Quantcast
Channel: A DAYEUH IN A LIFE
Viewing all 458 articles
Browse latest View live

Kita Butuh Angkot ... demi Menyelamatkan Beruang Kutub

$
0
0
Beberapa hari yang lalu, saya keluar rumah untuk menghadiri suatu acara. Saya naik angkot 01 dari dekat rumah lalu berhenti di depan Universitas Langlangbuana. Di situ saya menunggu angkot jurusan Kalapa-Dago. Sekitar sepuluh menit, angkot tersebut tidak juga muncul. Saya mulai gelisah. Saya takut terlambat ke acara yang dituju.

Saya pun mulai berjalan memasuki Jalan Karapitan, sembari sesekali menengok ke belakang. Sesekali muncul beberapa angkot, tetapi enggak satu pun yang jurusan Kalapa-Dago.

Saya memutuskan untuk naik angkot jurusan lain saja sampai perempatan menuju Jalan Ir. H. Juanda (Dago). Lalu dari perempatan itu mungkin akan ada angkot yang dapat membawa saya ke tempat acara.

Saya pun naik angkot Kalapa-Ledeng. Di Jalan Sunda yang sangat padat oleh kendaraan--dibandingkan sewaktu di sekitar Jalan Buah Batu tadi--saya melihat penampakan angkot Kalapa-Dago agak jauh di belakang. Sempat saya berpikir untuk turun dan pindah ke angkot itu. Tetapi angkot tersebut malah berbelok ke jalan di sebelah kirinya.

Saya pun tetap di angkot Kalapa-Ledeng. Di perempatan sekitar Jalan Riau-Jalan Merdeka-Jalan Ir. H. Juanda, saya melihat ada satu angkot Kalapa-Dago yang tertahan oleh lampu merah. Begitu angkot Kalapa-Ledeng yang saya naiki belok ke Jalan Merdeka, saya minta turun. Lalu saya cepat-cepat pindah ke angkot Kalapa-Dago tersebut sebelum jalan karena lampu sudah menjadi hijau.

Jalan Ir. H. Juanda pada siang akhir pekan itu penuh oleh kendaraan, khususnya setelah melewati Jembatan Pasopati. Untunglah saya enggak terlambat sampai ke acara.

Acara yang bertempat di Jalan Ir. H. Juanda itu selesai sekitar magrib. Saya dan teman menumpang salat magrib lebih dulu di tempat lain yang tidak jauh dari situ, dan tertahan di sana sampai isya karena tahu-tahu turun hujan deras. Begitu isya, hujan sudah selesai, kami pun melanjutkan obrolan di pinggir jalan.

Saat itu saya sudah khawatir jangan-jangan enggak bakal ada angkot Kalapa-Dago lagi yang lewat. Dari Jalan Ir. H. Juanda, untuk pulang saya cuma bisa naik angkot Kalapa-Dago. Bisa saja sih saya naik angkot St. Hall-Dago, tetapi itu artinya perjalanan pulang saya bakal semakin panjang dan lama begitu pula ongkosnya jadi berlipat-lipat. Tetapi, bahkan angkot St. Hall-Dago saja enggak kelihatan. Sekalinya ada angkot Kalapa-Dago yang lewat, mereka menolak tumpangan karena sedang membawa barang.

Ini bukan sekalinya saya menunggu di tepi Jalan Ir. H. Juanda dan lama mendapatkan angkot Kalapa-Dago. Saya pernah mengalaminya bahkan ketika hari belum gelap--saat itu masih sore dan langit cukup cerah.

Rencana cadangan saya: Kalau angkot Kalapa-Dago enggak kunjung lewat, saya mau menumpang aplikasi ojek daring milik teman. Ponsel saya sendiri enggak compatible untuk aplikasi yang baru in beberapa tahun belakangan ini.

Teman saya optimistis bahwa angkot Kalapa-Dago akan lewat, dan dia benar.

Saya pun naik ke angkot yang cuma diisi pak sopir itu. Baru ada beberapa penumpang lagi setelah angkot melewati Bandung Indah Plaza.

Saya berhenti di perempatan Jalan Pungkur. Di situ saya menunggu angkot 01.

Jalan Pungkur relatif sepi baik siang maupun malam. Di belakang tempat saya berdiri menunggu ada Alfamart yang terang-benderang, serta seorang tukang parkir. Saat itu sekitar jam setengah delapan malam. Saya pikir: Kalau sampai jam delapan angkot 01 enggak lewat, saya bakal masuk ke Alfamart, beli pulsa, dan menghubungi teman yang bermukim di sekitar situ untuk menginap barang semalam.

Tetapi, beberapa menit kemudian angkot 01 tiba. Yang mengisi cuma sopir dan di sampingnya perempuan yang sepertinya istrinya. Mereka cukup muda, paling enggak si sopir mengemudi sambil menyetel dan menyanyikan lagu Sheila on 7 keras-keras. Sopir sempat menanyakan kepada saya soal lampu di bagian dalam angkot yang sengaja enggak dinyalakan. Saya fine-fine saja soal itu. Yang penting saya sudah dapat tumpangan untuk pulang.

Di Jalan Buah-Batu, angkot disetop oleh seorang bapak-bapak berkumis, berjaket, yang agak kurus. Bapak itu dengan ramah menanyakan, "Supratman?" Sopir angkot menolaknya karena sudah mau pulang. Bapak itu terlihat legawa-legawa saja dengan keputusan si sopir, entah apakah sebenarnya hatinya ketar-ketir juga seperti saya sebelumnya. Sementara angkot berbelok, saya melihat pada si bapak yang ditinggalkan itu melalui kaca belakang. Saya merasa kasihan: Pada malam gelap di jalan yang sepi begini, entah berapa lama lagi ia mesti menunggu angkot yang akan membawanya ke Supratman ....

Tetapi, memasuki Jalan Martanegara, angkot berhenti untuk seorang mbak-mbak muda berjilbab syar'i dan si sopir menanyakan tujuannya. "Binong," kata si mbak muda. Lalu si sopir membiarkan ia masuk.

Apa mungkin karena dia mbak-mbak berpenampilan lumayan yang tujuannya cuma Binong sementara yang sebelumnya bapak-bapak yang tujuannya sampai Supratman? Supratman lebih jauh daripada Binong, memang.

Sementara meresapi itu, saya mengenang masa ketika masih bisa mendapatkan angkot St. Hall-Gedebage malam-malam--bahkan jam setengah sepuluh malam. Saat itu saya masih murid SMA. Tahun-tahun belakangan, menjelang magrib saja angkot St. Hall-Gedebage bisa dibilang sudah enggak ada yang lewat. (Atau saya enggak mau mengambil risiko menunggu sampai lama untuk memastikan bahwa sesungguhnya angkot tersebut masih lewat pada waktu begitu.)

Dalam hati, sejak menunggu angkot Kalapa-Dago di depan UNLA siang sebelumnya, saya ingin berteriak: "KAMI MASIH BUTUH ANGKOT!" atau lebih tepatnya, "KITA BUTUH ANGKOT!" Bukan hanya untuk orang-orang tua yang gaptek, atau anak-anak muda yang enggak mampu/berminat membeli gawai yang compatible buat install aplikasi ojol, tetapi juga untuk mengurangi macet, panas, serta zat-zat polutan berbahaya yang katanya bisa menumpulkan otak.

Tetapi, kebanyakan orang hanya memikirkan dirinya sendiri (kayak diri sendiri enggak aja). Mereka ingin cepat, ingin gaya. Mereka ingin lebih banyak waktu buat dirinya sendiri (saya juga sih), atau buat siapalah yang lagi ingin mereka temui. Mereka enggak bisa menikmati berdempetan dengan orang lain sembari melamun--melayangkan pikiran ke sana kemari (nah, kalau yang ini sih saya lain dari mereka).

Lah, kok jadi menyalahkan orang lain, ya? Katanya yang bijak itu bercermin dulu. Baiklah, mungkin ini salah saya:

1. Yang lagi malas bersepeda, apalagi kalau berangkatnya mesti siang bolong ketika cuaca panas terik matahari.

2. Yang enggak mau meneruskan belajar dan membiasakan naik motor dan atau mobil. But, but, but I don't see any point of being able to drive while living in a big, crowded highly polluted city. I deeply enjoy walking, riding bike (kalau cuaca lagi enggak panas atau hujan dan jalannya menurun) and taking public transportation!

3. Yang belum dapat lungsuran gawai yang compatible buat install aplikasi ojol.

4. Yang keluar rumah sampai malam untuk bertemu teman dan mengikuti pelatihan, padahal mah diam bae di rumah jadi manusia gua untuk selama-lamanya.

5. Yang gagal paham kenapa sih mesti mengikuti arus zaman supaya semakin bergantung kepada teknologi yang untuk menjalankannya membutuhkan banyak listrik dan bahan bakar fosil yang mengakibatkan perubahan iklim yang dampaknya membikin seekor beruang kutub luntang-lantung di jalan raya seperti dalam potongan koran berikut ini.

Sumber: Kompas, 20 Juni 2019
6. Yang setelah melihat berita di atas lantas googling 'how to save polar bear' dan menemukan justifikasi:
We can all contribute to reducing climate change, and therefore help polar bears and other endangered species. A significant cause of climate change is the emission of polluting gases from burning fossil fuels, such as coal and oil. Fossil fuels are burned when we use electricity or drive our cars, among other things. (Baca selengkapnya di artikel ini.)
7. Yang sebetulnya enggak serius-serius amat dalam menanggapi isu perubahan iklim, cuma sebal aja enggak ada angkot pas lagi butuh. Huh! Saya kan cuma manusia biasa yang bisanya cuma memikirkan kepentingan diri sendiri, dan kepentingan saya adalah: Saya butuh angkot ketika lagi enggak bersepeda! Kebetulan saja beruang kutub juga butuh sebanyak-banyaknya orang beralih ke angkot ... secara enggak langsung.

Kayaknya Bandung juga.
(Sumber: Kompas, 20 Juni 2019 "Angkutan Umum Perlu Diperluas")

Mengenang Kelas Bahasa Inggris Gratis di TBI Dago 25 Juni - 20 Juli 2018

$
0
0
Tepat setahun yang lalu, TBI Dago menyelenggarakan kelas Bahasa Inggris gratis yang dimulai pada 25 Juni sampai 20 Juli 2018. Selama empat minggu itu, kelas diadakan setiap hari Senin sampai Jumat pukul sembilan sampai sebelas pagi WIB.

Untuk mengikuti kelas tersebut, saya mengikuti tes penempatan yang diadakan sekitar sebulan sebelumnya (saat itu Ramadan). Tesnya berupa mengerjakan soal Bahasa Inggris pilihan ganda sebanyak beberapa puluh soal. Jawaban langsung diperiksa saat itu juga dan saya dinyatakan lolos kelas Intermediate. Jadi rupanya akan ada dua kelas yaitu Beginner dan Intermediate. Ada kuota untuk tiap-tiap tingkatan dan ketika saya mengerjakan tes tinggal kelas Intermediate yang masih lowong.

Setelah dinyatakan lolos, saya harus menyerahkan semacam uang jaminan sebesar Rp 100.000. Uang ini akan dikembalikan utuh apabila saya dapat memenuhi 75% kehadiran. Kalau enggak salah. Ingat-ingat lupa, jadi enggak yakin, hihihi. Yang jelas, nantinya saya dapat memenuhi 100% kehadiran sehingga uang itu kembali utuh pada saya. Hore!

Maka, tidak lama seusai Ramadan, pada Syawal tahun itu pun saya memulai kelas tersebut. Murid dalam tiap kelas berjumlah sekitar belasan, maksimal dua puluhan. Khusus di kelas saya, Intermediate, jarang-jarang murid hadir semua. Malah pernah sekali waktu yang hadir cuma empat orang sehingga rasanya seperti kursus privat. Lebih-lebih lagi, yang mengajar ada lima orang bergantian!

Jadi, baru setelah menjalani kelas tersebut--dengar dari kanan-kiri--saya baru mengetahui bahwa program ini gratis karena sesungguhnya kami sedang, istilahnya, membantu peserta pelatihan guru Bahasa Inggris dalam program CELTA atau Certificate in Teaching English to Speakers of Other Languages. Jumlah mereka--guru-guru kami--sepuluh orang. Mereka dibagi menjadi dua tim yang masing-masing terdiri dari lima orang. Kedua tim ini digilir di kedua kelas sehingga masing-masing mendapat jatah dua minggu di kelas Beginner dan dua minggu di kelas Intermediate. Dalam satu pertemuan (dua jam/hari) setidaknya tiga dari kelima guru itu mengajar secara bergantian. Adakalanya mereka juga bekerja bersama-sama, terutama ketika mengadakan permainan.

Cara mengajarnya cenderung menuntut partisipasi aktif murid daripada sekadar membeberkan grammar di papan tulis. Tiap hari ada tema tertentu dan biasanya ada lembar kerja fotokopian yang menyertai. Sering kali kami disuruh berdiskusi per dua atau tiga orang, yang tentu saja harus menggunakan bahasa Inggris. Selagi kami berdiskusi, guru yang sedang bertugas mendengarkan percakapan kami selintas-selintas. Setelah diskusi usai, biasanya ada pembahasan mengenai kalimat-kalimat yang barusan kami gunakan dalam percakapan dan di situlah pengetahuan tentang grammar masuk.

Ya, penggunaan bahasa Inggris secara aktif merupakan salah satu hal paling menantang dari kelas ini. Khususnya bagi saya yang sangat jarang bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Grogi, itu sudah pasti. Tetapi, ternyata saya enggak sendirian.

Malah, yang grogi sebenarnya bukan hanya murid, tetapi juga sebagian guru! Ada sesi-sesi ketika mereka meminta masukan dari kami agar bisa memperbaiki cara mengajar. Sebagian dari rekan saya sesama murid gadungan ternyata pengajar profesional sehingga mereka bisa memberikan masukan yang berarti. Sebenarnya para guru itu juga pengajar profesional, tetapi sertifikat CELTA ini sepertinya diperlukan agar mereka bisa meningkatkan level.

Foto bersama guru-guru sif dua minggu pertama.

Manfaat bagi saya pribadi

Saya bisa masuk ke kelas ini awalnya sekadar untuk mengikuti ajakan teman. Ketika saya lolos tes, niat saya sekadar supaya saya ada kegiatan dan bersosialisasi lagi. Pada waktu itu, saya baru pulih dari mengonsumsi antidepresan dan selama berbulan-bulan bisa dibilang saya enggak berbuat apa-apa karena motivasi hidup saya lagi ambruk.

Setelah menjalani kelas itu, bertemu dengan orang-orang baru, terpaksa berbicara dalam bahasa yang biasanya cuma saya gunakan untuk membaca, dan mau enggak mau mengakui status saya yang bukan apa-apa (: problem yang pasti dijalani saat berkenalan dengan orang-orang baru), malah timbul motivasi saya untuk belajar bahasa Inggris lagi. Saat itu saya sadar, kalau ingin meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, saya harus mulai menggunakannya secara aktif yaitu lewat berbicara dan menulis.

Ketika itulah, saya mengunduh aplikasi Bottled. Dengan aplikasi tersebut, saya bisa mengobrol via teks dengan banyak orang dari banyak negara yang tentunya menggunakan bahasa Inggris. Enggak lama kemudian, saya bisa bertelepon dengan Ziad dari Mesir serta menulis karangan bersama Sam dari Amerika Serikat.

Bentuk latihan lain yang terpikirkan oleh saya adalah kembali menulis di blog, tetapi kali ini dalam bahasa Inggris.

Tetapi, gagasan-gagasan lain kemudian bermunculan sehingga bukannya berfokus pada membuat post demi post berbahasa Inggris di satu blog, saya malah mengaktifkan blog-blog saya yang lain dan kembali menulis dalam bahasa Indonesia bahkan pada NaNoWriMo 2018 saya berhasil menyelesaikan proyek novel yang mandek sejak 2013 sampai sebanyak 80.000-an kata!!! Pada saat itu, rasanya seolah-olah, setelah vakum menulis selama bertahun-tahun, tiba-tiba terjadi ledakan kata-kata. Enggak usah tanya kualitasnya, ya ... 

Setahun telah berlalu. Dari kursus itu, bertambah teman untuk jalan bareng dan saya kembali membaca, menulis, menerjemahkan, mengkliping, mengulas, dan berkomentar secara relatif rutin di beberapa media tulis-menulis.

Tetapi, gagasan untuk berlatih berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris secara rutin justru belum berhasil terlaksana, huhuhu. Bersama kenangan-kenangan ini saya mengingatkan diri saya akan tujuan itu.

Terima kasih sebesar-besarnya untuk NMS yang telah menggiring saya pada kesempatan berarti ini. Salam rindu teruntuk kawan-kawan sekelasku dulu. Mudah-mudahan grup chat kita bisa ramai lagi dan kapan nih kita temu kangen? Eaaak. (Bahasanya berasa angkatan '70-an.)

Untuk TBI Bandung, kapan lagi nih ada program ini? Saya mau ikut lagi! 

Foto bersama setelah game, makan-makan,
dan menulis kesan-pesan di punggung para guru pada hari terakhir.

Meresapkan Pakoban 8 Hari Pertama

$
0
0
Saya pertama kali mengenal Pak Oban, alias Pasar Komik Bandung, tahun lalu. Pada waktu itu, acara tersebut juga diselenggarakan di Braga City Walk, dan sepertinya bukan pada akhir pekan. Begitu memasuki Braga City Walk dari Jalan Braga, ada beberapa deretan meja yang menjajakan produk-produk komik dan merchandise. Saya tidak memerhatikan Pakoban tahun lalu diselenggarakan berapa hari, dan pada hari apa saja. Pada kedatangan saya yang pertama kali itu, suasana cukup sepi. Adapun pada tahun ini Pakoban diselenggarakan selama dua hari pada akhir pekan, alias pada Sabtu dan Minggu. Saya mendatanginya pada Sabtu (13 Juli 2019) dan suasananya cukup ramai, kemungkinan karena sorenya, sehabis asar, ada acara jumpa para pemain film Gundala, yang akan tayang pada 20 Agustus 2019.

