater

$
0
0
Minggu, 3 Maret 2019, sekitar pukul satu siang sehabis hujan deras, saya berkesempatan untuk mengikuti workshop bersama Putu Wijaya. (Terima kasih, FLP Bandung! Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian acara bersama Putu Wijaya yang diselenggarakan di Gedung YPK Jalan Naripan, Bandung, pada 1-3 Maret 2019. Di samping workshop, ada juga pameran, seminar, serta pertunjukan drama.

Bayangan tentang workshop biasanya meliputi praktik yang kemudian dibahas bersama. Memang sih, menjelang akhir workshop ini ada praktik mengajukan pertanyaan dalam satu kalimat. Namun secara keseluruhan, walaupun dilabeli workshop, acara ini lebih tepat disebut sebagai kuliah. Yang sebetulnya tidak apa-apa. Karena yang memberi kuliah seorang keren dan kaya pengalaman seperti Putu Wijaya, gitu lo.

Dalam usia senja dan keadaan tidak bisa berjalan, sehingga harus mengenakan kursi roda dan dipapah untuk pindah ke kursi lain, beliau masih bersemangat sampai menggebrak-gebrak meja ketika menghadapi puluhan peserta yang didominasi oleh anak muda. Ada mahasiswa dari UIN, ada pula mahasiswi dari Unpad.

Bisa dibilang, kuliah ini merupakan motivasi dan nasihat bagi anak-anak muda yang ingin cemplung ke dunia sastra, jurnalisme, atau teater--bidang-bidang yang menjadi ruang Pak Putu berkiprah. Sebagian dari masukan beliau saya mafhumi karena sudah mengalaminya sendiri, sebagian lagi menohok entah karena saya enggan menjalaninya atau baru tahu bahwa perbuatan yang kerap saya lakukan ternyata kurang baik.

Pak Putu mengakui bahwa dunia yang digelutinya itu tidak ada masa depannya, atau mungkin ada, tetapi sangat sulit. Malah, terlepas dari karyanya berupa novel, cerpen, drama, dan sebagainya yang melimpah ruah, Pak Putu mencari nafkah dengan menjadi wartawan.

Kuliah pun dibuka dengan petuah: "Pelajari yang penting saja, dan itu baru kita ketahui kalau kita tahu mau ke mana. Kalau ingin tahu ke mana kita pergi, kita mesti tahu diri kita." Seolah-olah, kalau sastra, jurnalisme, atau teater ternyata bukan hal penting bagi diri kita, maka itu tidak layak dipelajari. 

Saya sepakat dengan pernyataan beliau bahwa daripada berkecimpung dalam dunia semacam kepengarangan, lebih baik jadi salesman, dokter, insinyur informatika, PNS, CEO start-up, penjaga toko jamu, Youtuber, dan seterusnya. 

Akan tetapi, saya kira, bagi sebagian orang energi kreatif merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Betapapun tidak ada uangnya, betapapun tidak ada yang mengapresiasi, betapapun enggak worth it, energi tersebut mendesak membutuhkan penyaluran. Karena itu, ia menjadi berani demi memenuhi kebutuhannya itu. Keberanian didukung kreativitas menjadikan orang pantang menyerah sehingga produktivitasnya bertubi-tubi, ya, seperti Pak Putu. Agaknya beliau kenal betul dirinya, dan peduli. Beliau berjuang mengasah kesukaannya. Beliau terus memberi kesempatan bagi kemampuannya untuk tampil. Dengan begitu jiwanya selalu terbuka pada inspirasi. Dengan begitu beliau menguatkan kreativitasnya sehingga selalu dapat menemukan sudut pandang baru dalam menanggapi hal keseharian yang bagi sebagian orang membosankan.

Banyak sekali sebetulnya yang disampaikan oleh Pak Putu dalam waktu sekitar satu tiga per empat jam itu, yang semua berkaitan dengan perjalanan kreatifnya dalam berkesenian. Mungkin sebaiknya sementara acara berlangsung saya giat mencatat di notes menggunakan pulpen yang diberikan panitia dalam goodie bag (belum lagi snack dan sertifikat) seperti para mahasiswi, kemudian membuat dan menyusun poin-poin dan seterusnya sehingga bisa menyajikan berita liputan yang rapi. Tetapi, apa daya, karena sudah tidak bercita-cita menjadi jurnalis maupun pengarang, namun energi kreatif masih meletup-letup seperti kentut Vespa yang baru dinyalakan, namun waktu untuk menyalurkannya perlu dibatasi, yang bisa saya lakukan hanya berbagi rekaman.



Sebetulnya, ada PR yang Pak Putu berikan, satu pertanyaan yang sebaiknya dijawab oleh para peserta yang masih memendam keinginan untuk menjalani kepengarangan: "Sakit saya apa?" Apa yang menjadi pengganggu, kendala dalam menjadi pengarang? Yang sepertinya memerlukan entri tersendiri dengan label "intrapersonal" untuk menjawabnya.

Selangkah Agak Maju dalam Partisipasi Politik

$
0
0
Senin, 4 Maret 2019, saya berkesempatan untuk menghadiri ... apa, ya namanya ... sosialisasi calon legislatif sebuah partai? Niat saya sekadar menemani teman memenuhi undangan, sekalian menghargai setiap ajakan keluar rumah, dan sebagainya. Bisa dibilang ini juga karena saya masih berhubungan dengan suatu komunitas yang rupanya berafiliasi dengan partai tersebut, kira-kira begitu.

Kalau boleh dilihat secara pragmatis, terlepas dari maksud politis di baliknya, ikut-ikutan acara ini memang menguntungkan. Kami berkesempatan makan siang di hotel mewah, kemudian diberikan suvenir berupa tas kain yang di dalamnya ada kerudung, tumbler, kertas berisikan lirik lagu "Indonesia Raya" dan mars partai, serta kertas lain yang menerangkan petunjuk memilih.

sumber gambar
Walaupun ragu ketika diminta menyanyikan mars partai serta mengacungkan angka-angka tertentu, namun saya cenderung menanggapi acara ini secara positif. Mata batin saya terbuka (#halah). Jujur saja, selama ini saya termasuk ke golongan anak muda yang acuh tak acuh kalau bukan apatis terhadap politik. Jangankan termasuk ke kubu pendukung salah satu calon presiden, menonton televisi dan memantau media sosial saja saya jarang. Da aku mah apa atuh, cuma manusia gua.

Tetapi, ketika mengikuti acara ini, dan diterangkan mengenai persoalan yang menjadi perhatian mereka, betapa pentingnya persoalan tersebut, dan seterusnya, saya pun manggut-manggut. Jadi begitu, makanya kita harus begini dan begitu dan memilih mereka yang hendak memperjuangkan itu dengan mencapai posisi strategis sebagai pengambil kebijakan dan sebagainya dan seterusnya.

Walaupun kelihatannya merepotkan harus mengumpulkan sebanyak-banyaknya pendukung yang pastinya membutuhkan modal besar, namun ternyata politik itu penting karena menentukan peraturan atau kebijakan yang dapat berimplikasi ke mana-mana. Bisa saja kita merasa sudah berkontribusi terhadap masyarakat dengan aktivitas sehari-hari kita, namun hal itu dapat menjadi tidak ada artinya tanpa dukungan pihak yang berkuasa--pemerintah. Ibarat menutup lubang bocor dengan jari-jari kita sendiri, namun di sisi lain pipa lubangnya lebih besar dan banyak pula. Kita membutuhkan tangan-tangan lain, bahkan jari yang berukuran lebih besar untuk menyumbat kebocoran yang terjadi di mana-mana itu. Entah ini perumpamaan yang tepat atau bukan, tetapi mudah-mudahan situ mengerti maksudnya.

Saya menyadari bahwa, terlepas dari makan siang di hotel mewah dan segala suvenir yang menyenangkan (tetapi juga apa-sih-ini?) itu, ini merupakan cara yang boleh jadi efektif untuk memperkenalkan diri dan sepatutnya diadakan. Maksudnya, biasanya kita digiring ke tempat pemilihan umum tanpa tahu benar siapa yang mesti kita pilih. Deretan nama itu semuanya asing dan kita pun asal saja mencoblos atau menconteng. Kini, setelah acara ini, saya menjadi kenal setidaknya satu dari deretan nama yang nantinya akan saya hadapi pada 17 April 2019 itu (kalau Allah menghendaki) berikut kepentingan yang diperjuangkannya.

Saya jadi berangan-angan: Mungkin enggak, ya, kalau sosialisasi seperti ini kelak dibikin terpadu? Misalnya, di balai kota atau tempat umum lainnya yang dapat menampung cukup massa, mungkin bisa diadakan acara yang memberi slot kepada tiap-tiap calon legislatif dari tiap-tiap partai untuk memaparkan program-programnya dan menjelaskan betapa pentingnya semua itu. Masyarakat dianjurkan untuk datang kapan pun mereka sempat untuk mengenal dan mengetahui siapa yang hendak mereka pilih. Jadi sosialisasi tidak terbatas pada simpatisan partai, atau tidak mesti dengan bergerilya ke kampung-kampung dengan memanfaatkan tokoh yang lagi populer membagi-bagikan suvenir kepada rakyat kecil tanpa sempat memberi penerangan apa-apa selain pelicin untuk memilih seseorang.

Di sisi lain, saya juga menyadari kealpaan saya yang disengaja dalam partisipasi politik. Maksudnya, memang saya emoh menunggui debat calon presiden di televisi ataupun mengikuti berita politik di koran. Bahkan, sampai ketika saya mengetik ini pun, saya tidak yakin nanti hendak menyalakan televisi dan mencari acara yang dapat mencerahkan saya tentang politik lagi. Di koran pun pastinya ada berita-berita lain yang jauh lebih menarik untuk dibaca daripada tentang politik.

Dengan begitu, saya merasa pada akhirnya preferensi politik merupakan soal "jodoh", yang sedikit banyak berkaitan dengan lingkungan pergaulan. Contohnya, saya dapat mengenal tokoh politik tertentu karena kawan saya menawari saya untuk menemani dia ke acara sosialisasinya. Apakah, setelah diberi pelicin berupa makan siang di hotel mewah dan berbagai suvenir, saya akan memilih tokoh tersebut? Yeah, memangnya siapa lagi calon legislatif yang saya kenal sehingga dapat diperbandingkan dengan yang satu itu? Saya tidak mau repot-repot menelusuri juga, karena sehabis ini mesti membereskan tumpukan cucian, membersihkan lantai, belajar, berlatih, membaca, tidur, dan seterusnya dan sebagainya.

Sayang sekali, pada kesempatan kemarin itu, waktu pelaksanaannya mundur sehingga tiap-tiap pembicara diberi slot yang sangat terbatas untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang padahal menarik dan akan terlalu rumit untuk dipelajari seorang diri. Tetapi, sepertinya ini bukan semata salah peserta yang datang terlambat atau apalah. Malah, yang datang paling lambat itu si calon legislatif sendiri. Biasalah, bintang utama dimunculkan belakangan.

Saya jadi berharap jangan sampai kepentingan-kepentingan nan mulia itu terlambat pula diwujudkan, sehingga malah kepentingan yang berseberangan yang keburu unggul atau malah calon legislatif baru pada periode pemilihan berikutnya kembali dengan program serupa yang belum sempat diwujudkan tersebut.

Melihat-lihat Pameran Putu Wijaya

$
0
0
Pameran ini diadakan pada 1-3 Maret 2019 di Gedung YPK Jalan Naripan, Bandung. Barang yang dipamerkan kebanyakan berupa lukisan Putu Wijaya. Banyak pula poster pementasan serta artikel yang memuat tentang beliau. Selain itu, ada bagian yang agaknya menampilkan barang-barang pribadi beliau seperti koper, mesin tik, hingga buku-buku yang telah diterbitkan.