Terus terang, sudah lama saya enggak peduli soal komik. Sewaktu SMP, saya masih bisa berangan-angan muluk ingin ke Jepang untuk jadi mangaka (?!?!?!). Sewaktu SMA, sepertinya saya masih membeli Nakayoshi. Tetapi, sepertinya sejak saat itu hingga seterusnya saya semakin berfokus pada kepengarangan atau tulis-menulis alias media kata--whatever you name it lah--meski sesekali masih membaca komik. Dunia gegambaran semakin saya tinggalkan, meski kadang masih ada sedikit napasnya bak titik-titik merah pada bara yang hendak padam (apaan sih!?). Jejaknya bisa dilihat di blog ini, dalam label "ngegambar".

Kalaupun dua tahun belakangan saya mendatangi Pakoban seolah-olah peduli pada geliat komik Indonesia, sesungguhnya itu sekadar untuk mengikuti ajakan teman. Toh di sana pun saya cuma melihat-lihat tanpa sungguh-sungguh tertarik, jangankan untuk membeli. Saya lebih mementingkan pertemuan dengan teman, syukur-syukur nantinya ada sesi obrolan panjang nan mendalam #eaaa.

Anyway, sesungguhnya pada kunjungan ke Pakoban kali ini ada yang berbeda. Sebabnya, kali ini ada tokoh komikus yang hidup lagi dalam kepala saya. Tokoh komikus ini sebenarnya sudah muncul sejak saya SMA, seakan-akan sebagai perwujudan aspirasi saya dalam dunia gegambaran yang terkalahkan oleh hasrat kepengarangan. Tetapi, sama halnya dengan potensi gegambaran saya yang enggak berkembang, si tokoh ini pun enggak berkembang dalam kepala saya. Kalaupun dia mendapat tempat dalam garapan saya, perannya relatif minor. Baru belakangan, saya merasa telah menemukan tempat bagi dia untuk berkembang. Bukan berarti saya kembali suka menggambar. Hanya saja, karakter dia klik dengan karakter tokoh lain yang sedang berkembang dalam pikiran. Pada awalnya, peran dia masih sekadar pendukung, tetapi, kini saya berpikiran untuk memberi dia ruang yang leluasa untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Ngomong apa sih?

Saya berasumsi bahwa saya bisa lebih mengaitkan diri dengan acara yang saya datangi bila saya punya tokoh dalam kepala yang berada dalam dunia itu. Misalnya, ketika mendatangi Pakoban, saya sambil menghidupkan si tokoh komikus dalam kepala sehingga, harapannya, acara ini dapat lebih berkesan dan berguna bagi saya atau saya dapat lebih menghayatinya (???) melalui kacamata si tokoh. Misalnya lagi, ketika mengikuti acara pelatihan pemasaran digital Google, saya sambil membawa-bawa tokoh wirausahawan dalam kepala. Apakah cara ini memang efektif dalam membikin saya lebih nyambung sama acara? Kayaknya enggak juga sih. Tetapi, senang saja bila ada perasaan si tokoh jadi hidup. Entah kenapa.

Berikut adalah jadwal Pakoban tahun ini sebagaimana yang dikirimkan oleh teman saya.


Sabtu siang saya tiba terlambat, ketika acara bincang-bincang bersama komikus Ngawangkong Lieur sudah dimulai. Tanpa pernah mengetahui semacam apakah Komik Lieur ini, acara tersebut cukup menghibur sebab komikusnya benar-benar humoris.

Seusai bincang-bincang yang pertama, saya dan teman-teman beredar melihat-lihat produk komik dan merchandise yang dijajakan di deretan-deretan meja. Ada beberapa produk yang saya kenali seperti re:ON Comics serta Garudaboi. Adik saya pernah membeli satu nomor re:ON sementara Garudaboi merupakan komik yang saya gemari semasa kuliah, dan bukan cuma sekadar hasil menumpang baca di Gramedia, tetapi saya memang membeli satu atau dua (--lupa!--) nomornya. 

Betapapun komik Indonesia kemungkinan punya peran penting tertentu dan masyarakat seyogianya mendukungnya, sayang sekali, sebagai manusia yang bukan lagi pelajar atau mahasiswa--yang biasanya lebih ringan dalam mengeluarkan duit sebab belum tahu kesulitan mencarinya--saya mesti pandai-pandai menjaga isi dompet, huhuhu.

Setelah cukup beredar, saya kembali ke barisan tempat duduk di hadapan panggung, menemani teman lain yang baru datang. Saat itu sedang diadakan bincang-bincang bersama Gula Comic dan Iqomic. Gula Comic dengan karyanya yang berupa Wonder Sweet serupa Minky Momo yang diindonesianisasi, kayaknya sih. Maaf, saya enggak mengikuti dari awal dan cuma menangkap soal Minky Momo, magical girls, dan bahwa penciptanya pernah kuliah di Korea Selatan. Adapun Iqomic itu semacam komunitas komikus islami. Karena teman saya gemar bertanya, ia mendapatkan satu eksemplar buku kumpulan komik islami dari Iqomic. Hore!

Bincang-bincang berikutnya bersama Own Games dengan karyanya yang berjudul Innaria ternyata sangat menarik. Komikusnya menerangkan konsep Innaria yang relevan banget dengan fenomena kekinian, yaitu soal mental issue. Komik ini berusaha untuk memvisualisasikan kehidupan batin manusia yang katanya memakan porsi 90% sementara yang tampak di permukaan hanya 10%. Di sini ada semacam kampanye agar kita peka terhadap mental issue, bahwa kita tidak bisa menganggap remeh persoalan seseorang. Buruknya perilaku seorang manusia pasti ada sebabnya atau merupakan akibat dari luka batin yang enggak terobati. Pokoknya, penjelasan si komikus akan latar belakang Innaria menakjubkan banget deh dan sangat memancing untuk membaca langsung komiknya, yang alhamdulillah, bisa diakses secara cuma-cuma di: http://own-games.com/

Tetapi, seperti yang komikusnya bilang, penjelasan mengenai Innaria merupakan privilege bagi pemirsa yang hadir saat bincang-bincang. Ketika saya membaca langsung komiknya, sepintas ini seperti komik mecha versi lokal namun enggak sampai mengupas sedalam yang diungkap komikusnya. Meski begitu, toh saya masih bisa menikmatinya sampai tertawa-tawa.

Bagi saya pribadi, bincang-bincang tentang konsep Innaria masih lebih menarik daripada acara berikutnya, yaitu jumpa pemain Gundala, hahaha. Kami yang sudah nyaman mendapat kursi diusir karena tempat duduk tersebut akan ditata dan diperuntukkan bagi, entahlah, mungkin media. Karena saya memang enggak seberminat itu melihat artis, dengan sukarela saya bangkit dan menjauh, hahaha. Tetapi, tentu saja teman-teman saya mau menonton dan jadinya kami mendapat pemandangan yang leluasa dari lantai dua.

Menjelang magrib, acara meet and greet itu tuntas. Sementara teman saya menunggu jam tayang Super Receh Wars, kami mengobrol sambil memandangi barisan penggemar yang mengular demi bisa berfoto bareng para bintang film. Begitu Super Receh Wars dimulai, setelah teman saya mendapat teman lain untuk menemaninya, saya menikmati bersepeda di jalanan seputar pusat Kota Bandung menjelang isya.

Berbarengan dengan momen Pakoban dan kembali-hidup-serta-berkembangnya si tokoh komikus, saya menumpuk komik lama yang hampir semua merupakan produk Jepang, berpikiran untuk membacanya ulang serta mengulasnya. 

Sementara segini dulu. Yang jumlahnya
paling banyak sendiri itu komik apa, ayo?

Tentu pandangan saya sekarang sudah lain dengan sewaktu saya pertama kali membaca komik itu, ketika usia saya baru separuh--bahkan kurang--dari usia saya sekarang. Memang, baru sedikit komik terjemahan itu yang saya baca, saya sudah menemukan konten fan service yang cukup "aduhai". Ratna Sari Dewi dalam suatu wawancara bersama Desi Anwar mengatakan bahwa Jepang memiliki mentalitas yang berbeda dengan Indonesia, khususnya dalam soal pengeksposan anggota tubuh. Dalam komik Doraemon edisi Jepang, Shizuka boleh telanjang, tetapi tidak demikian dalam komik Doraemon versi Indonesia. Dulu saya enggak mengerti kenapa Shizuka di komik Doraemon mandi pakai semacam baju renang begitu, tetapi berangsur-angsur saya mengerti bahwa itu hasil sensor. Karena itu, komik Indonesia--betapapun sangat dipengaruhi oleh gaya Jepang--punya potensi sebagai media visual alternatif yang lebih sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku umum di Indonesia.

Belajar Humor dari Pak Boim Lebon

$
0
0
Minggu, 21 Juli 2019, di perpustakaan Bandung Creative Hub dari pukul 9-12 WIB ada acara Diskusi dan Bedah Buku Pahlawan tanpa Tanda Tangan. Buku ini merupakan buku kumpulan cerpen humor yang dikarang oleh Pak Boim Lebon dan para anggota FLP. Membaca kata pengantarnya, gagasan mengenai buku ini terbit pada waktu Musyawarah Nasional FLP di Bandung beberapa waktu lalu. Dalam acara tersebut, ada workshop menulis cerita humor bersama Pak Boim. Nah, buku ini merupakan hasil dari workshop tersebut. Harganya Rp 45.000 saja.

Di samping Pak Boim, ada dua pembicara lain, yaitu Felian Auliya dan Aini Sarah Nurul atau Sarah Astro. Keduanya tercatat sebagai anggota FLP Sumedang dan menyumbang cerpen dalam buku ini. 


Ketiga pembicara berbagi kiat-kiat dalam menulis cerita humor. Khusus untuk Pak Boim, kita tahu beliau adalah penulis yang prolific. Di samping duet bersama Hilman Hariwijaya dalam Lupus Kecil dan Lupus ABG yang sangat kesohor itu, ada banyak lagi bukunya yang lain yang secara umum bergaya humor. Nama Boim Lebon seolah-olah identik dengan cerita humor. Berikut ini adalah beberapa poin yang saya tangkap dari mereka. Sebagian besarnya dari Pak Boim, selebihnya oleh Sarah dan Felian.
  • Penulis cerita humor memiliki gen humor atau sensitivitas yang tinggi terhadap humor.
  • Sangat banyak hal yang bisa ditertawakan dari kehidupan sehari-hari. Penulis yang terlatih akan mencatatnya dengan rajin.
  • Di antara sekian hal yang bisa ditertawakan dari kehidupan sehari-hari itu adalah kelakuan orang di sekitar kita. Bisa jadi kita mengenal orang-orang yang punya karakter unik dan komikal sehingga bisa dijadikan bahan tertawaan. (Lo, kok kesannya kejam, ya? Hihi.) Pak Boim mencontohkan teman-temannya semasa SMA, keluarganya, bahkan dirinya sendiri sebagai sumber inspirasi dalam menulis yang lucu.
  • Humor tidak mesti menggunakan diksi kasar, sebagaimana dicontohkan acara lucu-lucuan di televisi yang kerap mengatai orang dengan sebutan-sebutan tertentu. Humor juga tidak mesti bersifat slapstick ala Srimulat. Acara stand-up comedy bisa dijadikan alternatif untuk mempelajari permainan diksi sehingga menghasilkan efek humor.
  • Baca juga karya-karya yang humoris seperti ... Raditya Dika ...? Apa enggak ada yang lain? (*keplak) Raditya Dika juga penulis yang identik dengan gaya humor, dan salah satu yang paling terkenal di Indonesia. Kalau mau mengeksplorasi, sesungguhnya ada banyak penulis humoris lain--baik dalam negeri maupun mancanegara--yang juga layak untuk diperhatikan.
  • Untuk menguji apakah joke yang kita punya memang lucu atau enggak, kita bisa menceritakannya dulu kepada orang lain dan melihat reaksi mereka.
Sebagai penyuka yang lucu-lucu, sharing dari ketiga penulis ini--utamanya Pak Boim--beresonansi (idih, berat diksinya!) dengan pengalaman saya sendiri. Saya juga beraspirasi ingin lihai membawakan gaya bahasa humoris dalam tulisan saya. Karena saya pada dasarnya bukan orang yang senang ngomong atau segan kalau sengaja melucu pada orang (takut malah krik krik), saya hanya bisa menguji kelucuan pada diri saya sendiri. Kalau itu membuat saya tertawa, saya pikir sudah memadai lah. 

Tetapi, toh, membawakan humor ada seninya sendiri. Seperti kata Mark Twain--Bapak Humor Amerika Serikat--adakalanya kelucuan terasa ketika si pencerita enggak menyadari bahwa yang dikatakannya itu lucu. Kadang saya menemukan bacaan yang mengaku humor, tetapi maksa alias enggak bikin saya ketawa. Jadi, kalau itu lucu bagi kita, tetapi belum tentu bagi orang lain, sementara kita malas mengujikannya kepada orang lain, paling enggak, kita enggak perlu memaksakan kepada pembaca bahwa itu memang lucu. Sajikan saja dengan dingin dan apa adanya, seakan-akan kita sendiri enggak menganggapnya lucu tetapi begitulah yang kita pikirkan dan selebihnya biarkan pembaca sendiri yang menilainya. Pembaca dengan sensitivitas humor yang berbeda dari kita mungkin enggak bakal bereaksi, tetapi pembaca yang seselera dengan kita boleh jadi kena.

Secara keseluruhan, semesta dalam karya-karya Pak Boim itu sendiri juga terasa beresonansi (???) dengan saya.

Buku-buku beliau pada umumnya diperuntukkan bagi anak dan remaja. Boleh jadi itu karena anak dan remaja merupakan pasar pembaca yang besar (orang dewasa sudah enggak punya waktu buat baca!), meski Pak Boim bilang sekarang ini terjadi krisis bacaan anak. Adapun pasar remaja penting karena pada masa tersebut orang mulai ingin diperhatikan lawan jenis dan sangat melit--hal-hal yang dapat menentukan arah hidup. 

Kalau diingat-ingat, memang, bacaan saya semasa remaja menentukan apa yang saya ingin tulis sampai dewasa ini. Pada masa itu, saya terpengaruh paling enggak oleh tiga macam bacaan: fiksi islami ala FLP, teenlit Barat terbitan GPU, serta novel serius berdebu di perpustakaan sekolah. Ketiganya pada umumnya berupa karya realis, dalam artian bukan genre tertentu seperti horor, fantasi, detektif, dan sebagainya, melainkan berkutat dengan masalah kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur tersebut--islami, pop, tetapi juga serius, dan realis--menguasai dunia imajinasi saya dan terus-menerus saya ramu agar dapat berpadu dalam karya yang paling enggak mesti bisa memuaskan diri saya sendiri. Itu, dan bungkusnya sebisa mungkin humoris. Humor penting karena dengan bangunan dunia yang sedemikian relatable, yang bisa jadi penuh dengan hal-hal enggak mengenakkan, saya pengin belajar cara memandangnya secara ringan, di antaranya, dengan menertawakannya.

Mendengar Pak Boim mengenang masa SMA beliau yang sepertinya sangat mengesankan, karena banyak teman sekolahnya yang berkarakter unik--termasuk dirinya sendiri, wkwk--saya teringat akan proyek (idih, serasa mau bangun gedung) saya sendiri yang sampai sekarang belum menemukan "tempat"-nya. Betapa saya juga terjebak dalam masa itu dan entah kapan akan selesai.

Akhir kata, Pak Boim berpesan agar kita menulis saja yang kita suka dan kita biasa. Kita enggak perlu takut kalau ide kita enggak menarik, karena menarik atau enggak itu tergantung pada cara mengemasnya, yang salah satunya mungkin dengan humor. Buku-buku Pak Boim bisa dijadikan bahan pelajaran.

Kebetulan, sebelum mengetahui tentang acara ini, saya menumpuk beberapa buku Lupus Kecil dan Lupus ABG yang saya miliki. Tadinya, maksud saya membaca ulang buku-buku itu karena saya lagi menggarap cerita dengan karakter bocah tengil sehingga saya butuh referensi untuk penjiwaan(???). Setelah menghadiri acara temu langsung dengan salah satu pengarangnya ini, saya mendapatkan wawasan baru dalam pembacaan saya dan bisa mengaitkan beberapa hal. Baru dua buku Lupus Kecil yang saya tamatkan sampai saya mengetik entri ini. Pembacaannya saya taruh di Goodreads. Berikut tautannya.


Adapun tentang novelet dengan karakter bocah tengil yang mengambil Lupus sebagai salah satu referensinya itu, draf pertamanya sudah selesai dituliskan. Saya enggak yakin dia benar-benar menyerupai Lupus sih. Soalnya, biarpun bandel, Lupus lebih berteladan dan enggak sampai mengangkat kenakalan remaja semacam berjualan video porno #eh #spoileralert. Dalam acara ini, sesungguhnya Pak Boim memberi dua tugas. Yang pertama adalah menuliskan karakter orang yang kita kenal dalam keseharian kita, yang kita anggap unik. Yang kedua adalah menuliskan ide cerita. Karena kepala saya lagi penuh sama novelet ini, maka saya memakainya untuk memenuhi tugas itu--yang enggak saya kumpulkan karena malu. Hihihi. Kalau penasaran, novelet itu bisa dibaca di sini dengan pertanyaan apakah usiamu sudah 17+. Tetapi, percayalah, isinya enggak selucah kesan yang tersurat.

Ngebun Seru Yuk! di Microlibrary Kiaracondong

$
0
0
Teman saya telah berkali-kali menginformasikan tentang acara Komunitas 1000 Kebun. Namun hati saya belum terpanggil(?) hingga baru-baru ini, tepatnya pada 28 Juli 2019. Komunitas tersebut mengadakan NGERUK atau NGEBUN SERU YUK! bertempat di Microlibrary Kiaracondong pukul delapan sampai sepuluh pagi Waktu Indonesia Barat.