Karena yang jaga bilang boleh foto-foto, maka saya ambil saja semuanya 

Begitu hendak memasuki ruang pameran, kita dihadapkan pada kutipan dari beliau.
Hidup ini bukan hadiah, tetapi utang yang harus kita tebus dengan keringat.
Di sebelah kiri ada meja registrasi tempat kita membubuhkan nama, alamat, nomor telepon, surel, dan tanda tangan. Setelah mengisi data diri lalu terus berjalan ke kiri, mulailah kita disuguhi pameran lukisan beliau.
Yin yang untuk harmoni dan toleransi
Merah putih selalu diayomi
Merdeka buah darah dan air mata
Seribu warna satu rasa
Kesatuan tak lenyapkan keaslian
Tetap indah walau air berlimpah
Begitu masuk ke bagian belakang dari sebelah kiri pintu masuk, di sebelah kanan dipajang poster-poster pementasan beliau baik di dalam maupun luar negeri. Terdapat juga artikel-artikel koran yang berupa wawancara serta kunjungan arsitektural ke rumah beliau yang bergaya Jepang-Bali.
Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat pameran yang agaknya barang-barang pribadi beliau berikut buku-buku yang pernah diterbitkannya. Sayang, kita tidak boleh memasuki area berkarpet merah ini. Padahal asyik sekiranya kita mendapat kesempatan membaca-walaupun-sepintas-lalu buku-buku beliau. Kalaupun bukan di sini, saya ingat, buku-buku lawas beliau dapat dibaca secara cuma-cuma di Perpustakaan Ajip Rosidi, tidak jauh dari muka Jalan Garut, di belakang Bandung Creative Hub Jalan Laswi.
Berhadapan dengan zona merah terdapat satu kutipan lagi dari beliau.
Kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tak putus-putus.
Di sayap satunya sisi belakang ruangan merupakan sambungan dari pameran poster dan artikel.
Sementara itu, pameran lukisan terus berlanjut di seberang benda-benda lainnya itu.
Kurang kering berlimpah banjir
Tumbuh sendiri tak menunggu dikasihani
Dwi warna di rimba bhineka
Beragam dalam cahaya bulan
Disapa gerhana matahari total
Danau tiga warna, bagai trisila dasar negara
Bagai puncak gunung makin tinggi kian sunyi
Gotong-royong bukan sekadar saling menolong
Silaturahmi jembatan hati
Wah, kita sudah sampai kembali ke depan, bertemu lagi dengan meja registrasi. Memang ruangan ini disekat menjadi dua dengan ruang-ruang untuk lewat di kedua tepinya, sehingga pengunjung menyusuri seluruh pameran dengan memutarinya.

Awalnya saya kebingungan ketika dihadapkan dengan lukisan beliau. Bagaimanakah cara mengapresiasinya? Sepintas yang saya lihat seperti sekadar lukisan cat air yang dibubuhkan dengan jari-jemari. Sepertinya judul yang diberikan dapat membantu kita untuk memaknai lukisan. Mungkin kita juga memerlukan imajinasi untuk meresapinya.

Seperti ketika melihat lukisan "Merah putih selalu diayomi", bentol warna-warni yang mengepung merah-putih itu menyerupai kerumunan kepala orang. Warna-warni boleh jadi mewakili keberagaman mereka. Jadi, coba bayangkan kerumunan orang yang beraneka ragam berusaha mendekati kesatuan yang dilandasi oleh semangat merah darahku putih tulangku itu. Melihat dari judulnya yang mengandung kata "ayom", yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "lindungi", maka seolah-olah kerumunan orang itu tengah melindungi merah dan putih yang mendominasi.

Namun, di lukisan selanjutnya yang berjudul "Merdeka buah darah dan air mata", kerumunan kepala orang berwarna-warni itu malah seperti yang mengoyak-ngoyak kesatuan merah-putih sehingga terpotong ke mana-mana, tidak lagi utuh. Yang tadinya tampak rapi di lukisan selanjutnya, kini menjadi semrawut. Padahal judulnya mengandung kata "merdeka". Masakkah, setelah mengerahkan darah dan air mata, yang berbuah kemerdekaan, jadinya yang tampak malah kesemrawutan?

Baru di lukisan menuju ujung, "Beragam dalam cahaya bulan", saya baru menyadari permainan warna. Saya terpukau oleh cahaya bulan merah dilatari hitam yang memengaruhi warna-warni di bawahnya. Walaupun bentol-bentol tersebut berwarna-warni, namun tidak asal warna-warni, melainkan warna-warni yang kemerahan akibat pantulan cahaya bulan merah di atasnya.

Saya pun melihat lagi lukisan-lukisan di sekitarnya, terutama "Tumbuh sendiri tak menunggu dikasihani" serta "Disapa gerhana matahari total". Rasanya saya mulai terpikat pada gambaran sesuatu yang berpendar menerangi kekelaman di sekitarnya.

Satu lagi yang menarik yaitu "Kurang kering berlimpah banjir". Walaupun judulnya mengesankan keadaan yang basah kuyup, namun lukisannya sendiri sepintas lalu menyerupai asap kemerahan yang mengepul padat ke angkasa, sedang warna hijau di sekitarnya seolah-olah melambangkan hutan yang terbakar. Kalau boleh dihubung-hubungkan, lukisan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kebakaran hutan dapat berujung pada kelimpahan banjir akibat tidak adanya lagi tegakan yang menahan air. Judul yang melengkapi lukisan seolah-olah menyampaikan suatu siklus fenomena alam yang seharusnya menjadi peringatan bagi manusia supaya tidak terdampak oleh bencana.

Asalkan kita mau diam sejenak dan memerhatikan sembari berpikir--mengaitkan berbagai hal dengan bantuan imajinasi, ternyata banyak yang dapat timbul di benak kita sebagai bahan perenungan.

Di antara lukisan-lukisan di atas, manakah yang paling berkesan atau memantik pikiranmu?

Petualangan Menaklukkan Petir Mama Super Protektif

$
0
0
Muncul notifikasi di Instagram. Teman saya mengajak datang ke pemutaran suatu film anak-anak tentang petir. Karena sudah agak lama tidak bersua si teman, saya pun mengiyakan. Tempatnya di Bale Motekar Universitas Padjajaran.

Karena teman saya berencana menginap malamnya, maka saya pergi tidak membawa sepeda supaya pulangnya bisa bareng naik kendaraan umum. Pemutaran pukul empat sore. Tadinya saya hendak berangkat dari sebelum waktu asar. Kalau salat asar dulu di rumah, khawatirnya telat sampai di lokasi. Tetapi, rupanya, ada saja yang bikin saya lelet. Jadinya saya berangkat dari rumah setelah waktu asar.

Ketika saya sudah menaiki angkot 01 menuju seberang Universitas Langlangbuana, teman saya memberi tahu bahwa ternyata ia salah kasih arahan. Bale Motekar bukan di Jalan Ir. H. Juanda, melainkan di dekat Jonas, Jalan Riau.

Santai.

Saya melanjutkan naik angkot Kalapa-Dago. Saya berencana turun di seberang Riau Junction kemudian dari sana melanjutkan dengan angkot Margahayu-Ledeng atau mana pun yang melewati dekat Jonas.

"Tiket sudah di tangan yes."
Saat itu hujan rintik-rintik seperti dalam lagu "Widuri". Setelah turun dari Kalapa-Dago, saya menyeberang. Sembari menunggu ada angkot yang lewat, saya menyusuri Jalan Riau menuju Jonas. Tetapi, biarpun sebelumnya di dekat Riau Junction saya melihat ada beberapa angkot Margahayu-Ledeng, kok tidak ada yang melintas? Jonas semakin dekat. Saya merasa tanggung jadinya kalau naik angkot. Teman saya mengirimkan gambar bahwa ia telah memperoleh tiketnya. Saya minta maaf karena saat itu sudah pukul empat lewat sehingga dalam bayangan saya kami akan terlambat yang mana sangat enggak enak. Saya terus berjalan cepat-cepat sampai tujuan di tengah syahdunya sore kelam.

Nah, ini dia tempatnya!
Saya pun tiba di Bale Motekar, masuk lewat samping. Saya diarahkan oleh satpam untuk memasuki gedung dari sisi satunya dan naik ke lantai tiga. Kemudian saya menemukan dua teman saya sedang duduk. Kami pun memasuki ruangan bioskop yang hampir persis dengan yang ada di XXI hanya saja yang ini berukuran mini dan ...

... tidak ada seorang pun ...?

Kedua teman saya sama kagetnya sebab sedari tadi mereka asyik mengobrol dan sepertinya tidak memerhatikan adakah calon penonton film selain mereka. Masak yang bakal menonton cuma kami bertiga?!

Aa-aa petugas bioskop menghampiri. Ia memaklumkan bahwa tidak akan ada yang datang lagi. Dengan segera ia bersiap-siap memutarkan film. Kami pun dapat dengan bebas memilih tempat duduk yang semuanya kosong. Saya memilih kursi tepat di tengah-tengah. Kedua teman saya ada di kanan-kiri saya. Aa-aa itu memadamkan lampu dan menutup pintu.

Trailer demi trailer film Indonesia antimainstream bermunculan. Kok filmnya ngeri semua? Yang lebih ngeri lagi ketika film yang hendak berjalan malah berjudul Tengkorak.

Kami buru-buru keluar dari ruangan yang gelap lagi cuma diisi bertiga itu.

Setelah mengonfirmasikan ke penunggu di ruangan sebelah, kami masuk lagi ke ruangan bioskop dan berharap kali ini tidak salah putar. Ya ampun. Ekspektasi saya kan film anak-anak yang ceria, bukan film tentang gempa Jogja 2006 yang menyeramkan.

Alhamdulillah, kali ini film yang benar.

sumber gambar

Film dibuka dengan kegiatan tokoh utama, bocah seusia SD bernama Sterling, membuat konten-konten Youtube. Tampaknya channel miliknya ramai dikunjungi oleh anak-anak sepantarannya. Meski begitu, di tengah komentar anak-anak, selalu terselip komentar ibunya, Beth, yang rupanya seorang bloger dengan tema cara-cara mendidik anak.

Rupanya sampai waktu itu Sterling tinggal di Hongkong. Ia akan pindah ke Indonesia. Sebelum tinggal di Jakarta, ia akan menghabiskan liburan lebih dahulu di rumah kakeknya di Boyolali.

Awalnya Sterling merasa sedih dengan kepergiannya dari Hongkong. Ia sudah terbiasa menjadi anak rumahan, atau lebih tepatnya, apartemenan. Ia cemas tidak akan bisa leluasa membuat video-video Youtube seperti biasanya.

Kecemasan Sterling tidak berlangsung lama begitu ia bertemu dengan kawan baru, Gianto atau Jaien (yang memang baik postur maupun sifatnya agak mirip dengan teman Nobita itu sih). Jaien suka mengajak Sterling ke luar rumah, mulai dari musala, lapangan, sampai perbukitan. Yang cemas justru ibunya Sterling. Rupanya Mbak Beth ini sangat protektif. Anaknya tidak boleh kotor, tidak boleh celaka, dan sebagai-bagainya, yang menumbuhkan kecurigaan teman saya bahwa ada Rinso di balik semua ini.

Mengetahui kesukaan Sterling merekam segala sesuatu, Jaien memanfaatkan dia untuk mewujudkan cita-citanya menjadi aktor. Jaien rupanya sangat terpesona akan dunia perfilman, walaupun wawasannya terperangkap di era '70-'80-an dan hanya menjiplak perkataan seorang mas-mas sineas-gagal yang dikenalnya. Sterling mau-mau saja menerima ajakan Jaien. Jaien juga berhasil menjebakmemanipulasi mendorong teman-temannya yang lain untuk ikut serta. Tadinya mereka juga ingin melibatkan duo mas-mas tukang bikin video kawinan, tetapi keduanya tidak sudi. Anak-anak pun bikin film sendiri.

Namanya juga anak-anak. Ada saja kelucuan saat pengambilan gambar. Oh, ya, mereka hendak memfilmkan buku komik Legenda Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir atau semacam itulah. Bukan film biasa jadinya, mestinya.

Namanya juga anak-anak. Adakalanya mereka bertindak tanpa perhitungan. Ketika sedang mengambil gambar di suatu gubuk kosong, Jaien mendorong pemain lain ke dinding sehingga menjatuhkan lampu teplok. Lampu itu jatuh dan membakar seisi gubuk. Mau tidak mau pembuatan film dihentikan. Walaupun Sterling dan Jaien sudah meminta maaf kepada pemilik gubuk, namun akibatnya kejadian itu diketahui oleh orang tua mereka. Mbak Beth melarang Sterling untuk membuat film lagi. Kameranya diambil.

Sementara waktu, Mbak Beth pergi ke Jakarta untuk mengurus rumah, sekolah, pekerjaan, dan entah apa lagi. Sterling ditinggal berdua bersama kakeknya. Bersama Jaien dan Netha--teman perempuan mereka yang turut terlibat dalam film--anak-anak merengek kepada duo mas-mas tukang bikin video kawinan, untuk membantu mereka melanjutkan proyek itu.

Berkat kegigihan anak-anak, kedua mas-mas itu pun luluh. Mereka mengajak anak-anak pergi berkemah dengan mobil bak. Di hutan mereka diajarkan untuk mengembangkan imajinasi. Kemudian saat malam mereka membuat film dari siluet guntingan-guntingan kertas. Rupanya, biarpun kemampuan mereka dalam membuat film fenomenal diragukan, kedua mas-mas ini berbakat menjadi mahasiswa KKN. Mungkin di samping jasa pembuatan video kawinan, mereka bisa membuka usaha workshop pengajaran video kreatif untuk anak-anak.

Sementara berkemah, Sterling mengabaikan panggilan telepon dari ibunya. Baru ketika pulang ke rumah kakeknya, Sterling mengungkapkan mengenai kegiatannya semalam kepada ibunya. Ibunya marah-marah. Kakek memberi nasihat. Tetapi lalu tiba-tiba turun hujan dan muncul petir. Sterling membuka-buka buku komik yang menjadi inspirasi filmnya. Ia sampai pada halaman seorang lelaki berkumis dan berbelangkon mengatakan, "SELESAIKAN APA YANG KAMU MULAI."

CETAR!

Sampai di sini, kalau cerita dilanjutkan, sepertinya akan menjadi SPOILER.

Sterling bersama Gianto a.k.a. Jaien (berkostum ala Bruce Lee), yang dengan semena-mena mengubah namanya jadi Tarling. Lu kira gitar-suling?!

Saya puas sekali menonton film ini, walaupun ternyata tidak gratis, melainkan diam-diam dibayari oleh teman saya sebesar sepuluh ribu. (Padahal saya sudah dengan pedenya bertanya kepada si aa-aa, apakah pemutaran film di tempat ini selalu gratis. Aduh!) Apalagi di ruangan bioskop hanya ada kami bertiga, sehingga bisa bebas berteriak-teriak dan terbahak-bahak larut dalam keriaan anak-anak yang berakting laga dengan properti seadanya.

Memang sih ada yang mengganjal mengenai sikap Mbak Beth alias Mama Sterling yang teramat protektif. Kami semacam penasaran mengenai backstory karakter ini (#halah)--apakah gerangan yang menyebabkan dia sampai sebegitunya?

Apakah Sterling ini sakit-sakitan sehingga tidak boleh kena kuman dari luar rumah barang sedikit saja? Tetapi, sama sekali tidak ada adegan Sterling pilek atau demam di sini.

Apakah Mbak Beth enggak mengalami romantika asyiknya berkeliaran di luar rumah bersama teman-teman sebaya pada waktu kecilnya? Malah, sebaliknya, dalam satu adegan diperlihatkan foto-fotonya sewaktu kecil sedang bersama sepeda dan tampaknya ia aktif di luar rumah. Tetapi, kenapa kemudian ia menjadi ibu yang terlalu dominan?

Selain itu, sebagai pakar pendidikan anak--setidaknya di blog--yang notabene warga dunia kosmopolitan, mestinya Mbak Beth melek dengan perkembangan isu terkini, dong? Maksudnya, apakah ia tidak pernah membaca tentang isu-isu seperti hikikomori, lelaki herbivora, MGTOW, dan sebagainya, yang sedikit-banyak menyinggung laki-laki pasif yang maunya di rumah saja? Sekiranya Mbak Beth mengindahkan isu-isu semacam itu, boleh jadi ia malah akan mendorong anaknya supaya seaktif-aktifnya berteman di luar rumah.

Kenapa sih kau ini, Mbak Beth? Kau ini feminis atau apa kok maunya mengeram anak laki-laki di rumah saja? #eh

Apakah jangan-jangan sementara di Hongkong mereka tinggal di lingkungan triad sehingga wajar saja bila keluar dari rumah itu berbahaya? Ini pun tidak diungkapkan.

Mau yang mana pun, kalau menempatkan diri dalam sudut pandang anak-anak, mereka tidak akan sampai sebegitunya jauh menimbang perwatakan karakter Mama Sterling. Yang penting pada akhirnya semua orang berbahagia menonton film tentang avatar petir versi Jawa yang berhasil diselesaikan itu. Anak-anak para pemain film pun saling berpelukan.

sumber

Informasi pemutaran film di bioskop alternatif Bale Motekar tiap Senin-Minggu bisa dilihat di Instagram @indicinemabandung. Yang diputar biasanya film Indonesia. Harga tiket Senin-Jumat Rp 10.000, Sabtu-Minggu Rp 15.000.



Foto-foto selain poster/potongan film dan gif Teletubbies diambil oleh Nurul Maria Sisilia.

Jazz Poet Society yang Entah Jaznya

$
0
0
Screenshoot dari Nurul Maria Sisilia 
Dalam rangka Hari Puisi Sedunia pada 21 Maret 2019 lalu, komunitas-komunitas pencinta puisi di seputar Bandung menyemarakkan acara Jazz Poet Society di Museum Kota Bandung, Jalan Aceh. Hm, mengingatkan pada novel atau film yang dibintangi Robin Williams itu, ya. 

Menurut poster, acara ini diadakan dari pukul 19.00 sampai 21.00. Akan tetapi, saya dan teman-teman baru tiba sekitar pukul setengah delapan malam dan takjub karena disambut oleh pemandangan banyaknya mas-mas mahasiswa gondrong yang berkeliaran di muka bangunan.

Di lorong depan terdapat pula para saudagar buku yang menjajakan dagangannya di meja panjang dekat pintu masuk.

Setelah mengisi daftar hadir, kami memasuki ruangan samping museum. Penampilan sudah dimulai entah dari pukul berapa persisnya. Langsung dari pintu merupakan tempat pembacaan puisi. Di hadapan pembaca puisi telah duduk di lantai banyak penonton. Di salah satu sisi  ruangan terdapat dispenser dan meja panjang yang memuat tumpukan gelas serta plastik-plastik lumayan besar berisi aneka camilan kering, yang sepertinya boleh diambil sendiri.

Urutan acaranya sendiri sebagai berikut (sebagaimana di-copy paste dari suatu sumber ).
Urutan penampil World Poetry Day 
Opening: - Syarif Maulana "Jazz adalah bukan ini bukan itu"
Durasi : 4" 
- ASAS UPI 5" 
- Komunitas Lilin Malam UIN Sunan Gunung Jati 5" 
- (JPS) Dwi Cahya Yuniman, Aprilia Hanifa, Reza Raihan, Gracia Tobing, Syarif Maulana :
"We real cool"
Durasi : 2" 
- KSBB ISBI 5" 
- Aprilia Hanifa, I Give You Back (Fear) Karya Joy Harjo
Durasi : 3”  
- Patrem 5" 
- Adhimas Prasetyo, Sebelum Jaz Berakhir, Sesudah Jaz Berakhir karya Adhimas Prasetyo
Durasi : 5" 
- GSSTF UNPAD 5" 
- Majelis Sastra Bandung 
- (JPS) Dwi Cahya Yuniman, Aprilia Hanifa, Reza Raihan, Gracia Tobing:
For My People Margaret Walker
 Durasi : 5" 
- KPPI (Komunitas Penulis Perempuan Indonesia) 5" 
- Reza Raihan "Askara" karya Reza Raihan
Durasi : 3" 
- Komunitas Celah-celah Langit 5" 
- FLP Bandung 5" 
- Zulfa Nasrulloh, Beluk Belukar Kata, puisi interaktif dengan penonton, 2 tambahan penampil
Durasi : 10" 
- Manjing Manjang 5" 
- Sajak Liar 5" 
- Puspa Sari -- puisi Bahasa Jepang,  "Iroha" --Anonim
Durasi : 3" 
- Pecandu Buku 5" 
- Perpus Apresiasi 5" 
- Syarif Maulana & Gracia Tobing
Puisi terjemahan
"Beternak Penyair" oleh Semi Ikra Anggara
Puisi terjemahan interpretasi "The Poets Breeding" (What's Exactly Inside of A Poetry Translator's Head) Durasi : 6" 
- Ngampar Boekoe 5" 
- Dwi Cahya Yuniman "Life Is Fine" (Langston Hughes) dan "Battle Report" (Bob Kaufman).
Durasi : 5"
Agaknya kami datang ketika penampilan dari komunitas UIN SGD, sebab tidak lama kemudian merupakan penampilan dari JPS dengan puisi "We Real Cool" dari Gwendolyn Brooks (teks beserta analisisnya menurut seseorang dapat diklik dari sini). Puisi dibawakan secara bergiliran kemudian berbarengan dengan cara yang berbeda-beda oleh lima orang sehingga menghasilkan pertunjukan yang unik menarik.

Melihat urutan penampil, tampaknya yang terjadi kemudian tidak urut amat. Sebab, Zulfa Nasrullah--mas-mas bewok tetapi keren jebolan ASAS UPI--yang dijadwalkan setelah FLP Bandung ternyata tampil lebih dahulu.

Jujur saja, saya bukan penggemar puisi walau pernah sok-sokan bikin di masa lalu (#halah). Jangankan bikin, cara mengapresiasinya pun saya tidak tahu. Maka selama duduk manis di pertunjukan perhatian saya teralih ke sana kemari, mulai dari dekorasi ruangan yang bergambar walikota-walikota Bandung sejak zaman kolonial berikut sejarah pendirian kota, para penonton lain, sampai ke gawai pribadi.

Ketika saya mengembalikan perhatian kepada pembacaan puisi, sering kali kata-katanya tidak tertangkap jelas oleh telinga saya. Cara membawakannya pun, ya, tentu saya memendam salut atas keberanian mereka mengekspresikan diri di depan banyak orang, tetapi ....

Perhatian saya baru benar-benar terpikat ketika puisi dibawakan dengan cara yang lain daripada yang lain. Seperti penampilan dari JPS tadi, serta Zulfan Nasrullah yang menyatukan tiga puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan beringas juga pak dosen ganteng Komunitas Celah-celah Langit yang dibawakan oleh empat orang mas-mas gondrong dengan kompak namun memiliki karakter yang berbeda antara satu sama lain.

Andai saja punya gawai canggih dengan lensa tajam dan kapasitas gede, penampilan mereka itu patut direkam dari awal sampai tuntas.

Penampilan lain yang agak berkesan yaitu dari Patrem dan Majelis Sastra Bandung. Patrem diwakili oleh mbak-mbak berkacamata dan berbaju merah yang membacakan puisi berbahasa Sunda dari buku karyanya sendiri(?). Bisa dibilang, ini satu-satunya puisi berbahasa Sunda yang saya perhatikan dari acara ini, di antara puisi-puisi berbahasa Indonesia dan Inggris. Adapun Majelis Sastra Bandung diwakili oleh sang maestro, Matdon, dan berkesan karena kata teman saya seperti membacakan jalur-jalur angkot di Kota Bandung lalu saya jadi risi ketika tahu-tahu mendengar ada kalimat yang kurang lebih bunyinya, "sperma masuk ke mulut"--hiii. "Puisi apa sih ini?!" Teman saya juga entah. Sepertinya ini lebih daripada sekadar tentang jalur-jalur angkot.

Eh, mana jaznya, ya? Bukankah nama acaranya Jazz Poet Society? Padahal dalam bayangan ada prasangka pembacaan puisi bakal diiringi oleh permainan musik jaz. Alat musik yang terlihat cuma gitar. Mik saja tidak ada penopangnya, kudu dipegangi oleh akang Syarif Maulana. Jadi, apanya yang jaz? Mungkin itu dijelaskan di opening yang sayang sekali kami lewatkan, sebab judulnya saja "jaz bukanlah ini dan bukanlah itu."

Makanya, kata teman saya, datang ke acara seni itu yang sekalian ada diskusinya, "biar enggak bodo-bodo amat."

Sudah lewat pukul sembilan malam ketika tiba penampilan teman kami dari FLP Bandung. Baru ketika jeda setelah penampilan Manjing Manjang yang diiringi dengan petikan gitar, kami menyelinap keluar meliuk-liuk melewati orang-orang yang duduk. Sayang padahal acara belum selesai, tetapi tidak enak pulang kelewat malam.

Pesan Lingkungan dalam Lagu "Pergi ke Bulan"

$
0
0
Siapakah mau ikut ayo berangkat pergi denganku 
Di hari libur sekarang pergi jauh (menuju bulan) 
Jangan lupa banyak-banyak membawa bekal 
Agar tidak kelaparan di jalanan 
Ayo kawan kita berangkat 
Naik delman atau onta 
Kita ramai-ramai pergi ke bulan

Siapa yang tidak tahu lagu ini? 

Kamu tidak tahu? 

Coba dengar dulu lagunya. Setidaknya ada tiga versi yang dibawakan oleh penampil dari generasi yang berlainan.

Untuk pendengar dari generasi Baby Boomer:


Untuk pendengar dari Generasi X yang hilang serta Y yang milenial:


Untuk pendengar dari Generasi Z a-k-a kids jaman now:


Saya sendiri sebagai pendengar milenial mengenal lagu ini dari versi yang dibawakan oleh Klarinet. Lagunya riang bergembira dan saya senang menyanyikannya bersama seorang teman kuliah asal Jakarta Timur dengan mengabaikan tatapan bengong teman-teman yang lain. Tampaknya, cuma dia satu-satunya orang selain saya yang mengetahui lagu ini di lingkungan kampus kami. Malah, kemungkinan lagu ini sampai di telinga saya setelah saya merampok koleksi MP3 dia. Maaf kalau sebenarnya ada lagi anak di kampus kami yang tahu tentang lagu ini. Sayang kamu tidak sempat ikut menyanyikannya bersama kami waktu itu.