Maka, Minggu pagi itu saya bersepeda ke kawasan Kiaracondong. Jalan masuknya berada di samping Toserba Griya, tidak jauh dari stasiun Kiaracondong. Meninjau Google Map dan menanyakan kepada teman yang bertempat tinggal di kawasan itu, lokasi yang saya tuju mestinya berada di sekitar kantor kecamatan: Jalan Kantor nomor 1. Setiba di tempat yang kiranya kantor kecamatan, saya tidak menemukan tanda "Jalan Kantor". Dua orang yang saya tanyai pun tidak tahu-menahu.

Saat itu saya berada di samping sebuah sekolah. Dipisahkan oleh jalan, ada semacam lapangan dengan bangunan yang sepertinya baru jadi atau agak terbengkalai. Hanya ada satu orang sedang duduk di situ ketika saya datang. Enggak lama setelah menghubungi teman saya, yang katanya akan menghadiri acara itu juga, ada beberapa orang lain yang datang. Saya pun mendekati salah seorang dari mereka, yang ternyata memang berasal dari Komunitas 1000 Kebun.

Setelah berkenalan dengan orang-orang, tanpa menunggu lama lagi, saya membantu mereka mengeluarkan barang-barang yang diperlukan. Di dalam bangunan itu, di samping rak-rak yang tidak banyak berisi buku, terdapat bertumpuk-tumpuk karung, bibit-bibit tanaman--baik dalam baki maupun polybag, serta papan-papan yang sedianya untuk dirakit menjadi bed.

Setelah semua barang yang diperlukan dikeluarkan, terkumpul sekitar belasan orang. Kami berbagi tiga tugas: 1) Mencampur media tanam; 2) Merakit papan, serta; 3) Mencangkul di atap Microlibray. Para perempuan yang notabene peserta baru mendapat tugas pertama, sedangkan yang kedua dan yang ketiga ditangani oleh para lelaki yang sebagian merupakan anggota karang taruna setempat.

Di lapangan telah dibentangkan spanduk yang cukup lebar. Media tanam yang dicampur berupa arang sekam, coco peat, pupuk kandang, dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1:1:1 atau masing-masing satu karung. Setelah keempatnya tercampur, kami memasukkannya kembali ke karung-karung untuk nantinya dibawa ke atap. Setelah spanduk cukup bersih dari campuran media tanam sebelumnya, kami menumpahkan isi karung-karung baru dan memulai lagi.

Dari satu tugas ini saja, saya mendapat pelajaran penting: tanah kurang cocok sebagai media tanam. Sebabnya, tanah mudah mengeras. Kalau sudah begitu, tanah perlu dicacah-cacah(?) supaya gembur.

Saya pun termenung. Selama ini, dalam upaya-berkebun saya yang penuh kebodohan, saya biasanya hanya menggunakan tanah, pupuk, dan arang sekam. Memang persoalan tanah keras itu saya alami, apalagi di musim kering begini. Padahal saya sudah telanjur membeli berkarung-karung tanah yang sebagian belum saya manfaatkan. Saya mendapat masukan bahwa tanah tetap bisa digunakan tapi porsinya setengah saja. Lain kali, ketika hendak mencoba berkebun lagi dan membeli bahan-bahannya, sepatutnya saya mencari coco peat saja.

Sayangnya, dalam kesempatan ini saya enggak begitu memerhatikan informasi dan pengetahuan yang berseliweran. Perhatian saya lebih tercurah pada kerja fisik bersama-sama ini, yang sudah lama tidak saya lakukan, sehingga kali ini rasanya sungguh menyenangkan lagi menyegarkan. Saya menyentuh berbagai media tanam langsung dengan kulit, tanpa dihalangi sarung tangan biarpun akibatnya timbul rasa sakit. Sebelum pergi ke acara ini, saya memotong kuku dan rupanya ada yang kependekan. Selain itu, arang sekam bisa cukup tajam untuk menggores kulit. Tapi, saya tidak peduli. Saya merasa begitu asyik, energetik. Meski setelah beberapa waktu, energi saya turun juga dan sudah tidak sabar rasanya ingin rebahan, hahaha.

Berangsur-angsur peserta bertambah dan tidak lagi didominasi oleh perempuan. Muncul bocah-bocah SD yang membantu mencampur media tanam serta mengangkut karung ke atas. Ada juga bapak-bapak petugas sekitar yang menunjukkan cara mencampur media tanam secara cepat. Dibutuhkan jangkauan kedua lengan yang lebar untuk membolak-balikkan media tanam dari bawah ke atas.

Pencampuran media tanam disudahi karena waktu sudah melewati pukul sepuluh, padahal masih banyak karung yang belum digarap. Kami pun dipanggil ke atap untuk demonstrasi menanam. Baki-baki berisi semai ikut dibawa ke atas.

Beberapa bed telah siap. Anak-anak, mbak-mbak, dan ibu-ibu bersama-sama mengisi sisi-sisi bed dan memasukkan semai ke lubang-lubang yang telah diatur jaraknya, yaitu sepuluh sentimeter antarsatu sama lain. Adapun semai terdiri dari dua jenis: pek chay dan selada romaine. Sepintas keduanya terlihat mirip, namun ternyata salah satunya punya bulu-bulu halus. Semai ditumbuhkan dalam wadah yang terbuat dari lembaran gedebog pisang (?) yang direkat dengan staples.

Sebelum ditanami, media tanam dibasahi lebih dulu.
Mari menanam semai beramai-ramai!
Setelah semai ditanam, diberi air sekalian mencuci tangan 
Matahari semakin luas menyinari, panasnya semakin terik menyengat, semai-semai semakin layu untuk dimasukkan, badan saya semakin merengek minta diistirahatkan. Kini saya mengerti sebabnya "topi" menjadi salah satu barang yang sebaiknya dibawa, khususnya yang bentuknya melebar di sekeliling. 

Setelah berfoto bersama di atap sambil mendongak ke arah drone padahal langit sudah terlalu menyilaukan, kami pun turun. Saya dan teman menyerahkan bibit/biji yang kami bawa dari rumah--barang lain yang diharapkan agar dibawa.

Berangsur peserta pada pulang, hingga giliran saya dan teman yang pamit. Beberapa orang dari komunitas dan karang taruna lanjut mencampur media tanam dan saya salut pada mereka sebab suasana kian siang kian enggak kondusif. Betapa kerennya mereka!

Sepulang dari acara ini, saya capek tapi senang. Inilah refreshing yang saya butuhkan! Inilah pelajaran yang semestinya saya ikuti! Sejak menyadari pentingnya berkebun, saya memulainya serbasendiri, mulai dari mencari informasi hingga memraktikkannya di halaman rumah. Tapi, rupanya cara itu kurang efektif bagi saya. Semangat saya pasang surut dan tanaman-tanaman saya berakhir menyedihkan. Berkali-kali saya kapok, meski berkali-kali pula saya kembali penasaran.

Hanya karena saya sudah "tua", bukan berarti saya sudah tidak butuh cara belajar yang sama seperti untuk anak kecil. Saya pun butuh participatory learning, dalam artian dimulai dengan praktik sederhana di bawah bimbingan orang yang ahli dalam suasana santai lagi menyenangkan, seperti NGERUK ini.

Saya jadi menyesal karena melewatkan acara-acara Komunitas 1000 Kebun sebelumnya, yang telah diinformasikan teman saya dengan begitu baik hatinya itu. Mudah-mudahan saya masih punya banyak kesempatan untuk belajar dari mereka, khususnya dalam bentuk praktik seperti ini. Mudah-mudahan dengan begitu kelak saya dapat mengoptimalkan ruang di sekitar rumah saya untuk dijadikan kebun pangan yang berkelanjutan. Aamin ya robbal alamin.




Gambar dan foto dari Anis Wardhani.

Mati Listrik sebagai Titik Balik

$
0
0
Minggu (4 Agustus 2019) terjadi mati listrik sejak sekitar waktu zuhur. Saya kira ini mati listrik biasa, yang akan pulih dalam beberapa jam dan hanya terjadi di daerah sekitar rumah.


Pada awalnya, mati listrik ini terasa menguntungkan. Kalau biasanya sesekali saya mengecek ponsel, sekadar untuk melihat apakah ada pesan yang masuk, dan lalu berakhir dengan menonton satu-dua video Youtube--atau lebih, maka kali itu, karena enggak bisa, mau enggak mau saya melakukan pekerjaan lainnya: menyapu dan mengepel.

Setelah itu, kalau biasanya saya beristirahat dengan menonton barang beberapa video Youtube, karena listrik masih belum mengalir lagi, sehingga wifi juga tidak ada, maka, mau enggak mau, saya melanjutkan dengan aktivitas lain. Saya berjalan-jalan ke luar rumah dan mendapati bahwa Alfamart terdekat pun sampai tutup akibat mati listrik itu.

Setelah kembali ke rumah, lampu masih belum dapat menyala, saya melanjutkan pekerjaan mencuci dan menggunting sampah plastik untuk ecobrick. Yang enggak lama kemudian jadi membosankan sementara langit semakin gelap. Karena enggak menemukan persediaan lilin yang cukup sekiranya mati listrik berlanjut sampai malam, menjelang magrib itu, saya kembali keluar rumah untuk membeli lilin.

Sumber gambar dari artikel "Tak Ada Lilin, Kulit Jeruk Pun Bisa Jadi Penerang".
Di samping itu, saya mempertimbangkan untuk membeli pulsa. Terbiasa mengecek ponsel tiap sebentar dan kini enggak ada akses ke dunia maya menimbulkan kegelisahan tersendiri--mungkin persis seperti orang sakau. Apakah saya telah mengalami ketergantungan pada akses internet? Akses internet enggak memungkinkan apabila enggak ada wifi. Alternatifnya: data seluler. Tapi, untuk mengecek sisa pulsa maupun kuota di ponsel saja tidak bisa. Agaknya jaringan seluler terganggu juga. Saya pun mengurungkan niat untuk membeli pulsa.

Alfamart telah kembali buka dan menyala berkat genset. Saya melaju ke warung di dekatnya, yang telah gelap, namun ramai oleh orang-orang yang membeli lilin. Dalam situasi itu, saya menjadi khawatir bakal enggak kebagian. Saya sampai kesandung dan hampir menjatuhkan barang-barang. Untunglah saya berhasil mendapatkan satu pak lilin seharga sepuluh ribu rupiah.

Situasi mulai terasa menakutkan. Biasanya mati listrik hanya mencakup deretan rumah atau jalan tertentu di sekitar rumah saya. Tapi, kali ini, agaknya menjangkau kawasan yang lebih luas. Bahkan deretan rumah yang biasanya tidak ikut kena mati listrik pun kali ini kena.

Selain itu, tidak ada azan. Zuhur, asar, masuk dengan hening. Kalau tinggal di luar negeri yang bukan negara nonmuslim, situasi ini mungkin biasa. Tapi, tidak di sini. Saya terbiasa mendengar ramai suara azan, berdatangan dari banyak masjid di semua penjuru bila sudah waktunya seakan-akan mengepung dan memaksa saya untuk mengingat Tuhan. Maka, keheningan yang aneh ini entah kenapa justru menimbulkan perasaan tidak nyaman. Baru ketika magrib kembali terdengar suara azan, tapi dari kejauhan alih-alih masjid-masjid di kawasan sekitar rumah saya.

Setelah magrib, ibu saya menyalakan radio bertenaga baterai yang menyiarkan berita: rupanya ada masalah dengan jaringan listrik PLN dan pemadaman ini mencakup kawasan yang sangat luas--seluruh Jawa dan Bali. Ini hampir-hampir suatu ... bencana nasional ...?

Intensitas kengerian meningkat--kalau boleh lebay.

Bukan gelap benar yang saya takutkan, tapi ....

Saya memikirkan aktivitas saya selama ini yang didominasi oleh media elektronik, katakanlah, menulis di laptop dan mempublikasikannya di blog yang untuk mengaksesnya membutuhkan listrik. Kalau mati listrik ini terus berlanjut hingga waktu yang tidak ditentukan, maka segala upaya saya selama ini untuk menghasilkan bacaan--dengan segenap pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan emosi--jadi terasa sia-sia.

Ketika hendak makan malam dan melihat jumlah piring bersih yang tersedia di meja makan tinggal sedikit, saya berpikir, kalau mati listrik ini terus berlanjut hingga waktu yang tidak ditentukan, bagaimana saya akan mencuci piring? Bagaimana saya akan makan kalau enggak ada piring bersih? Sementara untuk bisa mencuci, saya membutuhkan air. Untuk mengalirkan air, saya harus menyalakan pompa, yang menggunakan listrik.

Bukan hanya untuk cuci piring, bagaimana saya akan membersihkan anggota tubuh yang pastinya sewaktu-waktu harus?

Terpikir juga oleh saya betapa banyak orang lainnya yang enggak kalah membutuhkan listrik daripada saya, apalagi sekarang ini banyak layanan yang hanya bisa diakses melalui perangkat elektronik. Katakanlah: Bagaimana memasuki jalan tol tanpa e-toll? Bagaimana menarik uang dari bank ketika jam tutup kalau bukan lewat mesin ATM? Bagaimana berjual beli di online shop kalau ponsel mati dan tidak ada listrik atau powerbank untuk mengisi ulang daya baterainya? Hal-hal seperti itulah.

Maka, bagaimana jika mati listrik ini terjadi untuk seterusnya hingga waktu yang tidak ditentukan? Kekacauan akan terjadi, apalagi di kota padat penduduk seperti Bandung ini. Orang-orang akan berebut demi air, apalagi saat musim tanpa hujan begini. Bisnis-bisnis online yang kini mendominasi akan tutup. Orang-orang akan kehilangan sumber nafkah. Peradaban akan runtuh. Baru terasa pentingnya mempertahankan sumur di rumah, yang untuk mengambil air dari dalamnya tinggal timba tanpa pompa yang menyedot listrik. Baru terasa pentingnya skill menghasilkan api secara manual atau bikin lilin sendiri, apabila kehabisan di warung. Saya jadi teringat sama The Preppers: orang-orang di negara maju yang telah menyiapkan diri untuk skenario semacam ini. Mereka telah berpikir sampai jauh ke depan sekali, sementara, entahlah apakah ada orang-orang Indonesia yang sudah seperti mereka. (Yang mana sebetulnya bukan berarti kita mesti serbameniru negara maju, melainkan tinggal mundur beberapa langkah, kembali pada cara hidup kita dahulu ketika petromaks masih trendi)

Ditambah bencana-bencana yang telah terjadi sebelumnya: gempa di Banten dan sekitarnya yang terasa sampai ke Bandung hingga monyet-monyet yang turun dari Gunung Tangkuban Perahu--kalau mental lemah, bisa-bisa jadi paranoid.

Tapi, saya tidur dengan tenang malam itu tanpa penerangan apa pun sama sekali.

Rasanya hampir seperti dalam cerpen "The Last Night of the World" Ray Bradbury.

Saya terbangun sekitar pukul dua pagi. Lampu telah menyala. Listrik telah mengalir. Enggak lama setelah bangun, saya menyalakan pompa dan mengisikan air dalam ember-ember besar sampai penuh.

Di Kompas pada keesokan harinya itu, berita tentang jaringan listrik yang terganggu ini terpampang besar di halaman depan. Tepatnya, ada beberapa berita yang membicarakan masalah ini dan memvalidasi pikiran-pikiran saya semalam. Tentang kekacauan yang merugikan orang-orang. Tentang betapa bergantungnya kita pada listrik. Tentang betapa kita enggak menangkap esensi lain dari film Sexy Killers, bahwa tambang-tambang batu bara yang telah menzalimi segenap spesies itu terus dibuka demi menyuplai kebutuhan listrik kita. (Eh, yang terakhir ini enggak sih.)

Apakah kita akan belajar dari kejadian ini? Katakanlah, dengan beralih pada membuat karya yang enggak mesti diakses lewat perangkat elektronik atau belajar skill-skill baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa sedemikian bergantung pada listrik. Atau, setelah listrik kembali mengalir dan keadaan pulih seperti sedia kala seolah-olah enggak pernah terjadi apa-apa, terus saja melanjutkan kebiasaan atau porsi ketergantungan kita?

Menghabiskan Siang di Indahnya UI (yang Lagi Relatif Sepi)

$
0
0
Dua hari lalu, pada sekitar jam yang sama dengan sewaktu saya mulai menulis ini, saya bertemu teman yang sudah dua tahun tidak saya temui. Dia menunggu saya di area lobi perpustakaan Universitas Indonesia, tempat meja-meja yang masing-masingnya dilengkapi dua kursi dan di atasnya terdapat rak kecil berisi aneka majalah.

Pertemuan kami bisa dibilang mendadak, baru ditentukan pada hari itu juga. Pagi itu saya diajak ayah saya mengantar adik saya ke kampusnya--UI. Kami berangkat sekitar pukul delapan pagi. Belum jauh dari rumah, ayah saya mengingatkan saya pada teman saya yang mahasiswi UI. Dua tahun lalu, ketika adik saya baru menjadi mahasiswa, saya ikut mengantar juga sekalian bertemu dengan teman saya itu. Saya pun segera menghubungi dia lewat e-mail, karena tidak menyimpan nomornya. Alhamdulillah dia cepat membalas dan memang hari itu dia hendak ke kampusnya, seperti biasa. Kami pun lanjut berhubungan lewat WA.

Saat itu baru memasuki zuhur sekaligus waktu makan siang ketika kami tiba di UI. Saya diturunkan di pinggir jalan menuju perpustakaan, sementara adik saya dan ayah saya lanjut ke Fakultas Teknik. Dua tahun lalu, saya dan teman saya itu juga bertemu di perpustakaan, tapi hanya di pelatarannya dan kami enggak masuk ke bangunan. Kali ini, saya masuk dan terkesima biarpun sudah sedari dua tahun lalu saya tahu bahwa bangunan itu dari luar lebih menyerupai mal dengan kafe-kafe.

Melewati kafe-kafe (atau semacamnya) barulah saya melihat bahwa bangunan ini benar-benar perpustakaan, khususnya dengan ruangan sangat luas berisi banyak barisan komputer yang mengingatkan saya pada ruangan yang sering saya masuki dulu--sewaktu mengerjakan skripsi di perpustakaan pusat UGM. Setelah itu, ada banyak sofa hitam mengitari dinding yang meliuk-liuk--sangat menggoda untuk diduduki ataupun ditiduri.