Sepintas lagu ini seperti main-main. Ya, perhatikan saja liriknya. Pergi ke bulan naik delman atau unta? Ke taman kota saja belum tentu tertempuh. Untanya mesti dipinjam dulu dari kebun binatang. Itu pun kalau boleh. Adapun delman bukan kendaraan yang selazim angkot apalagi ojol. Betapa absurdnya lagu ini.

Akan tetapi, jika kita mau mencermati yang ada di balik setiap yang tersuratan takdir, sesungguhnya lagu ini menyiratkan ajakan untuk berperilaku ramah lingkungan. 

Kenapa delman dan unta merupakan sarana transportasi yang disarankan dalam lagu ini? Kenapa bukan konvoi dengan motor ala anak-anak muda, atau sewa Gr*b Car ramai-ramai? 

Mungkinkah karena, sebagai sarana transportasi primitif, delman--yang biasanya ditarik kuda--dan unta tidak memerlukan bahan bakar fosil sehingga tidak akan menghasilkan polusi apalagi mengacaukan ekonomi akibat ketidakstabilan harga minyak? 

Apalagi bulan merupakan tujuan yang sangat jauh dari tempat tinggal kita di bumi. Jika kita pergi ke bulan menggunakan kendaraan yang memerlukan bahan bakar fosil, tentu dampak lingkungan yang diakibatkannya besar sekali. Karena itulah, untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh itu, kita disarankan untuk menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan saja, yaitu kuda atau unta. Katanya sih jejak karbon kuda memang lebih sedikit daripada mobil. Adapun unta, paling tidak itu transportasi haji yang disebutkan secara jelas dalam Alquran Surat Al-Hajj ayat 22 di samping jalan kaki.

Jangan lupa banyak-banyak membawa bekal 
Agar tidak kelaparan di jalanan

Selama perjalanan yang sangat jauh menuju bulan itu tentu kita membutuhkan makanan dan minuman. Bagaimanapun kita harus bawa bekal. Kalau mau praktis, bisa saja kita hanya berbekal uang dan membeli makanan-minuman di sepanjang perjalanan. Apalagi sekarang dengan teknologi uang elektronik, dompet tidak harus tebal dengan uang kertas dan receh. Semua bisa diurus lewat gawai. Asal jangan lupa bawa charger saja.

Tetapi, kalau kita memerhatikan kampanye lingkungan hidup di media-media, mereka suka menganjurkan agar membawa tumbler dan wadah makanan sendiri ke luar rumah. Kenapa? Karena di baliknya ada emak-emak penjaja Tupperware. Lagi-lagi, ini merupakan ajakan tersirat dari lagu "Pergi ke Bulan" untuk mencari tahu kenapa membawa perabot sendiri itu merupakan cara yang sustainable kala bepergian.

Lagu ini mungkin bukan untuk diamalkan secara harafiah, maksudnya literally pergi ke bulan naik delman atau unta dengan membawa bekal sebanyak-banyaknya. Kalau mengacu pada artikel Wikihow berjudul "Cara Pergi ke Bulan", delman dan unta sama sekali belum dimasukkan ke sana. Enggak tahu kalau nanti sore. Sedikitnya yang bisa kita ambil dari lagu ini, di samping sebagai hiburan penceria suasana untuk dinyanyikan bersama kawan, yaitu sebagai pengingat agar merenungkan pilihan kita dalam transportasi serta membawa Tupperware tumbler dan wadah makanan sendiri ke luar rumah supaya tidak menambah sampah.

Mind-blowingly Kiai Fuad Affandi

$
0
0

Ketika mendapat informasi di atas, seketika saya membelalak. Kiai Fuad Affandi! Kebetulan pisan, saya lagi membaca biografi tentang beliau di perpustakaan daerah Jawa Barat Jalan Kawaluyaan. Judul buku tersebut Entrepreneur Organik: Rahasia Sukses K. H. Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat "Sayuriyah"-nya karya Faiz Manshur terbitan Nuansa, Bandung, cetakan kesatu, September 2009. Sampai ketika menulis ini, pembacaan saya baru sampai pada halaman 284 dari 392 halaman. Saya langsung bersemangat untuk mendaftar acara itu.

Hari itu tiba. Di ruang GSG atas Salman ITB yang hijau (literally) untuk pertama kali saya bertemu sosok yang sebelumnya baru saya kenal lewat buku. Saya takjub karena beliau lain daripada yang tampak di foto-foto dalam buku. Tampaknya usia telah menyusutkan tubuhnya.

Biar begitu, persis seperti yang digambarkan di buku, pembawaan beliau memang berbobot tetapi kocak. Di sela-sela nasihatnya yang melimpah ruah, sesekali beliau menyisipkan lelucon bermakna. Yang paling bikin saya terbahak yaitu cerita tentang Kabayan dan Iteung berhadapan dengan petugas PLN. Memang leluconnya agak jorok, tetapi mangkus memahamkan tentang perbedaan paradigma antara yang-ingin-memberdayakan dan yang-hendak-diberdayakan.

Dari pembacaan buku Entrepreneur Organik, saya sudah mendapat cerita pendahuluan--malah mungkin penjelasan yang lebih luas daripada sekadar kuliah satu-setengah-jam ini--mengenai sepak terjang Kiai Fuad Affandi dalam membangun kampung halamannya. Betapa susah mengubah warga desanya agar menerima modernitas dan mengembangkan perekonomian.

Buku ini sangat mindblowing buat saya, anak yang seumur-umur produk kota besar bahkan ketika studi kehutanan pun minat saya ujungnya lari ke kota juga--perhutanan kota, yang cenderung meromantisasi kehidupan di pedesaan. Nilai-nilai ideal yang tengah saya himpun dari pembacaan buku-buku serta tontonan bergagasan alternatif pun diobrak-abrik lagi. Belum lagi, Kiai Fuad Affandi ini, baik di buku maupun live action, sarat nasihat yang saya membutuhkan usaha keras untuk mencerna dan mengaitkannya dengan kepentingan pribadi.

Beliau sempat mengkritik judul kuliah yang semestinya "pembangunan" alih-alih "perubahan". Alasannya, "perubahan" itu bisa ke arah kebaikan bisa juga pada keburukan, sedangkan "pembangunan" itu mesti ke arah positif. Hmmm, ini saja bikin saya berpikir keras, sebab sebelumnya saya mendengar dari lagu "Balada Pengangguran" Kantata Takwa:

Pembangunan, o! Pengangguran, ya! Penerangan, o! Kegelapan, ya!
Belum lagi, pada hari itu juga, sebelum berangkat ke Salman, saya baru membaca artikel Mongabay mengenai kontroversi "pembangunan" kebun kelapa sawit di Papua dan Sulawesi. Betapa "kemajuan" itu malah membikin orang Papua jadi "malas" untuk berburu-mengumpulkan hasil hutan, seperti tradisi mereka dahulu.
The villages I worked with were very critical of other villages who they deemed to have already reached that level of malas— laziness. Just waiting for your funds to arrive, just waiting for the company money. It’s another source of fragmentation, this internal criticism. People who are no longer struggling, who will eat from the company rather than hunt for themselves. And some people are. Some young Marind prefer to eat rice and noodles, they’re not really interested in hunting anymore. They’d rather be in the city, and they’d rather “progress,” or modernize as they put it — maju. I suspect these changes will be inflected along generational lines. That’s as much as I can envision at this point. Either total dependency or migration towards the cities. (klik Sumber)
Selain itu, ada perkataan beliau yang sangat mengunggulkan dan memuliakan pertanian, namun kenyataannya di India banyak petani bunuh diri atau, tidak usah jauh-jauh ke Anak Benua, di Sulawesi saja petani menangis karena sawahnya yang hampir panen diubah perusahaan negara jadi gundukan lumpur, ya, atas nama "pembangunan" tadi.

Saya bisa mengerti iktikad baik Kiai Fuad Affandi dan berharap dapat memahami nasihat-nasihatnya, juga bersyukur karena dibesarkan dalam lingkungan modern yang beliau kejar bersama desanya, seluruhnya terasa positif, namun entah kenapa saya menerimanya sambil mengerutkan kening. Maksudnya, masuk ke kepala, iya, tetapi sebelum menelan, kita harus mengunyahnya dulu sampai halus, kan? Semakin halus, semakin baik bagi pencernaan. Siapa tahu pula ternyata ada batu kecil, potongan cengek, atau serat yang tidak mungkin ditelan begitu saja.

Ketika sesi tanya jawab, bersuara beberapa pemuda yang bercita-cita sama seperti Kiai Fuad Affandi. Mengagumkan. Rupanya mereka juga mengalami kendala serupa dengan yang pernah dialami beliau. Makanya beliau sampai menceritakan lelucon tentang dildo lilin Kabayan-Iteung versus petugas PLN tadi. Seperti prostitusi, perbedaan paradigma terus terjadi dari waktu ke waktu, di mana-mana.
There’s a huge intergenerational problem in many of the villages I was working in. That level of societal relationship is breaking down. It works in both directions. Some of the elders who are adamant that the forest should be preserved versus the younger generation who are looking to progress, to change to modernity, material wealth, access to the cities. Access to the modern world. There’s that intergenerational tension. Then you also have it in the other direction, where there are young, educated Marind — schoolteachers, nurses, for instance — who are deeply critical of the elders who are also surrendering their land without understanding the terms of the contracts, the legal implications. Who are still operating in this reciprocity framework. [Young people would say,] “That works just fine among Marind, but you’re not dealing with Marind here. You need to change, our culture needs to change and adapt because we’re dealing with a very different kind of audience, who does not reciprocate in the same way, who does not understand reciprocity in the same way.” So some of these young people are pushing for kind of a transformation in Marind culture as a way of surviving these new kinds of forces and actors that are impinging upon everyday life. (klik Sumber)
Adakalanya menjadi kabur siapa yang lebih pintar: pemuda berpendidikan tinggi dengan idealisme namun kurang berpengalaman, atau warga desa kurang berpendidikan namun terampil. Semua sama-sama mencari uang. Tetapi, siapa memanfaatkan siapa, rupanya tidak ditentukan oleh tingginya "pendidikan". Lulusan kuliahan yang naif bisa diperlakukan bak mesin ATM oleh warga desa yang dasarnya pandai main akal. Kiai Fuad Affandi sendiri ijazah SD tidak punya, tetapi kini memiliki sekolah berjenjang-jenjang dengan jumlah santri bukan main banyaknya.

Seperti dalam "Balada Pengangguran" Kantata Takwa tadi:
Misteri! Ijazah tidak ada gunanya!
Meski begitu, berulang Kiai Fuad Affandi dalam kuliah kemarin mengatakan, "Pendidikan bukan pintu gerbang mencari uang, tapi manusia berpendidikan pasti dicari uang." Maka, "pendidikan" apakah yang dimaksud di sini jika beliau yang bisa dibilang tidak ber"pendidikan" malah menjadi sosok sukses yang disorot dalam televisi, majalah, buku ...?

Pada akhirnya, setiap yang bertanya diajak beliau untuk main ke pesantrennya dan melihat sendiri, tetapi nanti saja setelah tanggal 17 April #eh. Saya sendiri bersyukur karena telah membaca buku tentang beliau terlebih dahulu.

Terang banyak PR yang saya peroleh dari persinggungan dengan beliau: untuk belajar cara menjual, untuk menjadi berani, untuk mengerti perbedaan antara "usaha" dan "ikhtiar", untuk memikirkan maksud dari "punya cita-cita dan tujuan, usaha dan ikhtiar itu wajib, tapi uang bisa datang dari mana-mana" dan mengaitkannya dengan pola hidup saya sendiri, dan seterusnya.

Barangkali ada yang tertarik mendengarkan rekaman audio kuliah dengan beliau:



Rupanya kuliah ini merupakan yang pertama dari yang direncanakan akan delapan sesi. Saya menjadi penasaran akan episode-episode selanjutnya, siapa lagi tokoh yang akan ditampilkan.

Senja di Rumah Sakit Hasan Sadikin

$
0
0
Sore itu teman mengajak saya untuk menjenguk seseorang yang tidak saya kenal. Awalnya saya ragu, tentu saja. Tetapi, karena memang waktu luang dan pada dasarnya saya senang-senang saja bila hanya menemani, mendatangi tempat yang jarang atau tidak pernah dikunjungi, apalagi jika ada unsur dibayari, (halah, panjang banget,) maka saya ikut.

Sore itu, ketika kami berangkat dari Salman ITB, sudah mulai hujan tetapi kecil saja.

Namun langit tetap sendu.

Begitu tiba di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), kami memasuki gedung terdekat. Teman saya menanyakan ruangan yang kami tuju kepada petugas sekuriti, yang mengarahkan kami untuk ke gedung sebelah.

Rintik hujan turun lagi ketika kami keluar dari gedung.

Di gedung sebelah, teman saya bertanya lagi kepada petugas sekuriti.

Mulailah kami menyusuri lorong panjang yang berkelok-kelok.