Saya pun menemukan teman saya. Saya menanyai dia apakah mau makan siang. Dia bilang harus makan siang karena penyakit mag dia sudah kambuh. Ups. Saya enggak tahu apa-apa soal tempat makan di UI, selain kantin asrama yang menyajikan banyak pilihan makanan sekaligus banyak pula kucing buta-kurus-enggak-terawat (tapi itu dua tahun lalu, mudah-mudahan sekarang keadaan kucing-kucing di sana telah baik). Jadi saya bilang pada teman saya itu, "Asal affordable. Maksimal dua puluh ribuan lah." (Walaupun sudah bukan mahasiswa, tapi taraf ekonominya justru lebih rendah daripada mahasiswa pada umumnya :v)

Maka si teman membawa saya ke kantin Fasilkom atau Fakultas Ilmu Komputer. Dia mendekati gerobak yang menyediakan menu sate dan sop. Saya melihat daftar harga dan takjub: delapan tusuk sate ayam (atau bahasa Jepangnya "yakitori with peanut sauce") plus nasi sama dengan sepuluh ribu! Saya mau itu. Kami mengantre di dekat gerobak. Setelah menyerahkan uang, si penjual mengerjakan pesanan. Lalu kita mencari meja sembari membawa makanan pilihan kita.

Gambar dari artikel "Seperti Apa 
Rasanya Menjadi Mahasiswa 
Fasilkom UI?"
Memang ukuran satenya agak lebih kecil daripada yang biasa kami beli di dekat rumah. Tapi, delapan tusuk itu sangat cukup untuk memadamkan lapar. Demikian pula porsi nasinya, yang bisa ditambahi kuah tanpa harus menambah rupiah. Di samping itu, ada bonus berupa semut-semut kecil berkeliaran di tepi piring, yang dapat menjadi sedikit asupan protein(?!?!).

Sementara teman saya mulai makan, saya masih berkeliaran. Saya hendak mencari minuman botol, supaya bisa dibawa ke mana-mana. Tapi rupanya yang menjual minuman botol sedang tidak ada--kulkasnya digembok. Saya mencari sampai ke Yoshinoya. Tapi melihat harga sebotol teh luar biasa mahalnya, saya pun urung. Akhirnya saya pesan segelas es sirup markisa seharga lima ribu.

Setelah makan, kami salat zuhur di masjid. Yang paling saya soroti dari masjid ini adalah toiletnya yang bersih dan dilengkapi dengan sabun batang.

Dari masjid, teman saya mengajak jalan kaki ke hutan. Oh, ini yang saya idam-idamkan sejak pertemuan kami dua tahun lalu!

Kami pun melewati fakultas demi fakultas. Teman saya sempat menunjukkan shelter sepeda dan skuter yang untuk meminjamnya harus mengunduh aplikasi dulu. Ah, merepotkan! Bagaimana kalau kapasitas HP sudah penuh, tidak ada kuota/wifi, atau baterainya lagi sekarat/mati? Lebih praktis kalau tinggal meninggalkan kartu identitas, seperti di UGM--paling enggak seperti itulah pada tahun-tahun terakhir saya di sana, 2012-2013. Betapa irinya melihat para mahasiswa/i mengendarai skuter!

Gambar dari Mapio.
Toh kami terus melangkahkan kaki. Setiba di Fakultas Ilmu Budaya, kami melalui jembatan untuk menyeberang ke Fakultas Teknik. Di bawahnya ada sungai yang cukup lebar. Pemandangannya sangat indah--so Instagramable!

Di Fakultas Teknik, saya menemukan mobil keluarga diparkir. Saya sempat duduk dan menghubungi ayah saya, hingga teman saya mengingatkan bahwa sebenarnya kami sedang dalam perjalanan ke hutan. Oh, iya. Lagi pula ternyata ayah saya dan adik saya tengah berada di asrama dan baru akan kembali ke fakultas pukul setengah empat sore. Saya dan teman saya pun melanjutkan perjalanan.

Sudah lama saya tidak memasuki hutan. Rasanya kangen. Hutan kampus ini agaknya dibiarkan tumbuh alami. Keseluruhan jalan di dalamnya dilapisi oleh serasah cokelat terang--begitu indah, foto-able--apalagi di area yang cukup terbuka. Ada juga serasah berupa daun-daun hitam, terutama di bagian dalam yang dirindangi tajuk, namun tidak semasif yang cokelat terang. Sesekali ditemukan daun yang cukup parah dimakan ulat--sepertinya.

Sangat tidur-siang-able sekali, bukan?
Sampailah kami di suatu area terbuka, hamparan luas rumput yang agak kering. Terdapat huruf-huruf besar bertulisan: UNIVERSITAS INDONESIA. Di hadapannya ada pulau-pulau tanaman hijau yang membentuk logo universitas. Di seberangnya ada danau. Di atasnya ada jalan raya.

Begitu memasuki area ini, seketika saya ingin merebahkan diri--tidur siang. Apalagi hampir tidak ada orang di sekitar. Kalaupun ada, paling-paling tiga orang laki-laki jauh di seberang danau. Saya pun rebah berbantalkan tas di bawah tajuk lebar, sementara teman saya mencari objek bagus untuk dipotret.

Setelah cukup puas merasakan kedamaian di sekitar waktu asar ini, di tengah alam buatan, baru saya menjelajah. Tempat ini, di samping sangat mendukung untuk tidur siang, juga pas untuk bikin video India-indiaan atau sekadar lari-lari diiringi "Edilizia" Rino de Filippi.


Memasuki waktu asar, kami pun angkat kaki, melewati rute yang sama seperti sebelumnya untuk keluar dari hutan.

Gambar dari Deskgram.
Si teman membawa saya ke kantin FIB untuk membeli air minum. Setelah duduk-duduk sembari minum dan mengamat-amati kantin baru yang serupa food court di mal ini, yang mengakibatkan kenaikan harga makanan sebesar 2.000-5.000 rupiah (dengan area makan khusus untuk dosen dan pegawai TU yang menuai protes mahasiswa), kami salat di musala yang ukurannya pas juga kalau dibilang sebagai masjid. Selain itu, di atas area wudu atau cuci tangan disediakan banyak sekali sabun--baik sabun batang maupun sabun cair--seakan-akan satu sabun untuk satu keran. Sudah begitu, ada mesin cucinya pula! Apa boleh mahasiswa menumpang cuci baju di sini? Toiletnya sudah pasti bersih.

Sepanjang perjalanan ini, sesekali kami berpapasan dengan mahasiswa/i yang mengobrol dalam bahasa Korea, juga bule berambut pirang. Enggak heran apabila penampilan salah satu kampus terbaik di Indonesia ini sungguh mentereng: mall-alike, bersih, hijau, tapi masih mengakomodasi mahasiswa missqueen (ingat "yakitori with peanut sauce and rice" seharga ceban plus biaya tinggal di asrama yang sepertinya jauh lebih murah daripada di kos). Semakin menarik ketika teman saya yang mahasiswi sini melengkapinya dengan bumbu berupa isu-isu internal yang berseliweran di balik semua itu ....



Terima kasih kepada Papa yang sudah mengajak.
Terima kasih kepada Adik yang sudah menyetir Bandung-Depok-Bandung.
Terima kasih kepada Teman yang sudah menjadi guide yang baik. (Kunjungi IG dia di @ccpostcard.)
So happy~

Pelajaran Memasak Dahulu, Pesta Daging Kemudian

$
0
0
Pada hari tasyrik pertama, saya menaiki kereta Bandung Raya kelas ekonomi jurusan Cicalengka pukul 7.15 WIB dengan membawa ransel berisikan dua wadah, yang masing-masingnya memuat daging-sapi-mentah serta enam ketupat-agak-kecil siap-santap. Selain itu, saya juga membawa daging-sapi yang sudah diolah dan dikemas dalam bentuk Royco 

Menanggapi momen Idul Adha, hari itu memang ada rencana untuk bikin sate di rumah seorang kawan di Cicalengka. Akan ada seorang kawan lagi yang membawa daging. Karena freezer di rumah saya sendiri penuh oleh daging, maka saya pun hendak menyumbang sedikit.

Kami baru memulai kira-kira pukul sepuluh lewat seperempat pagi-menjelang-siang, setelah membeli nanas (dua puluh ribu tiga ukuran kecil sudah dikupas) di pinggir jalan, bumbu-bumbu (cabai rawit, cabai merah besar, ketumbar bubuk, tomat) dan suatu sayuran (yang saya kira bernama loncang tapi setelah saya googling barusan ternyata bukan!--jadi entah apa namanya tapi pokoknya hijau dan panjang seperti daun bawang tapi mengerucut ke atas dan di ujungnya itu ada semacam bunga yang juga berwarna hijau tapi lebih muda) di pasar, serta Aice rasa coffee crispy dari warga setempat sebab hari mulai panas.

Pertama-tama, daging dibersihkan. Untuk membersihkan daging sampai air bilasannya benar-benar bening sungguh akan membuang-buang air. Mungkin persis seperti membersihkan beras: kalau air bilasannya sampai bening berarti sarinya sudah hilang. Maka daging dibersihkan secukupnya saja, setelah itu dipotong sesuai dengan selera. Karena rencananya mau bikin sate, maka daging dipotong kecil-kecil. Tapi karena saya menyumbang daging dan akibatnya jadi banyak, maka sebagian dipotong dalam ukuran lebih besar untuk dijadikan rendang, dedeng, atau apalah terserah tuan rumah, hehe.

Pada awalnya, saya kebagian tugas menghaluskan bumbu: tujuh siung bawang putih, tujuh siung bawang merah, serta secukupnya ketumbar, lada, dan garam yang semuanya berupa bubuk.

Setelah itu, saya membantu memotong daging. Daging yang bisa dipotong kecil untuk sate, saya potong kecil untuk sate. Daging yang sulit dipotong kecil, saya potong sebisa-bisanya untuk jadi rendang atau semacamnya itu. Biasanya terdapat lapisan putih pada daging yang sulit dipotong--entah apa namanya.

Daging yang telah dipotong kemudian dimarinasi dengan bumbu halus. Jangan ragu-ragu menggunakan kedua belah tangan untuk mengaduk potongan daging dengan bumbu halus, hingga semuanya terbalur secara sempurna. Jangan ragu-ragu juga untuk menambahkan ketumbar, lada, garam, dan semacamnya seolah-olah semakin banyak bumbu akan menjadikan daging semakin bercita rasa--meski memang begitulah nantinya.

Kami juga menambahkan parutan nanas sebagai bumbu. Teman saya bilang: selain untuk mengurangi bau dan menyegarkan, nanas juga dapat melunakkan daging. Anyway, pada tahap ini kami mendapat pelajaran penting bahwa cara menghaluskan nanas itu bukan dengan diparut, melainkan diblender atau lebih praktis lagi dilumatkan sekalian di cobek bersama bumbu-bumbu lainnya.

Sembari menunggu bumbu meresap ke daging, teman saya memotong bahan-bahan yang lain (: cabai rawit, cabai merah besar, tomat, dan sepertinya nanas juga, dan mungkin juga perasan jeruk nipis, dan saya sarankan untuk memanfaatkan sisa sayuran-yang-saya-kira-loncang-tapi-ternyata-bukan itu sekalian, dan entah apa lagi) untuk membuat sambal dabu-dabu khas Manado. Untuk menjadikannya sambal, potongan bahan itu dicampur dengan minyak di atas wajan yang dipanaskan (: ditumis). Silakan googling untuk mengetahui resep sambal dabu-dabu yang terstandardisasi.

Tibalah saat menyiapkan sate. Komposisi sate terdiri dari: potongan sayuran-yang-mudah-mudahan-nanti-saya-tahu-namanya, daging, serta nanas. Cara memasukkan bahan-bahan ini ke tusuk kayu rupanya tidak sembarangan.

1. Bagian tengah biasanya lebih cepat matang. Taruhlah daging di tengah sedang sayur dan nanas di bagian ujung.
2. Tusukkan daging secara memanjang agar seluruh permukaannya dapat terkena oleh api.

Poin kedua ini cukup sulit lo.

Sementara saya menyiapkan sate sampai semua tusuk kayu yang bisa-digunakan habis, kedua teman saya menyiapkan alat pembakaran di teras. Rupanya kedua teman saya tidak memiliki alat pembakaran yang proper. (Saya pun tidak.) Saya pikir, supaya praktis, sate dibakar langsung di atas kompor saja. Tapi teman saya bilang rasanya akan berbeda. Kami sudah punya arang. Untuk tempat arang, kotak kaleng persegi panjang bekas kue akan digunakan. Untuk penyangga tempat meletakkan sate, akhirnya tuan rumah mendapat pinjaman dari tetangganya. Untuk menyangga penyangga, digunakan potongan bata (pada dasarnya: ada gunanya juga kita menyimpan berangkal di rumah). Tetangga-tuan-rumah juga berjasa dalam menyalakan arang.

Saya yang pada dasarnya pesimistis sementara hari sudah melewati zuhur dan saya ingin pulang sebelum sore terus berpikiran soal membakar sate langsung di atas kompor saja. Alat pembakaran ini tidak meyakinkan. Dikipasi bagaimanapun, apinya tetap redup dan tidak mau menyebar. Kapan satenya akan matang? Tapi teman-teman saya rupanya adalah orang-orang yang positif dan tidak cepat menyerah. Mereka terus mengipas, sampai ada ide untuk mengolah sisa daging-untuk-sate jadi tumis. Sementara teman yang paling andal dalam urusan memasak ke dapur untuk mewujudkan ide tersebut, teman yang satu lagi terus mengipas sedangkan saya mengatur letak sate pada penyangga sambil sesekali mengoleskan ramuan mentega campur kecap pada permukaan daging dengan sendok.


Tampaknya saya harus belajar untuk bersikap gigih seperti teman-teman saya. Berangsur-angsur, api dapat membesar dan menyebar. Satu demi satu sate yang dikira-kira telah matang (bahkan gosong!) dipindahkan ke piring, dan digantikan oleh yang baru. Proses yang tadinya terasa begitu lambat kini menjadi cepat. Malah, tetangga ikut membakar satenya di situ.

Semua sate pun telah dibakar, siap untuk disantap biarpun beberapa sudah saya lahap sedari tadi. Bumbu apa pun yang telah diberikan teman saya tadi telah membuat sate sungguh berasa. Malah, nanas yang sewaktu dicicipi ketika baru dipotong berasa kecut, setelah dibakar justru menjadi sangat manis!

Di dapur, sambal dabu-dabu telah jadi sementara teman saya itu mengaduk-aduk tumis daging berikut sisa potongan nanas dan sayur-ya-ampun-apa-sih-namanya hingga lebih menyerupai semur--yang justru enggak kalah menggairahkan. Dia bilang terlalu banyak menambahkan kecap. Tapi toh kelihatannya tetap enak.


Untuk minuman, kami menyeduh satu kantung teh hijau yang diimpor dari Jepang dan setengah potong buah lemon besar. Pahit amis asam, tinggal ditambah gula akan semakin ramai rasanya.

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba. Karena sudah mencicipi sate, saya langsung menuangkan semur daging dan sambal dabu-dabu di atas potongan ketupat lantas melahapnya. Saya sampai lupa mengambil kerupuk karena begini saja sudah nikmat: didominasi manis, yang justru saya suka!

Anak Muda Kehilangan Musik di Hatinya

$
0
0
Jumlah anak muda yang bunuh diri di negara Barat meningkat tiap tahun. Sejauh ini belum ditemukan terapi yang jitu untuk mencegah mereka mengakhiri riwayatnya sendiri.

ORANG yang murung lazim dikiaskan sebagai orang yang kehilangan musik di hatinya. Tapi, sampai berkesudahan dengan bunuh diri rupanya merupakan kejadian lumrah di Barat.

Rivan yang dari Indonesia itu (lihat Berdebam! Rivan Hilang) hanya sekadar menambah jumlah model anak muda yang tertumbuk pikiran ini. Di Negeri Belanda, tiap tahun sekitar 6.800 pelajar berusia 14-21 tahun berusaha bunuh diri. Yang berusia 5-15 tahun ada sekitar 100 orang. Ini diungkapkan oleh Nyonya C. W. M. Kienhorst dari Universitas Utrecht dalam disertasinya, "Tingkah Laku Bunuh Diri pada Orang Muda, Penelitian mengenai Besar dan Tanda-tandanya".

Kemakmuran materi rupanya bukan jaminan hidup menjadi nyaman. Tiga tahun silam, Masyarakat Eropa mengeluarkan angka statistik bunuh diri, bersamaan dengan korban yang tewas di jalan raya. Dari tiap 100 ribu penduduk, di Yunani 4 orang bunuh diri, Spanyol 6, Irlandia 7, Italia dan Inggris masing-masing 8, Portugal 9, Belanda 10, Jerman 18, Luksemburg 20, Perancis 22, dan Denmark 32 orang.

Di Negeri Belanda, dewasa ini, ada organisasi dalam skala nasional untuk mencegah usaha bunuh diri. Tugasnya adalah memberi penyuluhan di kalangan pelajar mengenai cara mengatasi stres, depresi, dan tingkah laku yang menjurus ke arah usaha bunuh diri.

Empat tahun berselang, Prof. Dr. R. Diekstra, dari Universitas Leiden, Belanda, diberi tugas oleh WHO (badan kesehatan dunia) meneliti kasus ini di 62 negara. Ternyata, di 42 negara, bunuh diri cenderung meningkat sampai 400%. Di negara sisanya, menurun 90%.

Di Denmark dan Jepang, misalnya, satu dari tiga pria berusia 25-34 tahun bunuh diri. Sedangkan wanitanya, satu dari empat. Yang terbesar adalah di Eropa Tengah dan Barat Laut, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, sementara di Amerika Latin menurun.Yang tertinggi adalah di Hungaria dan Jerman, yakni rata-rata dua nyawa terbang sia-sia tiap jam. Diekstra meramalkan, dalam tahun-tahun mendatang lonjakan bunuh diri akan mencapai 25-30% jika tidak ada langkah penanggulangan.

Di Negeri Belanda, tiap tahun 1.700 orang mati karena bunuh diri. Jumlah itu jauh di atas angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Padahal, mereka yang bergelimpangan di jalan raya sering melampaui jumlah yang tewas di medan perang. Ironis, memang. "Ketika 300 mati karena AIDS, 10.000 orang mati karena bunuh diri. Untuk mencegah AIDS, disediakan dana, tapi tidak untuk mencegah bunuh diri," gerutu A. Kerkhof, teman Diekstra.

Khusus untuk Eropa, penelitian dilakukan di 16 negara. Di Belanda sendiri, 20 tahun silam, menurut undang-undang hukum pidana, bunuh diri dianggap sebagai tindakan kriminal. Kini malah sudah ditabukan. Namun, jumlah yang "berani mati tapi takut hidup" itu toh tetap melonjak.

Caranya pun beragam: menggantung diri, menikam diri, menenggelamkan diri (14%), minum obat dalam dosis tinggi (13%), menabrak kereta api (13%), ataupun meloncat dari gedung jangkung atau flat. Menurut biro pusat statistik Belanda, tahun 1975 terdapat 1.343 korban bunuh diri. Lima tahun kemudian 1.557, dan tahun 1988 menjadi 1.671. Enam dari 10 korban pernah berusaha ke arah itu, dan 8 dari 10 pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa.

Penelitian yang dilakukan di Universitas Utrecht terhadap 2.918 pemuda dan orang tua, pada kelompok usia15-27 tahun, hasilnya: 11,3% ingin menyudahi hidup, 14% merasa tidak bahagia, 14% mengaku dilanda stres, dan 7% depresi. Pengidap serenceng suntuk itu itu lagi-lagi mayoritas pria.

Dari situ terungkap, gelap matanya anak muda lantaran merasa kurang mendapat tempat di masyarakat. Mereka kurang kepercayaan dalam hidupnya, tak puas dengan gaji, status, dan pemilikan. Tiga puluh persen responden muda ini tak punya gambaran pikiran toleransi. Dalam oleng itu, mereka yang agresif dapat melakukan etanasi, aborsi, dan pilihan bentuk kumpul kebo.

Sejauh ini, alasan mencabut nyawa sendiri ini tetap remang. Tapi Diekstra mencoba menyimpulkan dalam tujuh faktor, antara lain makin membengkaknya tunakarya, banyaknya wanita bekerja di luar rumah, menurunnya jumlah anak berusia di bawah 15 tahun, makin besarnya perceraian, makin meningkatnya pecandu alkohol, dan kiat merosotnya anggota gereja.

Namun, Albert Mulder, peneliti dari universitas yang sama, meragukan Diekstra. "Kita tidak bisa mengatakan orang bunuh diri karena kehilangan pekerjaan, patah cinta, kecanduan obat atau alkohol. Tiap kejadian mempunyai latar belakang khas," katanya. Bagi kebanyakan orang Belanda, topik ini agak tabu untuk diperbincangkan.

Jawaban yang samar juga ditunjukkan Erik Jan de Wilde, 28 tahun, dalam disertasinya di Universitas Utrecht, beberapa waktu lalu. "Usaha bunuh diri lahir dari keputusasaan, kesedihan yang dalam, kesulitan, dan perasaan sengsara. Mereka merasa sendirian dalam menghadapi suatu persoalan, dan memutuskan mati," katanya. Ini tidak seromantis cerita film atawa novel.

Ia membandingkan 43 anak muda yang berusaha bunuh diri dengan 66 anak muda yang depresif dan 43 anak muda normal, berusia 14 sampai 21 tahun. Mereka yang tergolong normal menilai tindakan kawan sebayanya yang bunuh diri itu "tidaklah dibuat-buat". Ada semacam penilaian positif pada tindakan teman yang bunuh diri: dicap berani. Tema itu sering disajikan dalam film atau novel yang mereka anggap romantis.

Menurut De Wilde, hampir tak kentara beda mereka yang ingin bunuh diri dengan yang depresif. "Kedua kelompok ini kurang mempunyai harga diri dan terlalu besar kecurigaannya kepada orang lain," ujarnya. Tapi tidak berarti anak muda yang depresif akan berusaha bunuh diri.

Sementara itu, Prof. Dr. Theo Compernolle dari Vrij Universiteit di Amsterdam telah mengembangkan terapi preventif pada semangat bunuh diri. Menurut dia, ada dua jenis depresi, yaitu reaksi terhadap faktor lingkungan serta kesalahan biologis yang mengakibatkan orang dilanda depresi secara teratur dua kali setahun. Dari kedua model depresi ini, lahir depresi bipolar, suatu pergantian depresi akut dan periode kegembiraan beroleh sinar matahari. Compernolle lalu mengembangkan terapi cahaya untuk membabat depresi pasiennya.

Untuk membuktikan seseorang bunuh diri akibat depresi, dapat diikuti kajian Anat Biegon dan kawan-kawannya di Institut Weizmann di Israel dan Universitas New York. Mereka menemukan protein tertentu di dam otak korban. Protein itu dikenal sebagai reseptor opioid alias candu, yang mungkin dapat menjelaskan hubungannya dengan biokimiawi depresi.

Temuan ini disajikan dalam pertemuan tahunan ke-20 Masyarakat Ilmuwan Saraf di St. Louis, Missouri, AS, pada tahun 1991. Mereka meneliti bagian tipis otak dari 14 korban bunuh diri, dan membandingkannya dengan 14 otak korban yang meninggal karena penyebab serupa, seperti trauma dan asfiksiasi, tapi tidak bunuh diri.

Pada otak mereka yang bunuh diri, ditemukan reseptor opioid dua sampai sembilan kali lebih besar. Pada awalnya, ini menimbulkan tanda tanya sebab reseptor jenis itu biasanya menghasilkan lawan depresi, yaitu rasa senang berlebihan dan hilangnya rasa sakit. Biegon menduga, tanpa candu alamiah yang disebut endorphins, seseorang bisa menjadi sangat sensitif pada rasa sakit dan berubah menjadi depresi.

Belum diketahui apa manfaat menyigi otak si mati tadi. Cuma satu hal boleh dicatat: pria memilih cara mati yang lebih kasar, misalnya dengan menabrak kereta api, sementara wanita cukup halus, yakni dengan menelan pil. Tapi di Swedia, misalnya, sejak tahun 80-an berkembang pula semacam emansipasi: kaum wanita pun menggunakan cara serupa.

Boleh jadi mereka sudah membaca buku Final Exit karangan Derek Humphrey dari Amerika Serikat, yang terbit tahun 1991 dan mendapat sambutan oke punya di AS. Penganjur death with dignity atawa mati secara bergengsi itu, dalam bukunya, merinci petunjuk untuk melakukan bunuh diri, berikut alat yang bisa mempermudah orang menghabisi riwayatnya sendiri.



Berdebam! Rivan Hilang!

RIVAN Agustansyah Soulisa, mahasiswa administrasi perusahaan bidang teknik di Hogeschool Eindhoven. Ia akan menyandang gelar insinyur Juni ini. Lahir 31 Agustus 1969, Rivan datang di Belanda tahun 1988 bersama tujuh orang lagi, melalui Overseas Training Office Bappenas. Rivan diterima di Technische Universiteit Eindhoven.

"Dia setia kawan. Bakat musik dan bahasanya juga bagus. Perfeksionis dan idealis. Pikirannya jauh, saya tak bisa mengikutinya," cerita Rudy Hidayat, yang datang setahun setelah Rivan.

"Selesai ujian, obrolan bukan bisa atau tidak, tapi apakah nilai kami 10 atau 9,5," cerita Rudy kepada Asbari N. Krisna dari TEMPO. Cuma satu Rivan mengulang tujuh kali, yaitu mata kuliah model bouw--penerapan berbagai mata kuliah dalam satu model. Ia putus asa. Tanpa memberi tahu sekolahnya maupun pihak Bappenas, ia pindah ke Hogeschool, jurusan serupa.

Tahun lalu mereka mudik. Rivan ke kampungnya di Ambon, Rudy ke Ujungpandang. Balik ke Belanda, Rivan ngebut belajar. Ia mau cepat pulang. Suatu kali Rivan menggugat kematian sahabatnya, Rafael--meraih insinyur lalu meninggal akibat kanker. "Punya ijazah, besok lalu mati, apa artinya?" tanya Rivan.

Untuk skripsi, mahasiswa harus mencari sendiri perusahaan tempat menyelesaikan tugas akhir. Rivan memperolehnya. Tapi pembimbingnya menolak proposalnya karena dinilai gampang. Setelah mencarinya lagi, didapatkanlah Gas Unie, Eindhoven. Ia diminta membuatkan sistem pengendalian biaya.

Awalnya mulus. Tapi ketika tak boleh mewawancarai karyawan, Rivan stres. Juga ketika materinya ditolak. Kepada Rudy, akhir Mei lampau, ia mengeluh sering pusing. Bimbang. Terus atau tidak? "Kalau berhenti, mau ke mana?" tanya Rudy. "Saya ingin hidup baru, ingin dilahirkan kembali," jawabnya. Sehabis mandi, Rivan memetik gitar. "Jangan kaget kalau tiba-tiba saya hilang," katanya.

Hampir seminggu kehilangan Rivan, Rudy baru mendapat kabar Sabtu 5 Juni 1993 dari seorang kawan Belanda. Ia nonton TV yang menayangkan korban kecelakaan kereta api. Itu Rivan. Menurut masinis kereta Schiphol-Amsterdam itu, kejadiannya menjelang fajar, 1 Juni silam. "Orang itu berdiri. Di kepalanya ada headphone. Kereta melaju, eh, dia meloncat ke tengah. Berdebam!" tuturnya kepada polisi. EZ



Sumber: Tempo, 26 Juni 1993




Horor Psikologis yang Mudah-mudahan Enggak Bikin Makin Takut Kawin

$
0
0
Setelah berbulan-bulan, teman saya kembali mengajak saya menonton bioskop: Ready or Not. Saya mengiyakan saja, yang penting menyambung silaturahmi yang sudah lama tertunda. Setelah itu, barulah saya googling tentang film tersebut. Ini Youtuber andalan saya dalam mencari bocoran tentang film terkini. (Soalnya dia kadang-kadang memberikan full spoiler sih, yang cukup bikin saya merasa enggak perlu menonton langsung, haha.)


Saya terkejut karena Ready or Not ternyata film "SADIS". Tidak puas, saya mencari informasi tentang film ini di Wikipedia--yang dengan baiknya membeberkan alur cerita secara lengkap tanpa aba-aba spoiler alert. (Saya bukan orang yang peduli spoiler, lagian.)

Berikut paragraf terakhir dari uraian plot di Wikipedia (SPOILER ALERT!!!).
While the house burns down, Grace briefly sees the spirit of Mr. Le Bail sitting in a chair, who appears to approve of her survival. As morning breaks, Grace sits on the estate's steps while it burns behind her and smokes a cigarette as first responders arrive. When one of the responders asks what happened, Grace replies "In-laws."
Belum menonton film ini saja, seketika saya sudah dapat menyimpulkan: "Pernikahan itu berdarah-darah, and that can be literal, enggak mesti kayak di film ini sih, tapi 'berhubungan' untuk pertama kali dan melahirkan anak itu kan sepertinya bakal mengeluarkan darah. Belum lagi darah yang mengucur dari luka batin akibat berkonflik dengan keluarga mertua. Hm, apakah film ini dibuat supaya saya orang pada makin takut kawin?" (Lantas saya teringat pada obrolan dengan teman saya yang lain berbulan-bulan. Dia sudah beberapa tahun menikah dan punya dua anak. Dia bilang, menikah mah siap enggak siap, seolah-olah ready or not, kalau sudah jodohnya, ya, mesti dijalani.)

Yang berdarah-darah sama sekali bukan kesukaan saya yang berjiwa halus ini (eh?).

Tapi ini mungkin bisa jadi suatu pengalaman baru yang seru.

Mendekati hari pertemuan, muncul alternatif: Gundala. Walaupun sebetulnya saya sama-sama tidak begitu berminat, tapi ekspektasi saya film satu ini enggak bakal sesadis yang sebelumnya. 

Tapi, anyway, teman saya lebih condong pada Ready or Not.

Ya sudah.

Ketika Grace bercermin dengan rok pengantin yang sudah dirobek, sepatu kets
bulukan, sambil menyandang peluru dan pistol laras panjang, dia sendiri terkesima
 dan saya pun ikut-ikutan. Gambar dari IMDb.
Maka, Selasa kemarin, dalam perjalanan menuju Trans Studio Mall, saya masih terus menyugesti diri bahwa saya akan siap menghadapi adegan sesadis apa pun.

Tiket seharga Rp 35.000 pun dibeli. Sembari menunggu pemutaran pada pukul 13.00 WIB, kami makan dan salat dulu, lalu menunggu di sofa tepat di seberang pintu Studio 3.

Pintu Studio 3 dibuka. Tiket disobek. Kami duduk di bangku B, saya nomor 8, teman saya nomor 9. Iklan demi iklan ditayangkan, sebagian merupakan trailer film. Saya takjub betapa di bioskop pemandangan yang sangat vulgar boleh dipertontonkan di muka umum--yang enggak bakal terjadi di televisi dengan KPI (padahal saya sendiri sangat jarang menonton televisi, so TH).

Film pun dimulai, dibuka dengan menit-menit menuju acara "ijab kabul" antara si tokoh utama dan kekasihnya. Karena sudah membaca full spoiler di Wikipedia, saya tahu yang bakal terjadi selanjutnya--sepanjang sisa film itu. Belum apa-apa, saya sudah merasa ngilu dan menyesal telah mengiyakan ajakan menonton film ini. Kenapa tadi enggak maksa nonton Gundala ajaaa ....

Mendengar saya mengeluhkan soal hawa bioskop yang dingin, teman saya yang pemotor dengan baiknya meminjamkan jaketnya kepada saya, yang lalu saya sampirkan di bagian depan tubuh. Jaket ini, di samping menahan dingin, rupanya berguna juga sebagai tabir ketika saya mengantisipasi akan terjadinya adegan "seram". Berkali-kali saya mengangkat jaket menutupi wajah. Malah kadang saya menutup kedua telinga juga. Mulut juga mesti dibungkam supaya saya enggak kelepasan teriak di tempat umum begini. Jadi enggak pasti mana yang mesti ditutup, saya berasa three wise monkeys.


Film ini benar-benar memerlukan kebijakan pemirsa!!!

Teman saya, yang otomatis memerhatikan pergerakan saya, mengingatkan bahwa ini bukan film horor. Tapi toh menurut saya horor itu enggak mesti melibatkan manusia. Adakalanya manusia bisa lebih menyeramkan daripada hantu. Paling enggak, manusia kelihatan, hantu enggak. Yang kelihatan dan kerap mengganggu lebih menyeramkan daripada yang enggak kelihatan dan enggak pernah mengganggu. (Ya, iyalah.)

Anyway, mau enggak mau, saya enggak bisa terus-terusan menutup mata, telinga, dan mulut, sebab tangan saya cuma satu pasang alih-alih tiga. Lagian, saya sudah bayar Rp 35.000! Masak sepanjang film cuma meringkuk sambil memejamkan mata, menutup kedua telinga, dan mengatupkan mulut erat-erat?! Ready or not, kalau enggak mau rugi, film ini mesti di"nikmat"i.

Berangsur-angsur, saya pun menegarkan diri dan menghadapi "kenyataan" (WTF!), sebagaimana halnya si tokoh utama.

Beneran. Memang saya bukan pemerhati film, jadi kesan saya ini mungkin bisa diperdebatkan: akting pemainnya keren banget, terutama si tokoh utama.

Ketika mengetahui bahwa dirinya hendak dijadikan tumbal keluarga Le Domas, terlihat jelas ekspresi takut, syok, dan semacam itu pada wajahnya. Maksudnya, itu ekspresi yang sangat-sangat wajar, manusiawi. Dia enggak serta-merta jadi sosok wanita tangguh yang sanggup mengatasi "tantangan" itu dengan muka baja. Kerap kali dia menampakkan frustrasi, memaki dan berteriak sekencang-kencangnya. Adakalanya dia menyugesti diri bahwa dirinya akan baik-baik saja. Seandainya saya ada di posisi dia (AMIT-AMIT NAUDZUBILLAH MIN DZALIK!), agaknya begitu juga ekspresi yang saya keluarkan. Saking "masuk"nya, ketika dia ngos-ngosan, saya ikut-ikutan.

Malah kewajaran ekspresi ini sebetulnya sudah dimunculkan sejak awal sekali, ketika Grace merokok untuk mengatasi kegugupannya sebelum "ijab kabul". Dia tahu keluarga calon suaminya menyebalkan, tapi motivasinya untuk menikah dan punya "keluarga" kuat sekali. (Dia dibesarkan oleh keluarga asuh.) Tanpa harus berada dalam konteks film ini pun, kita pada umumnya mafhum bahwa pernikahan otomatis menyertakan konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan dengan keluarga pasangan (: mertua, ipar) sehingga harus siap mental soal itu juga.

Saya juga mencoba memahami kegalauan atau konflik batin yang mestilah dirasakan oleh si suami--Alex. Dia tahu bahwa keluarganya punya tradisi kejam, tapi dia enggak bisa menolak motivasi Grace. Bukan hanya itu, lebih daripada cinta, Alex juga punya motivasi untuk "memiliki" Grace. Dia tahu taruhannya, tapi dia enggak mengatakannya secara terus terang, blak-blakan, terperinci, mendetail, gamblang, dan sebagainya, mengenai tradisi keluarganya, kepada Grace. Dia takut, kalau Grace mengetahui semuanya, wanita itu bakal lari dari dia.

Lain dengan kakak Alex, Daniel, yang agaknya benar-benar sudah muak terhadap keluarganya. Dari dialog tersirat bahwa sebelum menikah dengan istrinya, Daniel telah menceritakan semua-muanya secara menjelimet. Namun, Charity tetap mau masuk ke keluarga Daniel, dan bilang, "Kamu tahu latar belakangku." Dari situ kita bisa menduga bahwa istri Daniel ini punya prinsip: "Daripada enggak kaya, mending mati sekalian."