Pada sore Jumat itu, di kanan-kiri lorong yang kami lalui tampak tidak cukup banyak orang untuk dapat dikatakan sesak. Bisa dibilang suasana cukup lengang.

Dalam kelengangan itu saya membayangkan sekiranya terjadi suatu bencana yang mengakibatkan jatuhnya korban besar-besaran, sepertinya lorong yang kami tapaki ini akan cukup untuk menampung mereka.

Agak tergetar memang ketika kami melewati tanda bertulisan "RUANG MAYAT". Saya menoleh ke kiri, pada pintu dengan tanda bertulisan sama di atasnya.

Ada pula lorong yang di sisinya terdapat banyak lemari listrik, yah, setidaknya begitulah saya menyebutnya, sebab terdapat petunjuk untuk tidak menyentuh benda-benda kotak besar itu sebab dapat mengakibatkan kesetrum.

Kami juga melewati taman indah yang terlihat begitu syahdu dinaungi suram rintik-rintik. Terpisahkan oleh taman itu terdapat bangunan serupa rumah yang membikin kami merasa berada di permukiman alih-alih rumah sakit.

Namun yang paling berkesan bagi saya yaitu ketika kami hendak berbelok memasuki pintu teralis. Di depan pintu itu ada meja sekuriti, namun isinya kosong dengan petunjuk bahwa penunggunya sedang salat. Di sampingnya terdapat ruang tunggu yang sedang diduduki beberapa orang.

Di balik pintu teralis itu, mengarah kepada kami, berjalan beberapa orang perawat mendorong ranjang. Pikiran saya yang sebelumnya timbul tenggelam berkelana ke alam lain serta-merta terpusat pada rombongan kecil itu. Saya penasaran.

Mereka melewati pintu dan benar saja: Selimut kelabu menutupi seluruh ranjang dari ujung ke ujung membentuk gundukan yang pastinya manusia. Di salah satu ujung terdapat sebungkus lumayan besar popok dewasa dan di seberangnya sebuah tas kotak yang berukuran lebih besar. Selain dua-tiga perawat yang mendorong ranjang itu mengekor seorang ibu-ibu tua berjilbab dengan bawaan.

Pikiran saya yang semula riuh, dan juga orang-orang di ruang tunggu yang sepertinya sebelumnya tengah pada mengobrol, mendadak senyap. Atau kesenyapan itu kemungkinan menguar dari jasad itu sendiri dan meliputi kami semua di sekitarnya.

Sembari memandangi jasad yang melewati saya itu, serta-merta melintas di kepala saya, "Perjalanan." Saya membayangkan, di luar tubuh yang senyap itu seseorang baru memulai perjalanannya ke alam lain.

Kenapa kamu tidak siapkan perjalanan itu dari sekarang?

Saya membayangkan, beberapa saat sesudah itu, masjid di suatu tempat akan berkoar mengumumkan kematian salah seorang warganya, seperti yang kerap kali terdengar di lingkungan tempat tinggal saya.

Melalui kesenyapan itu, kami melanjutkan penyusuran lorong.

Tibalah kami di bangsal Alamanda. Kami tidak tahu benar lokasi tempat tidur orang yang hendak kami jenguk. Teman saya bahkan belum pernah bertemu dengan orang tersebut. Saya tidak yakin ketika ia memasuki salah satu ruangan. Saya menyarankan dia untuk bertanya kepada penjaga saja. Tetapi ia malah bertanya kepada para penunggu pasien di ruangan itu. Subhanallah, mereka menyambut dengan baik, "Cari siapa?" Rupanya kami memasuki ruang yang benar. Orang yang kami cari berada di tempat tidur paling ujung, sebelum kamar mandi.

Saya bahkan tidak tahu sebetulnya orang hendak kami jenguk ini berada di rumah sakit karena apa. Hanya sempat terlintas dugaan bahwa beliau kena kecelakaan.

Kami pun berkenalan.

Rupanya beliau baru pulih dari bius. Sebelumnya, dari sekitar pukul dua belas hingga beberapa jam setelahnya, beliau menjalani operasi untuk menyingkirkan sel-sel kanker yang telah menggerogoti saluran reproduksinya.

Beliau telah menderita leukemia selama sepuluh tahun.

Referensi saya mengenai leukemia terbatas pada novel dan film, yang biasanya si penderita meninggal dalam hitungan beberapa tahun. Maka, berjuang menghadapi leukemia sampai sepuluh tahun itu membuat saya takjub.

Memang beliau mengatakan bahwa dirinya pernah divonis (?) oleh dokter pada 2012. Beliau pernah tidak bisa berjalan dan tidak dapat melihat. Namun alih-alih jatuh, beliau malah semakin bersemangat untuk sembuh.

Dalam kesakitannya itu beliau malah membuat taman bacaan di rumahnya di Ciamis, yang katanya halaman belakangannya langsung berhadapan dengan Situ Panjalu. Koleksi buku di taman bacaannya sampai lima ribu, namun seribu tujuh-atau-delapan ratus di antaranya tak kembali. Padahal di antara koleksi yang hilang itu ada buku-buku favorit bertanda tangan penulis yang dikejarnya sampai ke Jakarta. Koleksi buku juga diperolehnya dengan membeli di Palasari, sembari berobat ke RSHS Bandung.

Tidak sekadar membuka taman bacaan, beliau juga gemar mendongeng kepada pengunjung anak-anak. Beliau merendah sebagai bukan pendongeng ahli yang bisa menirukan suara burung dan sebagainya, melainkan ala kadarnya saja dengan boneka tangan yang sudah sepaket dengan buku. Selain itu, kepada mereka beliau ingin menerapkan kebiasaan sehari-hari seperti membaca lima menit serta menulis satu kalimat.

Ah, sampai di sini saya terenyuh. Saya yang sehari-hari menghabiskan berjam-jam untuk membaca, menulis, dan berbagai aktivitas literer lainnya sejak SD, sampai kini bukan apa-apa. Sementara beliau menceritakan tujuannya seolah-olah itu aktivitas yang sangat terpuji.

Damn, malu aku malu pada semut merah.

Saya tidak bermaksud hendak mengecilkan upaya beliau. Pada orang lain dengan kebisaan dan kesenangan yang lebih daripada sekadar membaca dan menulis, sedikit membaca dan menulis setiap hari mungkin dapat menjadi nilai lebih yang benar-benar bermanfaat secara praktis bagi mereka. Tetapi, bagi saya, yang kebisaan dan kesenangannya terbatas pada membaca dan menulis saja belaka hanya sekadar, dengan selera yang bukannya sok-sokan antipopuler namun memang begitulah adanya, dengan upaya menyentuh yang mainstream malah berakibat pada baret-baret mental, kurang dapat berkembang ke yang lain-lain, saya malah merasa seperti yang terpenjara oleh hasrat. Kok malah curhat.

Sembari mendengarkan percakapan teman saya dengan beliau, saya mengintip layar ponsel teman saya yang menampakkan halaman Youtube dengan judul yang memuat nama taman bacaan milik beliau: Cahaya Ilmu Panjalu.

Sekarang, ketika mengetikkan pengalaman ini, saya sembari menelusurinya sendiri di Youtube. Ini baru satu dari beberapa video tentang beliau yang saya temukan:


Catatan: yang di thumbnail itu bukan beliau.

Tak kusangka akan diajak bertemu dengan orang hebat.

Berpapasan dengan orang mati kemudian berbincang dengan orang yang menderita penyakit berat namun berbuat hebat, terdengar seperti ada yang "klik" enggak sih?

Ya Allah, apakah gerangan sesungguhnya ini?!?!?!

Suami beliau kemudian datang. Bajunya basah di beberapa bagian. Tampaknya di luar hujan lebat. Kami mengobrol sedikit.

Waktu magrib semakin dekat. Saya menendang pelan sepatu teman saya.

Keluar dari bangsal Alamanda, kembali kami berhadapan dengan lorong yang berkelok-kelok. Ketika melihat bahwa ujung lorong begitu sepi tanpa ada seorang pun, tersadar bahwa kami salah ambil jalan. Semakin gelap suasana rumah sakit kian mengkhawatirkan.

Sempat saya mengintip sebuah ruangan dengan banyak tempat tidur berbaris. Pada ujung tiap tempat tidur tampak ada peralatan dipasang. Terlihat seorang pasien dan seorang dokter sedang membicarakan entah apa.

Melihat sosok-sosok berjas putih yang sesekali lewat memang menerbitkan perasaan iri. Bukan iri yang seperti, "Wah, kayaknya enak jadi dokter, bisa lihat orang menderita dan mati tiap hari." Bukan. Entah kenapa. Mungkin karena untuk dapat menjadi dokter itu diperlukan perjuangan yang berat sehingga lalu dipandang hebat. Tetapi, sepertinya menjadi dokter bukan jaminan dapat memadamkan rasa insecure di hati. Kalau melakukan kesalahan, yang sesungguhnya manusiawi, bisa dituduh malapraktik. Tadi pun teteh yang kami jenguk bercerita tentang suami pasien yang meledak karena operasi tidak kunjung jadi, padahal istrinya sudah tiga kali disuruh berpuasa (yang artinya tiga hari kurang atau tidak makan).

Kami berakhir di lorong yang berbeda dengan lorong yang kami masuki di awal, kali ini berujung pada tempat parkir motor. Terdengar suara hewan berkoak-koak di angkasa. Kelelawar? Burung? Saya ingat katanya ada burung yang kalau berbunyi menandakan ada orang yang mati. Jangan-jangan bunyinya yang begitu? Sosok-sosok hitam beterbangan berputar-putar di atas sana. Banyak burung. Ada berapa orang yang mati hari ini di rumah sakit ini?

Berapa lamakah waktu yang tersisa hingga saya yang berada di balik selimut--ditutupi dari ujung ke ujung--dan disebut oleh pelantang masjid? Akankah suatu saat saya dicoba dengan penyakit berat menahun yang memayahkan lahir-batin dan apakah yang dapat saya perbuat agar bersemangat menjalaninya seperti beliau?

Seusai salat magrib di basement RSHS, saya berdoa semoga saya tetap sehat sampai waktunya tiba. Pokoknya saya enggak mau sakit dan menderita. Ya, Tuhan, ya? Ya? Ya? Ya?

Saya juga tidak mau kematian yang menyakitkan, tentu saja.

Banyak maunya, lupa bahwa dunia ini bukan surga.

Kunjungan ke rumah sakit kok jadi wisata religi.

Antara My Stupid Boss Kedua dan Kesatu dan Memahami Keanehan Mr. "RR" Bossman

$
0
0
Ada teman saya yang saking suka pada film My Stupid Boss sampai menontonnya lebih dari sekali di bioskop, dan mungkin juga di televisi. Katanya sih lucu banget. Ketika muncul sekuel film tersebut di bioskop baru-baru ini, My Stupid Boss 2, saya diajak untuk menemaninya menonton. Saya tertarik saja, meskipun belum menonton yang pertama jangankan membaca versi cetaknya. Maka pada Senin itu kami menonton penayangan pukul 14.25 di Studio 4 Festival Citylink dengan HTM Rp 30.000.

Secara keseluruhan, film ini sangat menghibur. Tidak terhitung berapa kali saya tertawa (kenapa juga harus dihitung sih?). Saya suka dengan setnya yang warna-warni. Nuansanya mengingatkan pada thumbnail musik lounge instrumental tahun '60-an di Youtube, meskipun film ini dilatari lagu-lagu Melayu-India-Cina. Saya suka dengan adegan kejar-kejaran dan joget-jogetan. Saya suka dengan pemandangan alam Vietnam yang bagaikan di surga. Saya suka dengan Mr. Kho, kakek-kakek Cina dengan kepayahan yang ekspresif. Saya suka Adrian, mas-mas flamboyan yang suka sisir-sisir kumis. Saya suka Bunga Citra Lestari, eh, Kerani, baru kemudian saya ketahui harusnya Diana, yang cantik dan imut. Saya suka Sikin yang ayu salihah. Saya suka Azhari dengan kalimat-kalimat tayibahnya yang menjadi sepercik siraman rohani sepanjang film ini. Saya suka Morgan Oey yang pura-puranya jadi orang Vietnam ambekan. Saya suka cara bicara orang Malaysia yang mengingatkan saya kepada penpal dari Perak yang surelnya tidak kunjung saya balas (hai, Fiq, kalau-kalau kamu baca blog ini!). Saya suke tembang-tembang Malaysie!, terutama yang zadul-zadul macam bulan madu di awan biru tiada yang mengganggu.

Meski begitu, penampilan Reza Rahadian masih mengganjal sih.

Sejak saya melihat poster My Stupid Boss yang pertama, BCL sudah terlihat lucu bahkan dengan hanya diam merengut begitu, tetapi ... Reza? Seperti yang ... agak ... maksa enggak sih?

Kenapa si bos enggak diperankan oleh aktor yang benar-benar mewakili umurnya saja?