Ketika memulai paragraf di atas, saya jadi menyadari akan pentingnya "motivasi" dalam menggerakkan cerita. Hal ini sebelumnya saya dapatkan dari buku Richard Krevolin, Rahasia Sukses Skenario Film-film Box Office (Penerbit Kaifa, Bandung, cetakan pertama, Oktober 2003), dan masih berusaha saya geluti (: memahami dan menerapkan) ketika mengarang cerita saya sendiri. 

Motivasi terbungkus dalam karakterisasi. Seyogianya tiap tokoh yang berperan--besar atau kecil--punya karakter tersendiri.

Karakter-karakter lainnya memang menarik untuk diperhatikan. Ada Bibi Helene yang pernah mengalami nasib serupa dengan Alex. Ada ayah Alex yang agaknya menyesali nasib yang diturunkan kakek buyutnya. Ada ibu Alex yang sebenarnya menaruh harapan pada Grace tapi juga sangat mementingkan keutuhan keluarga. Ada Emilie--adik Daniel dan Alex--yang pencandu narkoba dan bersama suaminya, Fitch Bradley, agaknya tipe pasangan yang happy-go-lucky. Ada Stevens, pembantu yang setia dan penggemar musik klasik. Ada Georgie, anak Emilie dan Fitch, yang tampaknya mewarisi "kesadisan" keluarga. Ada para pelayan perempuan yang ketiganya mati sebagai korban "kecelakaan" atau kebodohan majikan, dengan suara sekarat yang mengganggu (dan kita jadi mempertanyakan apa motivasi mereka bekerja untuk keluarga semacam ini?).

Anyway, enggak semua tokoh perlu diberi porsi perkembangan karakter--cukup tokoh-tokoh tertentu yang berperan besar saja.

Perkembangan karakter merupakan daya tarik lainnya dari cerita yang bagus, paling tidak menurut saya. Ini membuat saya sebagai pemirsa merasa dilibatkan, atau diberi kesempatan untuk menggunakan "daya baca" saya--bahkan boleh jadi saya pun turut berkembang bersama karakter. Sebagaimana yang telah saya ungkapkan sebelumnya, Grace yang awalnya ketakutan berangsur-angsur dapat menghadapi situasi dan melawan balik (bisa jadi itu akibat insting survival). Saya pun yang awalnya sedikit-sedikit menutupi muka atau telinga lama-kelamaan dapat duduk tegak dan menghadapi apa pun yang akan disuguhkan layar (bisa jadi itu akibat insting "enggak mau rugi sudah telanjur bayar"). Sedikit demi sedikit sifat tokoh-tokoh lainnya pun terbuka. Daniel, sebagai kakak ipar yang awalnya tidak simpatik, kemudian malah menjadi penyelamat. Adapun, Alex, yang awalnya hendak menyelamatkan Grace, kemudian malah mau membunuhnya.

Bagaimanapun juga, pada akhirnya, mempertahankan keluarga adalah yang terpenting. Keluarga Le Domas seperti Keluarga Cemara versi gelap. Harta yang paling berharga adalah keluarga, indeed, apalagi kalau keluarganya bergelimang harta.

Meet The Le Domases. Gambar dari Variety.
Selain unsur-unsur instrinsik, dari film ini juga kita dapat mengambil pesan moral yang jelas: kekayaan memakan tumbal. Perwujudannya enggak mesti frontal dan bercipratan darah sebagaimana dalam film ini, dan contohnya mungkin bisa kita temukan dari daerah yang dekat-dekat. Kalau suka yang animistik, sebut saja tradisi pesugihan. (Seandainya film ini dibuat versi lokalnya, mungkin akan berjudul Pengantin Tumbal.) Kalau suka yang rasional, yah, sebut saja film Sexy Killers: pengusaha tambang batu bara dan konsumennya memperkaya diri dengan membuat kolam-kolam bekas tambang yang kemudian memakan banyak korban anak-anak.

Film ini juga menguatkan pesan bahwa sebelum menikah kita memang harus meninjau calon pasangan hidup dari bebet, bibit, dan bobot. Kalau dia kaya, mesti kita telisik sumber kekayaannya sampai ke sejarah keluarganya: jangan-jangan ada bantuan setan. Hiii!

Pada akhirnya, saya enggak jadi menyesal karena telah mengurung diri dalam ruangan gelap besar bersama sekian orang asing (--enggak banyak, tapi enggak begitu sedikit juga--) menonton film mengerikan ini. Ternyata ada banyak hal yang bisa saya dapatkan.

Memang ada beberapa adegan dan dialog saya lewatkan ketika saya sibuk menutup muka atau telinga, tapi saya merasa tetap mendapatkan kepuasan, keseruan, dan sensasi maksimal dari suatu pengalaman bioskop, yang agaknya baru saya peroleh lagi sejak Mad Max: Fury Road (2015) dan Jelangkung (2001). (Maklum, jarang ke bioskop.) Kedua lengan saya sampai pegal dan sesekali saya perlu mengembuskan napas keras-keras. Beberapa comic relief yang diselipkan rupanya enggak cukup mengena bagi saya, mungkin karena saya telanjur didominasi oleh pikiran bahwa film ini full "horor". Anyway, berkeliling-keliling Transmart di lantai bawah dan meludeskan sebagian besar jatah bulanan dalam sekejap efektif menepis suasana itu. (Hm, jadi itu sebabnya lokasi bioskop biasanya menyatu dengan pusat perbelanjaan ...???)

Bandung Readers Festival 2019 Hari Terakhir

$
0
0
Sepertinya baru tahun ini ada Bandung Readers Festival. Ini macam yang di Ubud dan Makassar itu kali, ya, cuma minus Writers. Acara ini diadakan pada 3-8 September 2019 di berbagai tempat; dua hari terakhir di Museum Gedung Sate--sebelah luar--dari pukul 9 pagi sampai sore atau malam.

Dari lima hari itu, saya datang cuma pada hari terakhir, yaitu Minggu, tentu saja karena ada barengannya. Kami duduk di dua talk show.

Talk show pertama diadakan pukul 9 pagi (tapi ngaret). Judulnya "Relasi Penerbit, Pembaca, dan Platform Digital", dengan moderator Rio Tuasikal dan narasumber: Aulia Halimatussadiah, Sari Meutia, dan Abduraafi Andrian.

Talk show kedua diadakan pukul 13 siang (kali ini kami yang telat datang). Judulnya "Kesetaraan dan Keragaman dalam Sastra Indonesia: Pengalaman Pembaca", dengan moderator Rena Asyari dan narasumber: Lily Yulianti Farid, Mona Sylviana, dan Aquarini Priyatna.

Di sela kedua acara itu terdapat "Taaruf Buku: Novel Fantasi dan Sci-Fi" dengan moderator Jisu. (Tapi yang satu ini kami tidak ikut.)

Demikianlah yang tertera di jadwal.

"Relasi Penerbit, Pembaca, dan Platform Digital"

Masing-masing narasumber mewakili penerbit mayor Mizan (Sari Meutia), platform digital Storial (Aulia Halimatussadiah), dan komunitas pembaca cerita fantasi di Wattpad (Abduraafi Andrian). Saya bisa relate dengan beberapa fenomena yang dikemukakan, di antaranya yang menyangkut platform digital serta pembajakan e-book.

Belakangan ini memang saya lagi mencoba-coba platform-platform digital itu, terutama Storial. Saya mengalami beberapa masalah yang adakalanya menghangatkan obrolan dengan beberapa teman curhat. Ketika sesi tanya jawab, sebetulnya saya gatal untuk melontarkan langsung curahan hati ini (eaaa) kepada yang empunya Storial. Tapi, mendengar bahwa mbaknya sesungguhnya punya visi "empowering", dan kenyataan bahwa Storial sendiri baru ada pada 2016 (: usianya masih balita), saya jadi maklum bahwa sepertinya masih terlalu dini untuk mengemukakan persoalan yang menggelisahkan saya ini.

Soal pembajakan e-book, saya skeptis. Sudah rahasia umum bahwa kebanyakan dari kita merupakan penikmat barang bajakan. Adakalanya, kita harus mengeluarkan uang untuk memperoleh barang bajakan. Tapi, sering kali, barang bajakan bisa diperoleh secara cuma-cuma. Nah, kalau untuk mengeluarkan uang, memang sebaiknya kita pikir-pikir dahulu. Tapi, kalau gratisan, kenapa tidak? Pola pikir mumpung gratis ini yang sulit diubah.

"Kesetaraan dan Keragaman dalam Sastra Indonesia: Pengalaman Pembaca"

Ketika kami memasuki acara ini, Bu Lily sudah angkat suara, dilanjutkan oleh Bu Aquarini, lalu sesi tanya jawab. Sayang sekali kami melewatkan Bu Mona. Peserta dalam talk show kali ini tampak lebih padat daripada yang sebelumnya.

Bu Lily membahas tentang karya-karya sastra perempuan yang mengangkat keragaman (: kearifan lokal, sejarah, begitulah). Adapun Bu Aquarini tentang berbicara tentang definisi sastra Indonesia, waktu luang atau privilese membaca, sampai pertentangan-pertentangan dalam kehidupan berliterasi (membaca vs menonton Youtube, membaca untuk menikmati vs membaca untuk mengkritisi, karya serius vs karya populer, dan sebagainya)--isu-isu yang relatable sebab sangat keseharian.

Talk show kali ini ditutup dengan testimoni dari salah seorang peserta, yang rupanya ibu guru dari Kabupaten Bandung Barat. Beliau mengatakan bahwa pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah berinisiatif untuk memberikan penghargaan bagi murid yang dapat membaca tiga buku fiksi dalam sebulan selama tujuh bulan.

...

Saya memperoleh informasi tentang acara ini dari kiriman teman di WA, berupa pesan undangan yang diteruskan berikut PDF berisi jadwal. Sayang sekali di PDF tidak disebutkan bahwa untuk mengikuti tiap-tiap acara mesti mendaftar terlebih dahulu karena ada kuota. Memang untuk acara pada hari terakhir itu kami dapat mendaftar di lokasi. Tapi untuk acara yang lain, misalkan acara Jumat dengan pembicara Zen RS, agaknya harus dilakukan di tempat masing-masing jauh-jauh sebelum hari H. Informasi tentang pendaftaran ini ada di Instagram. Agaknya literasi bukan cuma soal baca buku tapi juga melek media sosial paling hype.

Membaca judul-judul acara, saya pikir akan mendapat afirmasi dari isu-isu literasi yang selama ini tebersit di dalam kepala saya. Memang begitu. Hanya saja, acara semacam ini, karena keterbatasan waktu, dan juga faktor kepribadian (: enggak semua peserta bisa spontan mengacungkan tangan dan tanpa segan menyatakan pendapat saat sesi tanya jawab dibuka, biarpun di dalam kepalanya ada banyak tanggapan yang berkeliaran), enggak memungkinkan terjadinya diskusi lepas.

Meskipun festival ini mempertemukan para pelaku membaca dan menulis--yang biasanya merupakan aktivitas soliter--bukan berarti juga mereka seketika menjadi teman dan dapat berbagi--tidak lagi sepi.

Kendati sudah terafirmasi, permasalahan-permasalahan itu tetap bergumul di kepala sendiri. Resolusi tetap harus ditemukan sendiri.

Memang sore itu terlintas beberapa poin di dalam kepala saya:

1) Terus menulis dengan sebaik-baiknya, sebagus-bagusnya, biarpun hanya menurut standar pribadi, itu harus. Kalau tidak begitu, itu berarti melecehkan upaya belajar yang dilakukan selama ini.

2) Kita yang hidup pada masa ini telah begitu dimanjakan dengan tersedianya blog, media sosial, platform digital, dan semacamnya, tempat kita dapat mempublikasikan tulisan kita--bagaimanapun kualitasnya--secara cuma-cuma (: cuma perlu gadget, koneksi internet, waktu luang, dan seterusnya). Bagaimana tulisan kita akan mndapatkan pembacanya, serahkan saja kepada algoritme--atau apa pun itu istilahnya. Tugas kita cukup taruh tulisan itu di tempat yang dapat diakses orang.

3) Terimalah aktivitas literasi sebagai jalan sunyi. Hentikan keluh-kesah kepada orang lain yang padahal juga punya permasalahannya sendiri, dan menjalaninya sendiri (dan itu tidak mesti juga berupa aktivitas literasi, halah, mati pun sendiri, menanggung amal sendiri).

4) Senyampang memiliki privilese itu, saya mesti memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

...

Usai talk show kedua, selepas salat asar di masjid dalam kompleks Gedung Sate, agak jauh di seberangnya, bersama beberapa teman yang datang belakangan kami duduk-duduk di bawah naungan pohon, mendiskusikan berbagai fenomena kekinian, mulai dari film-film terbaru sampai media zadul vs media kekinian. Suasananya sungguh tenang dan adem.

Seorang teman yang baru datang lalu mengajak kami ke acara di samping Gasibu, semacam festival juga, tapi bertemakan kuliner dari produsen keju. Kami pun menyudahi diskusi dan beranjak, keluar dari kompleks Gedung Sate. Keramaian seketika tampak dari seberang jalan.

Area festival itu dibatasi. Orang yang keluar diberi tanda. Suara dari speaker luar biasa menggetarkan dada, memekakkan telinga. Sembari berjalan menuju pintu satunya, dari sebelah luar, kami mengamati betapa padatnya keramaian di balik pagar itu. Sebagian besar dari kami pun undur diri sebab ternyata bukan penggemar keramaian, malah jadi gelisah.

Kedua acara ini sama-sama menghadirkan deretan-deretan tenda. Deretan tenda di dalam sebelah luar Museum Gedung Sate menyajikan buku, sementara di samping Gasibu menyuguhkan makanan. Maklumilah bahwa makanan merupakan kebutuhan primer, sedangkan buku kebutuhan tersier--really, hal ini diamini di talk show kedua: memiliki waktu luang untuk membaca merupakan privilese. Jadi, enggak usah heran kalau dari membandingkan kedua acara ini terlihat seolah-olah orang lebih suka makan daripada baca--biarpun yang terakhir itu perintah pertama dari Tuhan.

...

Terima kasih kepada pihak penyelenggara Bandung Readers Festival. Tidak hanya menghadirkan acara-acara berfaedah secara gratis, mereka juga menyajikan galon-galon untuk isi ulang air minum secara cuma-cuma. 

Mulai Belajar Menggambar dan Mewarnai dengan Buku untuk Anak TK/PAUD--Berapa Pun Usiamu

$
0
0
Semasa kuliah, saya berpikiran untuk meneruskan berlatih menggambar. Bukan berarti sebelumnya saya pernah rutin berlatih menggambar sih. Cuma sewaktu SMP sepertinya saya cukup sering menggambar, sampai berangan-angan muluk jadi mangka yang bekerja di Jepang.

Tapi rupanya saya enggak punya cukup passion dalam kegiatan ini sehingga bisa konsisten mencoba atau mencari sebanyak-banyaknya referensi. Saya menggambar sesekali atau sesukanya saja.

Ketika kuliah timbul pikiran untuk memulai lagi, saya mencari panduan, mulai dari internet (waktu itu Youtube belum sepopuler sekarang) hingga Buku Besar Menggambar terbitan Erlangga, meniru model di majalah, juga membeli buku gambar A3 beserta berbagai alat mewarnai.

Tapi, panduan yang saya peroleh agaknya kurang menarik atau terlalu kompleks. Saya pikir saya bisa mulai menggambar dan mewarnai asal saja. Saya pun mencoba. Karena hasilnya jelek, saya tidak tertarik untuk meneruskan.

Di samping itu, sepertinya saya enggak memiliki tujuan yang cukup kuat untuk menjaga kegiatan itu agar terus berlangsung. Sepertinya tujuan saya menggambar hanya untuk bersenang-senang. Tapi, kita tahu, betapapun banyaknya kesenangan di dunia ini, sesungguhnya semua itu fana. (#apasih)

Baru-baru ini, lama setelah saya bukan lagi mahasiswi, timbul kembali pikiran untuk kembali menggambar--belajar menggambar. Kali ini, saya punya tujuan--please, jangan ketawa: bikin kover buku sendiri. Memang, enggak semuluk jadi mangaka yang bekerja di Jepang. Soalnya, platform kepenulisan digital sekarang ini menuntut penulis untuk sekaligus menjadi desainer grafis.

Maksudnya, kalau kita mau memajang tulisan di platform semacam itu, sebaiknya kita menampilkan kover yang menarik pengunjung untuk mengeklik. Don't judge book by its cover itu bullshit. Beberapa teman telah mengajukan beberapa masukan soal kover. Tapi saya merasa tidak bisa mengandalkan aplikasi ataupun membayar orang untuk itu. Ekspektasi saya membubung: kalau saya mesti merancang kover sendiri, maka kover itu mestilah meaningful--paling enggak, dapat memberikan gambaran mengenai isi cerita, bukan soal estetika semata. Aplikasi paling-paling memberikan gambar yang begitu-begitu saja, sementara saya segan meminta bantuan orang lain agar dapat memenuhi selera saya (rewel sih).

Resolusi: sebaiknya saya belajar mendesain kover sendiri.

Oke, mungkin itu gagasan yang konyol.

Tapi, di samping tujuan praktis sebagaimana di atas, ada motivasi lain, sehubungan dengan cerita yang lagi berkembang di dalam kepala saya, yang sudah saya utarakan di sini. Saya pikir, untuk mendalami seseorang yang suka menggambar, sebaiknya saya juga menggambar, apalagi dulu memang saya pernah suka menggambar. Jadi, ini sekadar melanjutkan hobi yang tersendat-sendat.

Ditambah lagi, waktu saya leluasa. Karena menggambar merupakan kegiatan hidup yang enggak penting amat (paling enggak, bagi saya yang baru memulai dan sama sekali bukan profesional), maka saya menempatkan waktunya di akhir hari--satu jam sebelum tidur.

Jadi, mulai dari mana?