Ketika saya mengungkapkan kesan saya ini terhadap teman saya penggemar film My Stupid Boss itu, ia menyarankan saya untuk melihat langsung aktingnya.

Baik, sekarang saya sudah melihat langsung aktingnya.

Teman saya bilang dengan kemampuan aktingnya itu, Reza yang asli menghilang.

Eh ... iya sih, sepertinya.

Tetapi ketampanannya masih kentara. Perutnya terlihat jelas ditempeli bantal atau apalah. Cara jalannya juga dibuat-buat.

Memangnya enggak ada aktor paruh baya di Indonesia yang mumpuni untuk berakting ala Reza Rahadian di film ini?

Aneh. Benar-benar janggal. Semua penampakan di film ini sudah bagus, kecuali yang satu itu.

Ataukah kejanggalan ini memang disengaja?

Saya menyadari bahwa memikirkan kejanggalan ini tidaklah penting dibandingkan dengan komedi yang dapat saya pelajari dari film ini. Lagi pula memang ketika menonton saya tidak begitu mempermasalahkan hal itu--mengganggu kenikmatan saja.

Saya mencamkan artikel-artikel di Mojok.co tentang Reza Rahadian, bahwa bagaimanapun kita sebagai penonton Indonesia harus menerima bahwa ia aktor yang kuasa memainkan peran apa saja. Jadi kaleng Khong Guan pun ia bisa. Sudah. Terima. Saja. Lagian, kamu tertawa-tawa juga, kan, melihat aktingnya?

Sudah, terima saja Reza Rahadian apa adanya. Memang cakap dia orangnya (sumber gambar).

Pada malam setelah hari menonton My Stupid Boss 2 itu, saya berkesempatan untuk menonton yang pertama dari suatu sumber yang ... cari sendiri, ya. Sebelumnya saya telah mendapatkan bocoran bahwa film pertama menceritakan penyesuaian diri Diana ketika baru bekerja untuk Bossman. Selain itu, di film pertama Adrian diperankan oleh aktor berbeda.

Di film pertama Bunga Citra Lestari terlihat lebih imut lagi, seperti Chibi Maruko Chan, sementara Reza Rahadian lebih tampan lagi. Aduh. Saya juga sudah kadung enak melihat Adrian yang dibawakan Iedil Putra, terlihat lebih genit gimana gitu, dibandingkan dengan yang oleh Bront Palarae, yang tampak seperti sewaktu-waktu siap membuka baju memperlihatkan badan kekar dan melempar penjahat bak di film-film laga. Mr. Kho dengan kacamata gantung dan tas kotak yang didekap ke mana-mana tetap menjadi favorit.

Lebih kasihan sama Mr. Kho daripada Bossman di adegan ini (sumber gambar).

Selain itu, saya melihat sepertinya formula di kedua film agak sama: ada joget-joget, ada berseragam ekspedisi kemudian lari-lari, ada sisi baik Bossman di antara rentetan tingkahnya yang memalukan lagi menyebalkan, dan diakhiri dengan adegan PHP dari Bossman.

Setelah menyerahkan PHD--atau semacam itu pokoknya piza--Bossman meninggalkan mereka dengan PHP (sumber gambar).

Tetapi, film kedua terasa lebih semarak, mungkin berkat kunjungan ke Vietnam serta kehadiran Morgan Oey #eh, ditambah kedatangan gangster Cina versus gangster India, rombongan turis Cina (?), deretan wanita penghibur di seberang kamar hotel yang ditempati Bossman, Mr. Kho, dan Adrian, dan seterusnya.

Yang wajar saja begitu. Kalau yang kedua kurang seru daripada yang pertama, kemungkinan penonton yang menonton keduanya secara berurutan akan rada kecewa. Saya sendiri yang menonton dengan urutan terbalik jadinya merasa yang pertama itu kalah menarik dibandingkan dengan yang pertama, malah cenderung klise.

Akhir film pertama pun pun bisa dibilang tidak kalah janggal daripada penampilan Reza Rahadian. Kalau Bossman punya dana untuk merenovasi Rumah Kebajikan (alias Panti Asuhan), kenapa ia sampai dikejar oleh debt collector--bahkan tidak membayar gaji Diana sampai dua bulan? Aneh, begitu.

Memang dalam dunia nyata sifat orang yang aneh-aneh itu ada saja kita temui. Lagi pula, film ini toh diangkat dari buku yang asalnya blog yang bisa dibilang pengalaman nyata.

Seketika saya pun mendapatkan insight: Jangan-jangan kejanggalan penampilan Reza Rahadian itu memang untuk menguatkan inner character yang pada dasarnya aneh? Jadi biar luar dan dalam, wujud dan isi saling mendukung melengkapi menjadi kesatuan, gitu lo (ucapkan dengan nada Bossman)!

Pengantar untuk Mempelajari Islam yang Ekologis

$
0
0
"Towards an Islamic Approach for Environmental Balance" oleh Muhammad Ramzan Akhtar dalam Islamic Economic Studies Volume 3 Nomor 2 Juni 1996, bisa dilihat di sini. Tulisan berikut sekadar merangkum pembacaan saya atas artikel tersebut dan belum tentu mencerminkan pandangan pribadi saya.

Dalam artikel ini dijelaskan bahwa ada dua pendekatan islami dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup, yaitu pendekatan individualistis dan pendekatan politis.

Pendekatan individualistis pada praktiknya terdiri dari tiga hal:
  • kesadaran lingkungan hidup (environmental consciousness)
  • kesederhanaan (simplicity atau istilah bekennya: gaya hidup minimalis)
  • persaudaraan antara sesama muslim (fellow-feeling)
Pendekatan politis yang dimaksudkan penulis artikel ini bisa dibilang dengan mendirikan negara Islam, sebab negara memiliki fungsi-fungsi strategis dalam penguasaan sumber daya alam sebagai berikut:
1.     Perencanaan (planning)
2.     Legislasi (legislation)
3.     Pengawasan (monitoring)
4.     Kepemilikan sumber daya alam (public ownership of resources)

Artikel ini pada dasarnya bersifat teoretis, menurut Alquran, sunah, fikih, dan sejarah Islam. Jadi artikel ini bukan untuk dipertentangkan dengan kenyataan di lapangan, yang mana agaknya masyarakat muslim--ambillah Indonesia dengan populasi terbesar sebagai sampel--masih jauh dari pendekatan-pendekatan sebagai tersebut di atas. Kalaupun ada di antara masyarakat muslim kita yang mementingkan ekologi, agaknya pemerintah kitalah yang masih kurang mengimplementasikan wawasan keakhiratan. Indonesia kan bukan negara Islam, lagian~

Cara hidup islami tidak mesti diterjemahkan dengan perilaku-perilaku kentara seperti rajin tahajud, tilawah Alquran, menjaga wudu, dan seterusnya, tetapi juga meliputi perilaku-perilaku subtil yang sepintas lalu cuma keduniaan atau tidak bernuansa keagamaan, seperti menghemat air, menanam pohon, dan seterusnya. Bukan berarti mengecilkan perilaku-perilaku saleh tersebut, tetapi, dalam Alquran toh ada juga perintah untuk berpikir dalam skala dunia-akhirat serta memerhatikan ayat-ayat Allah yang tersirat (: tidak tersurat dalam kitab suci).

Dengan kata lain: seorang muslim diperintahkan untuk memiliki pemikiran yang dalam, luas, dan jauh.

Contoh sederhana saja, pernahkah kita sampai memikirkan:

menggunakan kendaraan berbakar bahan fosil
> polusi timbal
> menurunkan IQ
> sulit menghafalkan Alquran jangankan menadaburkannya

pembangunan hotel, pabrik, dan sebagainya
> sumber air tersedot ke pemodal besar atau tercemar
> persediaan air bersih menipis
> tidak bisa sering-sering berwudu

boros dalam penggunaan listrik
< listrik berasal dari batu bara
< pertambangan batu bara dibuka dengan menebang jutaan hektar
< masyarakat adat dan banyak spesies lain terzalimi karena terusir dari habitatnya
< berbuat zalim terhadap makhluk lain merupakan dosa
< pihak yang terzalimi dapat meminta pertanggungjawaban di akhirat

Saya setuju bahwa setiap individu sebaiknya memiliki wawasan lingkungan hidup (dan dengan demikian memiliki kesadaran), gaya hidup sederhana, serta fellow-feeling yang kalau boleh saya artikan secara lebih luas menjadi empati atau rasa kemanusiaan.

Rasa kemanusiaan di sini maksudnya kalau kita merasa berhak mendapatkan air bersih, maka demikian pula dengan manusia lainnya. Maka jika ada manusia lainnya yang tidak bisa mendapatkan akses terhadap air bersih, kita menyadari ketidakadilan dan ingin melakukan sesuatu untuk mengatasinya.

Seandainya saja kita bisa meluangkan sumber daya (: waktu, pikiran, tenaga, dan sebagainya) untuk melacak rantai produksi dan distribusi dari setiap barang yang kita konsumsi (: memperluas wawasan lingkungan hidup), dan berapa banyak makhluk hidup yang terimbas oleh dampak lingkungannya, diiringi oleh perasaan empati (: menempatkan diri pada posisi makhluk hidup lainnya itu), kemungkinan kita akan ingin hidup seminimalis mungkin.

sumber gambar
"Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang." (HR. Bukhari nomor 6412, dari Ibnu 'Abbas) Demikian pesan dari Badan Wakaf Salman ITB yang masuk ke WA saya. Sesungguhnya itu ajakan untuk berwakaf kepada lembaga tersebut. Tetapi, mengaitkan dengan tulisan ini, sepertinya selagi sehat dan senggang, ada baiknya menggunakan nikmat tersebut untuk menafakurkan ayat-ayat Allah dalam bentuk wawasan lingkungan hidup tadi. Katakanlah, dengan menonton film Sexy Killers yang lagi tren belakangan ini. Setelah menonton film tersebut, kemungkinan orang bakal maklum bahwa di balik pemakaian listriknya ternyata ada orang-orang yang menderita, yang dengan demikian akan mengarahkan perilakunya agar mengurangi konsumsi.

Adapun dengan gagasan negara Islam, yah, lagi-lagi merujuk kepada Sexy Killers, bahkan pasangan calon yang didukung partai Islam terbesar di negeri ini pun tidak sepenuhnya bersih. Sepertinya perwujudan negara Islam masih jauh panggang dari api.

Katakanlah, untuk membentuk negara Islam dibutuhkan individu-individu yang islami: individu-individu yang tidak hanya terjebak di masjid dalam gamis atau jilbab panjang, tetapi juga individu-individu yang turun ke halaman dengan pakaian training untuk menanam sayuran; individu-individu yang alih-alih menonton cuplikan kajian di Youtube lebih suka datang langsung ke masjid dengan berjalan kaki atau naik unta sepeda atau kendaraan umum; individu-individu yang daripada belanja daring lebih memilih pasar tradisional dan menjalin silaturahmi dengan para pedagang; individu-individu yang lebih menikmati main sepak bola ketimbang PUBG (eh, lapangan bola sudah langka, ya); dan seterusnya.

Memang lebih mudah merutuki orang lain (: pemerintah, pengusaha besar) daripada diri sendiri. Tetapi, sepertinya, lebih memungkinkan untuk mengubah perilaku diri sendiri daripada orang lain, bukan?

Sulit? Memang. Malah sebenarnya yang di atas itu sindiran keras terhadap diri saya sendiri.

Dari artikel ini saya juga mendapat gagasan bahwa ekonomi Islam itu berorientasi kepada kesejahteraan orang lain atau, dalam skala besarnya, masyarakat. Ada hadis rasul yang mengatakan bahwa meninggalkan warisan yang banyak itu lebih baik daripada keturunannya menjadi peminta-minta. Saya mengira bahwa hadis itu tidak mesti diartikan secara harfiah. Warisan yang banyak supaya keturunan tidak menjadi peminta-minta itu boleh jadi berarti mewariskan kehidupan yang berkelanjutan untuk anak cucu. Kehidupan yang berkelanjutan tidak mesti dilihat sebagai banyaknya uang, emas, rumah, mobil, dan sebagainya, tetapi juga air dan udara bersih yang dihasilkan dari kerimbunan hutan serta cukup lahan untuk menjaga stok pangan. Keturunan tidak mesti diartikan sebagai anak cucu perorangan, tetapi bisa anak cucu siapa saja yang akan menempati dunia setelah habis giliran kita. Apalagi dengan rasa persaudaraan sesama muslim, anak cucu muslim lainnya seolah-olah anak cucu kita juga.

Jadi, ketika seseorang dianjurkan untuk menjadi kaya raya karena sesungguhnya kefakiran itu mendekati kepada kekafiran, kekayaan itu tidak mesti dilihat sebagai kekayaan pribadi berupa tabungan saham atau wakaf masjid dan pondok hafiz di mana-mana. Pernahkah memikirkan membangun hutan alam sebagai amal jariyah? Dari hutan itu akan dihasilkan air, oksigen, buah-buahan, dan hasil alam lainnya yang bermanfaat bagi aneka makhluk, bukan cuma anak-anak panti asuhan. Boleh jadi yang kita butuhkan bukan lebih banyak masjid, apalagi di daerah yang sudah padat penduduk, melainkan sebaran hutan dengan aneka pohon buah tempat penduduk sekitar dapat memenuhi kecukupan gizinya secara cuma-cuma? Kalau boleh kasar, mungkin bisa dikatakan, memperbanyak masjid itu propaganda Snouck Hugronje biar warga jajahan pada sibuk tilawah sementara hutan mereka diubah menjadi kebun jati dan pabrik gula untuk memperkaya kas pemerintah kolonial.

Wawasan ekologis begini belum saya dengar dari kajian-kajian. Para ustad lebih suka mencandai ibu-ibu soal poligami daripada tentang manajemen air, listrik, dan plastik di rumah. Padahal cinta berahi cuma bertahan sampai si perempuan tidak seksi lagi, sementara plastik awetnya menandingi "Aku" Chairil Anwar--seribu tahun pun belum tentu terurai.

My Humble Opinion on Solving Deforestation

$
0
0
Deforestation caused by human activity is happening in many parts of the world, with serious results for the environment. What do you think can be done to solve this problem?

Support your opinion with reasons and examples from your own knowledge and experience.*



I think we should learn to trace each product we consume. Had the product derived from unmindfully deforestation practice, we should stop consuming the product and find for its subtitute. If a lot of people do this altogether, that would lessen demands to the product and stop the production. The business owners would think of other ways to fulfill society's demand on environmentally-friendly products. That's just how business works in terms of flexibility. We as consumers are the ones who must decide for ourselves and rule the market. It is one's responsibility to educate oneself to being smart. I would say that we should not necessarily blame the government and the capitalists. We should just start from ourselves because it's much greater responsibility to change our own attitude than others' way of thinking. We should educate ourself to be a mindful consumer.

The least I can do to put this statement into practice is by living minimalist style. I am learning to be grateful for what I already have by thinking of what advantages I can take of them both for my own self and other people.

If I feel a need of something, I am training my mind to think first if I can find the substitute at home rather than buying new. If I need it new, I will look for the free way. If I can't get it free, then it's okay to spend some money. But if I don't have any money, I think again that maybe I just don't really need the stuff and find other things to occupy.

It actually doesn't always come easy and worries are always there.

Anyway, that's the challenge. I have read that some people manage to live without money due to their concerns of environmental, societal, etc-al problems. Thus they choose to live "poor" and they are happy with it because they know what they do will contribute to greater benefits. And by not making money doesn't mean that they are just being lazy around. Instead, they do things for the sake of giving without hoping for any profit nor reward, or, in other words, they just practice "the gift economy". That's what we lack of in this world where most people think that everything must be about money and such mentality lets evils happen, I guess.

Deforestation itself shoos indigenous people away from the forest which is their home, where they can gather food for free without paying a single dime. They just need to take care of the forest. Yet, when they get "civilized" by the government and the coal/palm/any industries, the forest is gone, food and other stuffs are no longer free to get, and that's just terrible. In ancient age, people would kill each other for food and that happens until now yet slowly. What growth that we as humans actually have reached?



*) The question is taken from Essential Words for The IELTS with Audio CD by Dr. Lin Lougheed (2011, Barron's Educational Series, Inc.)

Kesan Menonton Avengers: Endgame tanpa Pernah Menonton Film-film Sebelumnya

$
0
0
Ketika teman mengajak saya menonton Endgame, saya mengiyakan saja tanpa mengetahui film apakah itu. Satu-satunya Endgame yang saya tahu dan menurut saya seru adalah dua volume buku karya Derrick Jensen, dan isinya tentang environmentalisme radikal. Baru kemudian saya mengetahui bahwa Endgame merupakan judul dari film seri The Avengers--kumpulan pahlawan super yang hendak menyelamatkan dunia.

Baru kali itu saya melihat orang sebanyak itu di lobi XXI Transmart Buah Batu. Kebanyakan anak usia sekolahan, mungkin juga kuliahan. Apa sekarang sudah memasuki libur sekolah? Saya mencari sofa yang masih menyisakan ruang duduk untuk menunggu teman.

Sebetulnya saya bukan penggemar The Avengers. Tetapi saya tidak berkeberatan menonton film apa saja ketika ada teman yang mengajak. Sebelum ini, dengan teman yang sama saya menonton Captain Marvel. (Sayang, pada waktu itu saya sedang malas untuk langsung menulis kesan-kesan-sebagai-penonton di blog.) Sepertinya Captain Marvel satu-satunya film Marvel Cinematic Universe yang pernah saya tonton secara tuntas sebelum film yang terakhir ini.

Menilik dari judulnya, Endgame, seolah-olah ini akan jadi film yang terakhir. Meskipun tidak mengikuti dari awal, tetapi entah kenapa seketika itu juga saya berharap ini memang film yang terakhir. Katakanlah, misalkan, saya penggemar The Avengers. Sepertinya akan melelahkan untuk mengikuti semua film itu beserta cabang-cabangnya. Enggak tahu kalau orang lain. Kalau mereka bisa begitu kukuh mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya sampai mengakibatkan perpecahan di grup WA keluarga, kenapa enggak dengan mengikuti waralaba film superhero? Ini suatu sifat manusia yang menarik, atau sesungguhnya cermin bagi saya untuk menunjukkan keskeptisan atau malah keapatisan saya akan sosok ratu adil yang dapat menyelamatkan seluruh semesta--paling enggak selingkup Indonesia #halah #naonsih.

Teman saya telah memilihkan bangku A9 dan A10 pada pemutaran pukul 11.15 WIB di Studio 3. Tanpa aplikasi, sepertinya kami perlu mengantre panjang untuk mendapatkan tiket. Bangku favorit teman saya sebetulnya deretan B atau C bagian tengah atau dekat jalan, tetapi ia bilang keduanya sudah telanjur ada yang mengisi. Sesaat sebelum pemutaran, kami melihat di deretan bangku C bagian tengah itu (kalau enggak salah) ada anak lelaki berdebat dengan ayahnya. Si anak lelaki ingin menempati bangku tepat di samping jalan, tetapi si ayah bersikeras untuk duduk di situ. Si anak lelaki mengalah, sementara ibunya sendiri sudah anteng di nomor 8--urutan ketiga dari jalan. Seketika saya menduga si ayah penggemar berat The Avengers. Memang, tiga jam kemudian, ketika kredit film berjalan, ia sekeluarga termasuk orang-orang terakhir yang meninggalkan ruangan bioskop.

Ya, tiga jam, sama sekali enggak terasa. Ketika saya keluar dari ruangan bioskop, layar ponsel telah menunjukkan pukul 14.26. Memang, seperti yang dikatakan dalam ulasan ini, sepanjang waktu itu sesekali saya bertanya-tanya mengenai ini dan itu dalam film kepada teman di sisi kanan saya karena tidak tahu konteksnya. Teman saya sendiri bukannya penggemar berat yang telah mengikuti semua film terkait. Meskipun begitu, saya tidak merasa menyesal karena tidak menonton sekian banyak film sebelumnya. Tiga jam duduk di ruangan bioskop--yang jadi tidak terasa dingin karena hampir semua bangku terisi termasuk yang paling depan/bawah padahal posisi tersebut sama sekali enggak mengenakkan--dengan tebusan tiga puluh ribu itu somehow worth it menurut saya, bagaimanapun filmnya. Tujuan saya dalam menonton film di bioskop sepertinya lebih untuk kebersamaan dengan teman--kecuali untuk film Terlalu Tampan, tentu saja.

Di samping kehilangan banyak konteks yang enggak saya sesali (bagaimanapun, saya punya selera sendiri akan karya fiksi yang menarik), saya juga merasa kewalahan dengan banyaknya karakter, khususnya ketika gerbang dari segala universe pada terbuka menjelang akhir kemudian film mendadak jadi kolosal. Ini siapa? Itu siapa? Saya sibuk bertanya-tanya karena sebelumnya tidak menonton Black Panther, The Guardian of The Galaxy, dan seterusnya. Bagaimanapun juga,

Tidak apa-apa, tidak apa-apa ....
... enggak penting amat sih.

Paling tidak, sesekali terselip humor yang tanpa harus dilatari konteks tertentu dapat menggelikan. Itu sudah cukup. Karakter favorit saya yaitu si Dewa Petir berperut buncit, yang kerjanya cuma minum-minum bir, main game, dan terpuruk di rumah batu. Saya juga suka dengan penampilan singkat Chris Pratt yang terlihat seperti om-om agak tambun yang lucu.

Selain itu, entah kenapa, film ini memberikan gagasan untuk mengaitkan fisika kuantum dengan cerita-cerita keagamaan yang bersifat supernatural. Gagasan ini muncul ketika Ant Man mengatakan tentang lima tahun yang cuma lima jam bagi dia sehingga saya menjadi teringat akan perbedaan waktu antara dunia dan akhirat, yang katanya waktu di dunia terasa sekejap saja dibandingkan dengan di akhirat. Semacam itulah. Gagasannya ialah bahwa sesungguhnya hal-hal dalam cerita keagamaan yang terasa tidak masuk akal--seperti bagaimana rasul melihat surga dan neraka padahal dalam waktu kita sendiri belum menghadapi hari penghisaban--dapat dijelaskan dengan ilmu semacam fisika kuantum. Kenapa fisika kuantum? Yah, karena dalam film ini mereka membicarakan tentang fisika kuantum, perjalanan waktu, dan serta-merta gagasan itu timbul dalam kepala saya, seolah-olah ada koneksi. Dengan kata lain, misalkan kita sulit memercayai tentang surga dan neraka, atau riwayat-riwayat keagamaan yang tak terindrakan, mungkin karena kita belum mendalami fisika kuantum ilmu kita belum sampai ke sana. Kita belum beriman karena kita belum berilmu. Kurang lebih begitu. Saya juga enggak mengerti film liberal begini kok malah membawa saya pada gagasan keagamaan, mungkin karena mau Ramadan.

Matinya Seekor Anak Kucing (2)

$
0
0
Sebenarnya bukan hanya seekor, tetapi sekian.

Sejak "Matinya Seekor Anak Kucing" yang saya publikasikan di blog ini pada 2014, selama beberapa tahun ini, telah ada sekian ekor anak kucing yang mati di sekitar rumah kami.

Salah satu anak kucing yang akhirnya mati
secara menyedihkan akibat sakit.
Ada anak-anak kucing yang enggak sengaja kami pelihara, karena induknya yang entah datang dari mana kami beri makan, kemudian ikut tinggal, dikawini entah kucing mana saja, hamil, melahirkan, dan seterusnya, sampai ketika mereka sudah agak besar kami pindahkan ke garasi karena kalau di dalam bikin rujit, lalu pada sakit, dan mati satu per satu.

(Sebenarnya, banyak juga anak kucing yang setelah agak besar kami buang karena keterbatasan kami dalam mengurus banyak kucing.)

Kucing pungut yang berhasil bertahan
sampai besar dan tidak menyusahkan.
Kecuali sekarang ia jadi berisik
karena mulai pengin kawin.
Ada anak-anak kucing yang sengaja kami pelihara, atau lebih tepatnya, dipungut ibu saya dari jalan karena kasihan, sampai mereka besar. Salah satunya mati pada Ramadan yang baru lalu, katanya karena ditabrak, yang kemudian dikuburkan oleh satpam komplek di tanah kosong dekat rumah. Sayang, padahal kucingnya cantik dengan bulu hitam-cokelat halus dan megar.

Baru-baru ini ibu saya memungut seekor anak kucing lagi, namun sudah terlambat.

Berulang-ulang ibu saya bercerita, bahwa dua hari lalu anak kucing itu masih baik-baik saja. Malah sebenarnya anak kucing itu terlihat seperti ingin dibawa.

Tetapi, biasanya saya menjadi pemeran pendukung antagonis dalam drama ini. Tiap kali ibu saya membawa seekor anak kucing ke rumah, saya bertanya-tanya: "Jangan-jangan masih ada ibunya? Jangan-jangan ibunya cuma lagi cari makan? Jangan-jangan ada yang punya? Jangan-jangan ..." dan seterusnya. Kalaupun ibu saya keukeuh ingin mengurusnya, sebetulnya saya enggak ada masalah. Tugas saya paling-paling cuma kasih makan ketika ibu saya pergi.

Tetapi, anak kucing yang kali ini, ketika dibiarkan saja di jalan, tetap saja sendirian di jalan.

Ibu saya bilang, dua hari lalu anak kucing itu masih baik-baik saja. Tetapi, kemarin, anak kucing itu sudah lemas. Pantatnya basah, rusak karena diare. Diberi makan, enggak mau. Maunya berlemas-lemas saja di luar pagar, sembari berjemur. Tiap kali dibawa ke bagian dalam garasi, dia pasti ke luar lagi.