Di Youtube ada banyak video yang menerangkan tentang dasar-dasar menggambar dan mewarnai. Saya bisa memutar satu video sehari, lalu mempraktikkan yang ditunjukkan. Tapi, rekomendasi video di Youtube cenderung random, iya enggak sih?

Sejak kapan beberapa teman telah merekomendasikan aplikasi Ipusnas kepada saya, namun baru belakangan ada sesuatu dari dalam diri saya sendiri (#apasih) yang mendorong saya untuk memanfaatkannya. Iseng saya masukkan kata kunci 'menggambar' di kolom pencarian dan menemukan daftar buku terkait. Memindai judul-judulnya, saya pun mengeklik buku teratas yang kiranya paling mudah untuk dipraktikkan.

Gambar diambil dari sini.
Buku ini ditulis oleh Inda Nashira, diberi ilustrasi oleh Pandu Dharma, dan diterbitkan Penerbit Zikrul Hakim Lini Gurita cetakan 1, Maret 2014. Karena labelnya "Usia 3+ Tahun", bukan "Usia 3-7 Tahun" atau semacam itu, maka enggak apa-apa dong yang 2*sensor* tahun memanfaatkan buku ini juga?

Saya pun mengunduhnya. Setelah melihat-lihat isinya, perkiraan saya tepat. Buku ini menunjukkan langkah yang sesimpel-simpelnya untuk menggambar aneka hewan, dimulai dari bentuk geometris dasar seperti lingkaran, segitiga, atau persegi panjang, kemudian tambahkan garis-garis lainnya hingga dalam beberapa tahap saja sudah menyerupai wujud yang dimaksudkan.

Karena pada awalnya saya belum siap menggunakan pewarna (tadinya saya ingin belajar menggunakan cat air saja), saya pun mengikuti setiap langkah hanya dengan pensil dan notebook (yang belum saya isi lagi sejak SMP) sebagai berikut.




Tidak disangka, saya merasakan nikmat dalam menarik setiap garis. Kalau tanpa panduan, saya mungkin akan cepat menyerah karena hasilnya akan terlalu abstrak. Dengan panduan, walaupun hasilnya enggak mirip amat dengan yang dicontohkan, sedikit kemiripan rupanya cukup untuk menerbitkan kebanggaan tersendiri.

Saya pun mulai memerhatikan tulisan pada "Kata Pengantar" dan "Petunjuk Orang Tua".

Rupanya kegiatan menggambar ini memiliki beberapa manfaat:
  • melatih kelenturan otot jari tangan dan koordinasi motorik halus, serta
  • membantu mengembangkan imajinasi dan otak.
Hei, tapi kan itu untuk anak-anak TK dan PAUD.

Tapi, tapi, tapi, apakah saya sebagai orang "dewasa"yang berusia sekitar tujuh kali lipat dari anak-anak TK dan PAUD tidak boleh terus melatih kelenturan otot jari tangan dan koordinasi motorik halus serta mengembangkan imajinasi dan otak? Apakah saya tidak berhak terus mengembangkan aspek-aspek kemampuan saya?

Apalagi ini didukung oleh Undang-undang, Pasal 31 (sebelum amandemen) Ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Setelah amandemen, kata "pengajaran" diganti dengan "pendidikan", dengan alasan bahwa pengertian yang pertama lebih sempit daripada yang kedua, tapi toh khusus untuk hal ini saya lebih suka kata yang pertama--"pengajaran" menggambar!

Di "Petunjuk Orang Tua", rupanya alat yang disarankan untuk menggambar adalah krayon.

Sebetulnya saya enggak suka krayon, karena rujit. Selain itu, saya enggak begitu terbiasa menggunakannya sehingga sepertinya hasilnya enggak bakal tampak indah. Tapi apa boleh buat. Lagi pula di rumah tersedia banyak krayon bekas yang campur aduk dari berbagai merek: Crayola, Faber Castell, Pentel .... Ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil. Saya memilih krayon yang berukuran kecil saja.

Karena menggambar dengan menggunakan krayon sepertinya memerlukan kertas tebal, maka saya pun menggunakan buku sketsa A5 Kiky isi 50 lembar yang--alhamdulillah--juga sudah tersedia beberapa secara cuma-cuma di rumah. Buku tersebut bekas adik saya sehingga sebagian besar halamannya sudah terisi oleh coretan pensil keababil-ababilan, namun masih terdapat beberapa yang kosong dan layak untuk dimanfaatkan daripada mubazir--iya enggak, iya enggak?

Seperti sebelumnya, saya memulai sesuai dengan urutan halaman, yang dimulai dari ayam jago.

Karena masih enggak yakin dengan krayon, untuk membuat garis luar pada awalnya saya menggunakan spidol hitam untuk papan tulis.

Ternyata kertas buku sketsa enggak cukup tebal karena warna masih bisa tembus ke baliknya.



Ketika menggambar ayam jago ini, saya mendengar penggalan lagu yang berhubungan. Untuk meramaikan pemandangan, saya tuliskan saja liriknya. Walau sedang belajar mengembangkan media yang berbeda (visual), rupanya saya masih belum bisa jauh-jauh dari kata (verbal).


Mendengar penggalan lagu yang berhubungan rupanya terus terjadi sementara saya menggambar binatang yang lain. Terus saya tuliskan liriknya yang saya ingat.



Karena spidol hitam-untuk-papan-tulis yang tersedia di meja saya sudah menipis, maka saya berpikiran untuk menggunakan spidol biasa warna-warni--bekas--yang juga tersedia banyak di rumah.

Maka beginilah pemandangan saya setiap malam belakangan ini. Untuk menghindari kesulitan tidur, sudah lama, setelah magrib, saya hanya menyalakan lampu meja yang remang-remang. Memang akibatnya kadang-kadang tidak begitu mudah membedakan warna--terutama warna-warna gelap atau yang terlalu cerah seperti kuning--juga tidak awas terhadap garis. Tapi keuntungannya: enggak terang amat kalau hasilnya jelek.

Spidol di kanan. Krayon di kiri. Tablet yang memuat buku digital sebagai panduan.
Buku sketsa di tengah-tengah.
Pada awalnya saya sekadar memberikan warna, mau bagaimanapun caranya. Tapi kemudian saya berpikir bahwa jangan-jangan ada petunjuk tentang cara menggunakan krayon yang baik dan benar, alih-alih asal mewarnai. Practice makes perfect, they say. But improper way of practice would lead you nowhere (seperti yang telah terjadi dengan menulis)

Maka saya pun memulai slot yang satu jam dengan menonton satu video Youtube tentang cara menggunakan krayon, atau belakangan sekadar memandangi tangan orang melukis pemandangan dengan oil pastel (yang selama ini saya anggap sama saja dengan krayon). Saya baru mengetahui bahwa ternyata krayon perlu ditekan kuat-kuat, jangan sampai menyisakan yang "putih-putih", dan arah goresan sebaiknya konsisten. Di samping itu, ada trik-trik untuk mencampur warna-warni krayon agar terlihat halus, misalkan dengan menggunakan cotton bud yang telah dibasahi baby oil atau lipatan tisu, juga cara membersihkan hasil dari residu krayon dengan alat tertentu.

Sementara ini, yang saya praktikkan baru menyingkirkan residu dengan tisu dan menekan krayon kuat-kuat ternyata perlu tenaga ekstra!


Soal mewarnai, saya hampir-hampir enggak pernah tertarik untuk membeli buku mewarnai ala-ala mandala yang katanya terapeutik itu. Buat saya, sepertinya buku semacam itu malah bakal berefek sebaliknya: menjengkelkan. Soalnya, saya tahu saya enggak pandai mewarnai. Sebelum ini, bertahun-tahun lalu, ketika orang tua masih berlangganan Pikiran Rakyat yang mengandung Peer Kecil setiap Minggu, saya pernah mencoba mewarnai gambar yang tersedia untuk diwarnai dan dikirimkan ke redaksi (tentu saja saya enggak mengirimkannya, gile lu, Ndro!). Saat itu saya menggunakan pensil warna dan hasilnya sungguh tidak memuaskan, meskipun sampai sekarang masih saya pajang di dinding kamar. Saya enggak suka mewarnai karena bingung memilih/memadumadankan warna. Maka dalam kegiatan ini, saking enggak kreatifnya saya, setiap warna yang saya bubuhkan pada gambar mengikuti saja yang dicontohkan dalam buku.

Di sisi lain, saya suka bahwa saya mesti menggambar dulu untuk bisa mewarnai. Betapapun enggak kreatifnya saya sesudah itu, paling tidak saya masih dapat terlibat dalam suatu "aspek penciptaan". Saya mungkin tidak kreatif dalam memadumadankan warna, tapi sepertinya saya suka dapat menciptakan bentuk--atau malah pada dasarnya adalah konsep, seperti sewaktu saya mengusulkan format buku tahunan untuk kelas saya saat SMA tapi mengenai isinya bagaimana saya serahkan kepada yang lain-lain.

Hence, with this book, drawing and coloring have never been so fun! Namanya pemula yang tidak tahu arah, cara paling aman adalah dengan menirukan saja, tapi buku ini menginstruksikan agar tetap ada kesempatan untuk mencipta sendiri.

Iya, iya, harusnya "cicak".
Omong-omong, saya enggak selalu menemukan lagu pengiring untuk setiap binatang yang saya gambar.



Adakalanya saya berpikir, "Anak TK aja masih bisa lebih bagus daripada ini." Tapi, hei, saya enggak lagi mengikuti lomba menggambar dan mewarnai bareng anak-anak TK. Lagi pula, buku ini menyarankan agar orang tua memberikan pujian pada anak jika dapat menyelesaikan latihannya dengan baik. Dengan baik, kan, bukan dengan bagus. (#ngeles) (Walau entah juga pengertian baik itu yang bagaimana.)

Tapi anak yang satu ini skeptis bila dipuji.

Lagu pengiring yang saya dengar enggak selalu memuat binatang yang bersangkutan dalam lirik. Contohnya untuk beruang. Saya hanya ingat di videoklip The Dears, "22 The Death of All The Romance" sepertinya ada (boneka) beruang. Karena enggak ada lirik yang berhubungan, maka saya cantumkan saja kata atau frasa yang melintas bak meteor.





Lagi-lagi, lagu yang disambung-sambungin aja.


Sampai pada suatu waktu, saya berpikir, daripada mendengarkan musik yang katanya haram (#eh) kenapa enggak mendengarkan kajian saja? Atau apalah, pokoknya yang ada orang bicara memberikan pengetahuan. Sepertinya itu akan menjadikan aktivitas menggambar lebih berfaedah. Maka saya pun menyetel video-video dari channel Kuliah Psikologi. Rupanya ada perbedaan suasana yang signifikan. Terus terang, saya merasa lebih asyik dan imajinasi saya lebih "main" (padahal cuma meniru persis seperti yang ada di buku) saat mendengarkan lagu ketimbang kuliah. Mendengarkan kuliah tidak memunculkan apa-apa di kepala saya yang dapat saya tambahkan di kertas.





Di satu sisi, kegiatan ini mengasyikkan, seperti membiarkan inner child saya keluar dan berekspresi, tanpa khawatir atau takut akan salah atau diejek. Di sisi lain, keasyikan tersebut agaknya ternyata guilty pleasure; di saat orang-orang "dewasa" sebaya saya, pada waktu yang sama, tengah mengganti popok anak bayinya, atau menghitung cash flow usaha daringnya, saya malah melakukan aktivitas yang "tidak produktif" (entahkah secara finansial ataupun seksual, dua hal yang sepertinya, selayaknya, mengisi kehidupan seorang dewasa "normal"). Nah, I am mere a girl inside and girls just wanna have fun!


Tapi, tapi, tapi, seandainya pada usia ini saya sudah punya anak usia TK atau PAUD, tentunya saya tidak akan melakukan aktivitas ini sendirian; tentu mengasyikkan sekaligus edukatif jika kami bisa menggambar sekalian menyanyi bersama-sama (dan kalau ternyata gambar dia lebih bagus saya enggak bakal mengambek sambil menjejak-jejakkan kaki). Maybe I am just nurturing a child that should have been there.






Sayangnya, untuk lagu tentang katak (sebenarnya "kodok) yang muncul di kepala saya, saya tidak bisa menemukannya di Youtube. Kalau enggak salah, lagu itu dinyanyikan seorang penyanyi anak-anak tahun '90-an bernama Sofi (entah benar cara menuliskannya atau enggak).

Katak adalah binatang terakhir dalam buku ini. Di halaman berikutnya ada latihan dengan petunjuk agar memberikan tanda centang pada binatang berkaki dua dan tanda silang pada binatang berkaki empat. 

Jadi, berapa banyakkah binatang yang ada dalam buku ini? Mana yang berkaki dua dan mana yang berkaki empat?

Saya senang bisa mengerjakan semua latihan--kecuali yang terakhir, tentu saja--dalam buku ini. Kalau ada rezeki, sepertinya lebih baik memiliki buku cetaknya daripada meminjam versi digital di aplikasi Ipusnas. Pertimbangan:
  1. Ukuran buku ini sampai 80 MB, jauh lebih besar daripada buku-buku lainnya di Ipusnas. Makan waktu agak lama untuk mengunduh dan membukanya.
  2. Waktu peminjaman terbatas. Setelah tiga hari, buku ini akan menghilang dan perlu diunduh ulang yang butuh kesabaran lagi.
  3. Kalau saya punya anak, sepertinya sebisa mungkin saya ingin menjauhkan dia dari paparan media digital (yang adiktif itu!) pada tahun-tahun awalnya.
Karena untuk kepentingan sendiri, saya cukup puas dengan yang disediakan Ipusnas. Terima kasih Ipusnas. Saya siap memanfaatkanmu untuk seterusnya, hihihi. Untuk sementara, dalam belajar menggambar dan mewarnai dengan memanfaatkan sarana ini, sepertinya saya akan meminjam buku-buku yang simpel semacam ini dulu (: untuk anak TK dan PAUD) baru beranjak ke buku-buku yang mulai kompleks.

Matinya Seekor Anak Kucing (3)

$
0
0
Lagi?

Tentu saja saya berharap enggak akan ada lagi.

Tapi, begitulah yang terjadi.

Jadi, ada seekor kucing. Warnanya putih dengan corak hitam. Ukurannya agak besar; kalau dalam tahap perkembangan manusia mungkin dia kucing ABG. Tidak ada fitur yang menarik, sehingga kemungkinan dia kucing kampung biasa.

Kucing ini muncul begitu saja. Kalau menurut ibu saya, sempat ada satu kucing lagi yang serupa dia tapi lalu menghilang sehingga tinggal dia saja. Kami mengira mereka (atau dia) milik tetangga, tapi suka menongkrong di halaman kami dan lama-lama jadi hampir menetap bahkan hingga masuk ke rumah.

Dia jinak, seperti berharap dianggap sebagai piaraan. Tapi kami sudah punya 2-3 kucing lain yang "wajib" diberi makan, sehingga kami anggap dia sebagai kucing liar (atau milik tetangga?) lainnya yang menumpang makan di garasi kami.

Hingga suatu hari dia tampak lesu, enggak bernafsu makan. Dia mungkin sakit. Tapi kami biarkan saja. Kami anggap dia akan sembuh sendiri, seperti yang pernah terjadi pada kucing-kucing lain.

Kami biarkan dia hingga berhari-hari. Ibu saya berkali-kali memberi dia makan dengan daging ikan, tapi enggak diambil. Saya juga pernah memberi dia segumpal Whiskas basah, yang didiamkan saja.

Hingga suatu hari dia tampak mengenaskan. Sudah mah semakin kurus, kini kotor pula. Rupanya dia pilek. Badannya bebercak-bercak kuning oleh ingus.

Kalau saya pilek, ingus yang berwarna dan kental menandakan bahwa pilek akan segera berakhir (yah, enggak tahu kalau kata dokter). Tapi, tidak bagi kucing.

Karena badannya sudah ringsek begitu, ibu saya pun berinisiatif membawa dia ke dokter hewan. Mau enggak mau, saya menemani. Ketika kami hendak memasukkannya ke keranjang, dia sempat menghilang. Tapi lalu saya menemukan ekornya menjulur dari mesin di kolong mobil, yang memang sehabis digunakan oleh ibu saya dan baru dimasukkan ke garasi. Agaknya dia mencari kehangatan.

Dia begitu kotor, hingga ibu saya mengambilnya dengan perantaraan kertas. Keranjang berisi dia diletakkan di bagasi, sekadar ruang di balik jok belakang. Baunya di bagasi tercium sampai ke hidung kami yang duduk di jok depan.

Sore itu, klinik hewan yang biasa kami kunjungi lengang. Tidak ada pasien lain. Tukang parkir bilang agar mengetuk pintu dahulu. Setelah mengisi daftar dan mengetuk pintu, oleh yang berada di baliknya kami diminta menunggu sebentar. Sepertinya para dokter sedang mengadakan rapat.

Kami pun dibolehkan masuk, ke ruangan paling ujung.

Kucing dikeluarkan dari keranjang. Dokter takjub dengan keadaannya. Saya pun salut si dokter tidak menggunakan pelindung apa-apa seperti masker dan sarung tangan, sebab si kucing begitu bau dan kotor.

Kami menerangkan bahwa dia hanya kucing yang entah siapa pemiliknya, yang biasa menumpang makan di garasi kami dan belakangan tampak sakit hingga menjadi parah, dan seterusnya, dan sebagainya .... Apologi.

Dokter itu mengambil sisir logam, lalu membersihkan gumpalan-gumpalan ingus yang menempel di tubuh kucing. Saya mengamatinya sambil menjaga jarak dan merasa malu sekaligus kagum akan ketelatenan dan kasih sayang si dokter. Mungkin ini suuzon atau refleksi saya atas diri kami sendiri: saya menduga si dokter diam-diam mencibir betapa tidak welas asihnya kami hingga si kucing dibiarkan dalam keadaan begitu. Selain membersihkan, dia juga memberikan infus dan beberapa suntikan, serta mencekokkan daging ke mulut si kucing sambil bertanya, "Nanti bisa enggak kasih makannya?"