Kami memutuskan untuk membawanya ke dokter hewan sore itu.

Sementara pengunjung lain membawa anjing atau kucing yang bagus-bagus, dengan keranjang piknik atau kandang betulan, kami membawa anak kucing yang kelihatannya sudah mau mati tetapi masih bisa mencret dalam kardus Ades kecil. Perutnya toh masih kembang kempis. Sepertinya dia terus-terusan mengeluarkan tahi, sebab ibu saya terus-terusan menjejalkan tisu ke dasar kardus. Semestinya kami mengalasi kardus dengan berlapis-lapis kertas koran alih-alih selembar kaus bekas.

Giliran kami tiba. Nomor 68. Kami dibawa ke ruangan paling ujung oleh dokter cantik dan ramah, dengan bulu mata lentik dan wajah mulus, yang meragukan kami punya kulkas di rumah (serius, se-humble itu penampilan kami).

Anak kucing yang kami bawa masih hidup. Ia diberi infus, disuntik vitamin. Ia masih bisa berdiri, mau mencicip secuil kornet. Ia ditimbang dan beratnya 0,4 kg. Dokter memberi sebotol kecil air hangat supaya dia enggak kedinginan. Selain itu, ada obat cair yang mesti ditembakkan ke mulutnya sebanyak 0,5 ml dua kali sehari. Total biaya enam puluh ribu rupiah.

Begitu tiba di rumah, saya membersihkan lantai kamar mandi belakang di lantai dua. Kamar mandi itu bisa dibilang enggak pernah digunakan, sehingga sesekali kami fungsikan sebagai tempat karantina kucing sakit atau telantar. Setelah agak bersih, saya mengalasi lantai dengan lembaran-lembaran kertas koran. Kemudian ibu saya memasukkan anak kucing itu beserta segala perlengkapannya: tempat tidur, makanan, toilet ....

Kira-kira setelah isya, ketika saya ke lantai bawah untuk gosok gigi, saya mendengar ada suara aneh seperti menggeram. Saya mengira ada kucing bertengkar di luar. Saya tengok ke garasi. Enggak ada apa-apa. Suara itu terdengar berkali-kali lagi. Ibu saya muncul dan bilang bahwa itu suara si anak kucing. Anak kucing itu tidur tetapi sambil mengeluarkan suara. Ibu saya bilang sepertinya anak kucing itu mau mati.

Saya menyetujui dalam hati. Diam-diam saya merasa ngeri. Saya membayangkan ada Malaikat Izrail di atas sana, sedang menarik nyawa anak kucing itu perlahan-lahan. Anak kucing itu sebegitu kecilnya, dan dia bukan manusia. Usianya mungkin baru 1-2 bulan? Dosa apa yang mungkin diperbuatnya? Tetapi, kenapa suara sekaratnya sangat menyeramkan? Itu baru anak kucing kecil yang kita ragukan apakah memiliki dosa. Bagaimana dengan suara sekarat manusia dewasa yang jelas-jelas pasti telah berbuat banyak dosa sepanjang hidupnya, dengan akal dan hatinya?

Malam itu saya agak sulit tidur padahal sejak magrib merasa capek. Antara riweuh dengan persoalan-persoalan pribadi yang enggak penting, dan penderitaan si anak kucing. Saya tidur di spring bed dengan selimut tebal yang nyaman dan kegelapan nyaris total, sementara si anak kucing tidur cuma beralaskan kardus, koran, dan plastik, tanpa selimut, di kamar mandi pengap berpenerangan lampu oranye. Saya menyetel musik sampai kajian untuk meredam suara yang kemungkinan berasal dari si anak kucing. Akhirnya saya tertidur juga.

Subuh ini saya dan Mama sama-sama sudah bangun. Bukannya salat subuh dulu, ibu saya malah mengecek anak kucing itu. Lalu ibu saya turun lagi dan bilang anak kucing itu sudah kaku.

Sekarang, persoalannya, di mana hendak menguburkan anak kucing itu. Sebelum-sebelumnya kami menguburkan kucing mati di halaman rumah sendiri. Karena spot-spot strategis sudah terisi, belakangan kami merambah ke tanah kosong di dekat rumah. Tetapi, suatu kejadian bikin saya semakin malas membuang bangkai kucing ke sana. Saat itu, tetangga yang tinggal tepat di seberang tanah kosong itu memprotes kami. Dia enggak mau sampai tercium bau bangkai ke rumahnya. Setelah cekcok sebentar, kami berhasil meyakinkan dia bahwa kami bakal menggali tanah yang dalam untuk mengubur bangkai itu. Tetap saja, ada perasaan enggak enak karena sudah bertikai dengan salah satu pihak yang tampaknya enggak rela.

Saya berharap nanti bukan saya yang mesti membawa bangkai itu ke sana lagi. Kalaupun terpaksa, untuk menemani, saya berharap ibu-ibu itu enggak memergoki kami.

Ada yang mau mengobati kucing ini?
"Matinya Seekor Anak Kucing" merupakan tulisan ketiga paling populer di blog ini yang memancing cukup banyak komentar. (Yah, cukup banyak dibandingkan dengan ratusan tulisan lain di beberapa blog saya yang sama sekali enggak menimbulkan komentar, waha. Bukannya saya tanggap dalam membalas komentar juga sih.) Saya menduga kepopuleran tulisan itu menunjukkan banyaknya orang yang sesungguhnya peduli pada isu perkucingan.

Kuping kanannya sudah mau habis.
Memang manusia saja masih banyak yang telantar di jalan. Bagi sebagian orang yang segan-segan dalam hubungan antarmanusia, kucing bisa menjadi alternatif dalam belajar menjadi pengasih dan penyayang. Saya sendiri masih jauh dari tahapan menjadi seperti ibu saya, apalagi untuk menjadi seperti mereka yang sampai menampung ratusan kucing dan peduli untuk mengebirinya.

Seandainya kita ogah menyentuh kucing tetapi dikaruniai rezeki yang lumayan, minimal kita bisa mulai dengan membeli makanan kucing kiloan (yang kering itu lo supaya praktis) dan menyedekahkannya pada kucing liar yang kita temui di jalan. Seandainya kita miliarder, di samping menyumbang ke Daarut Tauhid atau lembaga kemanusiaan lainnya, mungkin kita bisa mendonasikan sebagian kelebihan itu pada lembaga penyelamat kucing, salah satunya adalah The Whiskers' Syndicate di Bandung.

Jangan ada anak kucing mati lagi di antara kita. Kematian, pada makhluk hidup sekecil apa pun termasuk tumbuhan, tetap saja bikin sedih. Kecuali pada kutu rambut, tentunya.

Perkenalan dengan Aneka Produk Google yang Berguna untuk Bisnis

$
0
0
Gapura Digital Google sedang menyelenggarakan kelas gratis di Bandung, tepatnya di Lo.Ka.Si Coffee & Space seberang SMAN 1. Saya berkesempatan untuk mengikuti kelas tersebut pada 15-16 Juni 2019 lalu dari pukul 13.30 sampai 17.30 WIB.

Dalam satu hari ada dua materi yang dijeda oleh istirahat yang sangat singkat untuk mengudap gorengan, donat, dan kopi atau teh; serta musala yang jika kapasitasnya hanya tujuh orang sementara yang hendak salat asar kira-kira ada 30-40 orang maka berapa waktu yang dibutuhkan supaya semuanya dapat giliran?

Rupanya saya mengikuti kelas ini dari level menengah, bukannya dasar. Modul yang pertama kali saya dapatkan pun diembeli "Modul 5" alih-alih "Modul 1". Meski begitu, saya (dan juga kamu-kamu sekalian) bisa mengejar ketinggalan dengan mengakses modul tersebut secara cuma-cuma di luar kelas melalui tautan berikut ini. Tinggal klik teksnya, ya. Mudah-mudahan bisa diakses untuk selamanya.

MODUL 1 Panduan Dunia Digital
MODUL 2 Google Bisnisku
MODUL 3 Membuat Situs Bisnis yang Efektif
MODUL 4 Cara Mudah Membuat Website untuk Bisnis Anda

MODUL 5 Konten Marketing dan Copywriting untuk Bisnis Anda
MODUL 6 Membangun Merek dengan Video
MODUL 7 Cara Mengelola Keberadaan Anda Secara Online
MODUL 8 Dasar-dasar Google Ads

Sebenarnya, pola url-nya cuma:

bit.ly/moduleGD(isi dengan nomor modul)

Misalkan, untuk mengakses Modul 9:

bit.ly/moduleGD9

Salah seorang pemateri bilang: Dengan berbagai fasilitas yang tersedia secara cuma-cuma, keterlaluan kalau kita sampai enggak berhasil dalam berbisnis.

Kedengarannya menohok, ya.

Lalu saya ingat pernah membaca pernyataan serupa dari seorang sastrawan di artikel koran--yang mohon maaf waktu itu saya merasa tidak terlalu penting untuk menggunting dan menglipingnya--bahwa dengan berbagai kemudahan akibat teknologi sekarang, keterlaluan kalau para penulis muda enggak bisa menghasilkan karya sastra bermutu. Maksudnya, kalau mau riset latar waktu dan tempat hingga mempelajari novel-novel klasik, tinggal googling. Bayangkan penulis zaman baheula, yang kalau mau riset untuk ceritanya mesti mendatangi langsung tempat kejadian, membaca bertumpuk-tumpuk buku di perpustakaan berdebu, dst dsb, untuk menghasilkan narasi yang kuat meyakinkan.

Meski begitu, kalau kita coba wara-wiri di platform-platform kepenulisan jaman now, tempat calon-calon penulis pada unjuk rasa, bisa dilihat mutu literasi mereka yang .... baca sendirilah.

Iya ... kali, Pak?

Semacam:

Semua orang pengin dibaca, tetapi pada malas baca, atau sudah memiliki terlalu banyak hal di otak sehingga enggak menyisakan ruang untuk gagasan-gagasan baru berikut ego penulis lain.

Semua orang pengin produknya dibeli, tetapi duit mereka sendiri pas-pasan atau perlu berpikir panjang dulu untuk membeli produk orang lain ....

Lah, kok jadi nyinyir? Mari kita kembali kepada hawa positif.

Peserta yang hadir di kelas waktu itu sekitar lima puluhan orang. Saya takjub sebab mereka tidak hanya terdiri dari anak-anak muda sepantar saya atau kurang. Banyak juga di antara mereka yang bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya. Malah ada ibu-ibu dengan tata rambut yang sepertinya memerlukan banyak hairspray, seakan-akan pada tahun '80-an beliau adalah mahmud-mahmud paling trendi. Ada juga kakek-kakek yang jalannya sudah timpang, tetapi lalu dapat hadiah karena jadi juara main Kahoot sementara HP saya sendiri kurang compatible untuk install aplikasi tersebut (jadi, siapa yang salah zaman?).

Mengutip teman saya: Acara ini lebih cocok bagi pelaku usaha yang telah memiliki produk dan ingin berekspansi.

Bagi saya sendiri, wawasan yang saya peroleh dari acara ini mungkin dapat bermanfaat nanti, kelak, suatu saat, ketika mindset saya telah bergeser dari labour of love unicorn rainbow la la la land ke it's all about the money it's all about the dum dum dururumdum I don't think it's funny.


Serius. Pemateri yang sama bilang: "Terus terang aja, ya, Ujung-ujungnya Duit! Bisnis itu bukan sekadar untuk 'usaha' atau 'ibadah'. Harus mata duitan!" ... atau kurang lebih seperti itu intinya sebab saya enggak merekam ataupun mencatat pernyataannya itu secara verbatim.

Poin lain yang saya catat--yang saya dapatkan juga di acara lain yang serupa sebelumnya tetapi waktu itu sponsornya Grab--adalah: Kita harus memiliki passion terhadap produk yang kita buat, lalu beristikamah--fokus!

Tentu saja acara ini lebih daripada sekadar masukan-masukan moral seperti itu. Acara ini utamanya merupakan panduan yang adakalanya bersifat teknis untuk menggunakan produk-produk Google seperti:

Google Form
Google My Business
Google Trends
Youtube
Google Alerts
Google Calendar
Google Ads
Google Primer
Bahkan Blogger, seperti yang sedang saya manfaatkan untuk membuat tulisan ini.
Dan masih banyak lagi.

Which is interesting, sebab belum lama ini juga seorang teman mengangkat isu tentang berhenti menggunakan produk-produk Google yang artikel berikut ini mungkin bisa mewakili untuk menjelaskan alasannya: Why You Should Stop Using Google Chrome.

Lah, kok jadi melenceng lagi?

Ini gambar yang saya ambil dari Lo.Ka.Si. kejadian supaya tulisan ini enggak cuma tulisan. Cheers.

Viewing all 458 articles
Browse latest View live