Si kucing lalu dimasukkan ke kontainer untuk diuapi. Dokter itu berlalu, digantikan dokter lain yang memberikan obat dan menerima pembayaran. Total Rp 120.000.

Dokter sempat berpesan agar besok si kucing dibawa lagi untuk diinfus.

Tampaknya ibu saya juga menyadari akan sikap si dokter. Dia bilang, sebenarnya kucing itu bisa kami bersihkan sendiri. Tapi--mungkin juga apologi--saya mengingatkan bahwa kami enggak bermaksud memelihara kucing itu melainkan sekadar memberi dia makan. Ibu saya membenarkan, bahwa kebetulan saja kucing itu sakit di garasi kami sehingga terlihat oleh kami dan daripada mengganggu pemandangan mending coba dibawa ke dokter hewan siapa tahu masih bisa diselamatkan (lalu setelah pulih dibuang).

Tapi, sebenarnya saya juga malu. Tiap kali kami ke klinik itu--yang saya sampai hafal muka dan pembawaan setiap dokternya--sementara orang lain pada membawa hewan ras yang bagus-bagus dan begitu menyayangi piaraan mereka, kami membawa kucing liar yang parah keadaannya sampai-sampai kami sendiri ogah menyentuhnya.

Setibanya di rumah, mau enggak mau saya membersihkan kamar mandi belakang di lantai dua yang biasa menjadi ruang karantina bagi kucing sakit. Kamar mandi ini belum dibersihkan sejak terakhir kali ibu saya memungut dua ekor anak kucing--yang satu lalu mati, dan yang lain akhirnya dibuang. Kertas-kertas koran melekati lantai, sepertinya akibat dulu basah oleh kencing. Butir-butir pasir toilet berserakkan. Belum lagi gumpalan-gumpalan tahi yang sudah mengering. Dengan sarung tangan dan lipatan kain menutupi sebagian muka, saya memasukkan koran-koran najis itu ke dalam plastik, menyapu lantai, lalu mengepelnya dengan Wipol sembari menggosok-gosok untuk menyingkirkan sisa-sisa koran dan kotoran. Setelah lantai agak kering, ibu saya menutupinya lagi dengan lembaran-lembaran koran lalu memasukkan kardus agak besar untuk tempat tidur kucing.

Malam itu kami mencoba memberi makan si kucing dengan alat yang diberikan dokter, berupa suntikan tanpa jarum. Caranya: daging basah (kami biasa membeli Whiskas) dimasukkan ke dalam suntikan lalu ditembakkan ke mulut si kucing. Subuh esoknya, daging diganti dengan telur mentah.

Karena hari itu ibu saya bekerja, saya ditugaskan untuk memberi makan si kucing sendirian tiap beberapa jam sekali. Sampai ibu saya pulang selepas asar, saya memberi makan si kucing dua kali: sekitar pukul setengah sembilan dan sekitar pukul satu. Kali ini saya tidak sok-sokan pakai sarung tangan, tapi tetap menutupi separuh muka dengan kain.

Belajar dari si dokter, saya mencoba untuk menjadi perawat yang welas asih. Sebelum memberi makan, saya bersihkan dulu moncong si kucing dengan tisu yang dibasahi. Saya juga bersabar ketika si kucing melepeh daging yang telah saya tembakkan ke mulutnya, yang saya pungut lagi, masukkan lagi ke dalam suntikan, dan tembakkan lagi. Begitu berkali-kali, sampai kurang lebih satu sendok daging habis. Sesudahnya, saya bersihkan lagi moncong si kucing.

Ibu saya pulang. Sore itu, kami hendak memberi makan si kucing lagi bersama-sama, sekalian memberikan obat. Ibu saya memegangi si kucing, sedangkan saya yang menembakkan makanan. Tapi, si kucing sesekali memberontak. Mulutnya sedikit-sedikit terbuka, seperti yang mencari udara atau hendak mengeluarkan suara tapi tak bisa. Ibu saya menginstruksikan agar saya memasukkannya pelan-pelan, ditambah air.

Tapi, berangsur-angsur kami jadi tidak tega. Keadaan dia sudah begitu menyedihkan. Begitu kurus, begitu kotor, begitu lemah, seperti yang sebentar lagi akan mati. Saya yakin ketika sebelumnya saya memberi dia makan, sudah ada daging yang masuk ke perutnya. Tapi, kok sepertinya tidak berpengaruh?

Ibu saya meminta maaf pada si kucing karena telat membawanya ke dokter. Yah, lagi-lagi telat, karena kami selalu berpikir--berharap--si kucing akan sembuh sendiri. Sebagian kucing memang bisa sembuh sendiri, tapi untuk sebagian lagi sudah terlambat.

Kami ingat pesan dokter agar dia dibawa lagi untuk diinfus. Saat itu sudah sekitar pukul setengah enam sore, sementara pendaftaran ditutup pukul enam. Kami pun mengebut berganti pakaian dan menyiapkan si kucing untuk dibawa lagi ke klinik hewan.

Memang klinik tersebut tidak begitu jauh di rumah. Kami tiba sebelum pukul enam. Kali ini, ada dua pasien lain yang telah lebih dahulu menunggu. Dua-duanya kucing. Yang satu belek dan pilek, sedangkan yang satu lagi sepertinya tidak bergairah setelah melahirkan satu anak yang lalu mati. Sembari menunggu, kami bertukar sedikit informasi tentang hewan bawaan masing-masing.

Setelah kami, ada dua pasien lagi yang datang. Keduanya anjing. Anjing yang pertama sangat besar, tidak mau diam, dan menarik perhatian: golden retriever. Saya mencuri dengar obrolan si pemilik dengan beberapa penunggu lain mengenai perawatan si anjing. Anjing juga memikat untuk dipelihara, tapi kami muslim dengan pengetahuan bahwa hewan itu bernajis berat. Seandainya anjing enggak senajis kucing dan ibu saya tergerak untuk memeliharanya juga, enggak terbayang kerepotan yang bakal menyerta. Apalagi kalau anjingnya segede manusia, seperti golden retriever itu. Kalau dia mati, mau dikubur di mana? Mencari tempat mengubur hewan yang relatif kecil seperti kucing saja kami kebingungan.

Lewat azan magrib, tibalah giliran kami. Kali ini kami mendapat meja pemeriksaan di depan dan dokter yang lain lagi. Melihat keadaan si kucing, si dokter terperenyak (oke, lebay). Dia bilang napas kucing ini sudah satu-satu, tapi, "enggak apa-apalah, ikhtiar," sambil memberikan suntikan. Dia juga mengukur suhu tubuh si kucing dan mengatakan bahwa hasilnya sudah di bawah normal.

Napas satu-satu + Suhu tubuh di bawah normal = Sakratulmaut

Sementara si kucing diinfus, kami duduk diam dan saya mencari-cari apa lagi yang bisa dibicarakan selain bahwa kemungkinan besar hewan itu akan mati. Salah satu pembicaraan adalah tentang cara memberi makan si kucing. Benar kata ibu saya, bahwa makanan harus diberikan pelan-pelan. Kalau dipaksakan, kata si dokter, kondisi kucing yang sudah pengap itu malah akan drop. Timbul rasa bersalah saya. Jangan-jangan, ketika memberi makan si kucing itu sendirian, saya terlalu kasar dan malah mengakibatkan turunnya kondisi dia sepanjang hari itu.

Itu, dan hal-hal lain yang masih menyangkut perkucingan dan sebagainya bikin mood saya jatuh sepulang dari klinik hewan. Setelah mandi dan mengejar kesempatan salat magrib di waktu yang sudah mepet isya, saya tiduran saja di kamar yang remang-remang--seolah-olah tidak mau beraktivitas lagi selain terlelap.

Beberapa kali ibu saya datang, mengabarkan keadaan si kucing. Dia bilang kucing itu sudah dingin, kaku. "Kayaknya udah mati deh. Mau dikubur sekarang atau besok?"

"Ya, besoklah. Masak ngubur malam-malam?" tukas saya sebal. Saya baru mandi, dan malam itu waktunya beristirahat.

Pagi esoknya, saya tidak bersemangat bangun sementara begitu terang ibu saya langsung mencari tempat di halaman. Mau enggak mau, saya turun juga untuk membantu ibu saya menggali tanah yang keras dengan peralatan seadanya. Lubang yang bisa kami buat pun enggak dalam dan lebar, padahal kucing itu mati dalam keadaan memanjang--ukurannya sudah agak besar ketimbang kucing-kucing lain yang pernah kami kubur sebelumnya di halaman. Malah, ujung ekornya sempat enggak tertutup oleh tanah, saking kurang dalam dan lebarnya lubang itu. Saya membolehkan ibu saya menambahkan tanah dari pot-pot bekas hasil percobaan saya berkebun yang lagi-lagi terbengkalai. Saya meratakannya dengan bagian bawah sekop lalu pergi, tidak hendak melihatnya lagi.

Simpulan

Sikap orang terhadap kucing kurang lebih ada tiga:
  • Benar-benar sayang. Tidak sekadar memberi makan, tapi juga merawat dan membersihkannya. Bahkan rela mengeluarkan uang untuk mengebirinya agar tidak ada lagi generasi baru anak-anak kucing yang telantar.
  • Sekadar suka memberi makan, tapi enggan mengurusnya lebih lanjut. Tidak rela mengeluarkan uang untuk mengebiri. Masih punya ketegaan membuang kucing ke tempat jauh, atau, istilah yang lebih "enak": melepasliarkan--seperti yang LSM-LSM lakukan pada hewan-hewan seperti orangutan, macan, dan sebagainya ke hutan, sehingga mereka bisa mencari makan sendiri dan berinteraksi dengan sesamanya secara alamiah.
  • Enggak suka sama sekali. Langsung mengusir begitu didekati. Bahkan ada yang sampai melempari dengan batu atau menyiram dengan air panas.
Sebagai golongan menengah atau nanggung, sikap kami terhadap kucing mungkin antara guilty pleasure dan buah simalakama. Enggak diberi makan, kasihan. Diberi makan, hitung-hitung sedekah tapi malah mengakibatkan ketergantungan.

Cara supaya Ikhlas, Sehat Raga serta Sosial, dan Sebagainya

$
0
0

Atas dorongan teman-teman--walaupun yang bisa hadir hanya satu orang--saya pun datang ke acara ini. Baru ketika berada di lantai dua Masjid Agung Trans Studio Bandung--atau kita singkat saja menjadi Masjid TSM--saya mengecek kebenaran kata teman yang menginformasikan tentang acara ini: banyak video dr. Aisyah Dahlan, CHt. di Youtube. 

Melihat penampilannya di Masjid TSM pada hari itu, yang kurang lebih sekitar dua jam, menarik untuk melihat yang lain-lainnya lagi di Youtube. Bukan hanya dakwah berbalut pengetahuan ilmiah yang beliau sampaikan, melainkan juga caranya yang humoris dan relatable bagi penonton yang kebanyakan ibu-ibu. (Ada juga laki-laki yang hadir, tapi jumlahnya mungkin hanya sekitar dua puluhan orang--sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah perempuan, walaupun tidak sampai menyesaki kedua lantai masjid, seperti kalau Ustad Evie Effendi yang jadi pembicara.) 

Teman yang jadi motivasi utama saya ikut acara ini menambahkan bahwa Bu Dokter juga kerap tampil di TV. Saya baru tahu sebab hampir tidak pernah menonton TV lagi, dan di Youtube pun yang saya tonton adalah banyak video lain.

Acara dibuka dengan memperkenalkan sosok Bu Dokter yang luar biasa. Bukan hanya karena profesinya sebagai dokter berikut keaktifannya menjadi ketua di sana-sini--terutama di lembaga-lembaga yang mengurus soal kecanduan narkoba--beliau juga seorang ibu lima anak yang sebagian di antaranya pada kuliah kedokteran (sebagian lagi masih pelajar dan ada kemungkinan ketika kuliah akan di kedokteran juga #soktahu. Lagi pula kedua orang tua mereka sama-sama dokter.) Enggak heran bila beliau memperoleh penghargaan sebagai wanita inspiratif. Sudah begitu, beliau juga humble dengan mengungkapkan proses belajarnya sendiri.

Masuk ke materi, ada hal-hal menarik (menurut saya) yang saya catat. 

Yang pertama-tama adalah singkatan: SEHAT berarti SEnang HATi sedangkan SAKIT berarti SAlah KIT-a. Entah kenapa itu menarik. Kata Bu Dokter, walaupun Anda menderita hipertensi, tapi hati harus tetap senang. Dan, segala kesakitan yang kita alami boleh jadi akibat perbuatan kita sendiri. Ini mengingatkan saya pada teman saya yang pernah mengatakan tentang isi doa tobat. 

Gambar diambil dari artikel Yufidia, "Doa Taubat dari Maksiat".
Frasa "menganiaya diri kami sendiri" agak sulit saya cerna.
Ketika Bu Dokter bertanya kepada hadirin apa yang terpikir ketika mendengar kata "emosi" (atau kurang lebih begitu, saya enggak ingat persis redaksinya), kebanyakan pada menyamakannya dengan "marah". Padahal tidak. Emosi itu beragam. 

Kata "emosi" berasal dari bahasa Latin "movere" yang berarti "menggerakkan" atau "bergerak". Awalan "e" ditambahkan untuk memberikan arti "bergerak menjauh". (Menjauh dari mana? Entah sih.)

Lalu dimulailah pelajaran Biologi yang bikin melongo.

Beliau menerangkan tentang letak bagian yang mengatur emosi dalam otak, yaitu sistem limbik, juga pentingnya minum banyak air saat lagi banyak pikiran. Air memberikan energi bagi jalannya otak.

Yang menarik ketika beliau menerangkan tentang level emosi. Bentuknya berupa tangga. Anak tangga terbawah diiisi oleh "Apatis" sedangkan yang teratas adalah "Damai". Sayangnya, ketika gooling, saya belum menemukan gambar yang persis sehingga saya coba untuk menjelaskannya dengan kata-kata saja.

Menurut beliau, ada sembilan level emosi. Berikut urutannya dari bawah ke atas.

Apatis
Sedih
Takut
Rakus 
(atau Terburu-buru/Lust)
Marah
Sombong 
(atau Bangga/Pride)
Semangat
Menerima
Damai

Enam emosi terbawah (dari Apatis sampai Bangga) memiliki energi negatif. Tiga emosi terbawah termasuk dalam nafs lawwamah, sedangkan tiga emosi berikutnya merupakan nafs amarah. Barulah tiga emosi teratas yang memiliki energi positif atau nafs muthaminnah, di sinilah Zona Ikhlas.

Emosi-emosi ini berperan dalam naik-turunnya keimanan kita. Jika kita sedang berada di level bawah, entahkah Sedih atau Takut, menurut Bu Dokter tidaklah tepat untuk meminta agar emosi tersebut dihilangkan. Yang tepat adalah meminta agar emosi kita dialihkan atau diangkat, atau istilahnya yang kekinian: move on.

Bu Dokter mencontohkan peralihan emosi ini dari tahap ke tahap dengan cara yang mudah dimengerti, yaitu ketika beliau menghadapi sahabatnya yang baru ditinggal suami ke alam baka. 

Dimulai dari Sedih, sahabatnya menangis. Dalam mendampingi orang menangis, jangan memberikannya tisu karena itu seperti memberi dia tanda untuk berhenti. Padahal mungkin saja dia butuh mengeluarkan emosinya dengan menangis. Tanggapi saja dengan memeluknya dan mengatakan betapa kita turut bersedih. 

Setelah beberapa waktu, emosi sahabatnya naik, dari Sedih menjadi Takut. Sahabatnya takut akan masa depan tanpa suami, padahal anak mereka masih pada kecil. Bu Dokter bilang, di sini justru kita harus merasa senang karena emosinya telah naik.

Emosinya pun naik lagi ke Marah. Sahabatnya marah kepada mendiang suaminya karena dilarang bekerja.

Lalu sahabatnya mulai merasa Sombong, atau lebih tepatnya Bangga, dengan mengatakan bahwa sesungguhnya dia sarjana dari PTN ternama. Maksudnya, dia punya nilai yang membuatnya layak untuk bekerja.

Muncullah Semangat. Sahabatnya meminta untuk dicarikan pekerjaan.

Perkara Sombong atau Bangga ini memang rancu. Baik kata Bu Dokter ini maupun kata Dedy Susanto yang Kuliah Psikologinya di Youtube kadang saya dengarkan, Bangga itu boleh. Bangga berarti menunjukkan keunggulan diri. Yang tidak boleh itu Sombong, sebab berarti mengunggulkan diri dengan merendahkan orang lain. Bagaimanapun juga, kerap kali orang yang membanggakan diri--walaupun tanpa membandingkan dengan orang lain--berkesan sombong. Di sisi lain, saya mengakui bahwa penghargaan diri itu naluriah dan penting untuk self esteem, biar orang enggak merasa dirinya useless amat. 

Tiadanya penghargaan diri bisa bikin orang terpuruk dalam level emosi yang rawan, yaitu Apatis. Apatis itu lebih daripada Sedih. Kalau Sedih, orang masih bisa menangis. Ketika Apatis, dia sudah tidak bisa lagi menangis. Dia cuma diam, tidak berhasrat ingin melakukan apa-apa, merasa tidak berguna, dan ujung-ujungnya ingin mati saja. Kalau sudah terjungkal dari level emosi terbawah begitu, namanya Depresi yang bisa mengakibatkan bunuh diri.

Contoh dari Bu Dokter dalam menghadapi sahabatnya yang sedang beremosi buruk menunjukkan bahwa dalam membantu orang--agar dia senang--kita mesti mengikuti setiap tahapan. Jangan terburu-buru menyuruh dia agar sabar, ikhlas, dan semangat. Ikuti perkembangan emosinya dan perlakukan secara tepat menurut setiap tahapan. Baru ketika dia sampai pada Semangat, kita bisa mengambil tindakan.

Dalam mengatasi emosi sendiri, cara yang paling umum adalah dengan menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Tapi cara ini rupanya tidak lebih efektif daripada melafalkan istigfar. Menurut Bu Dokter, pertukaran udara dalam bernapas dalam-dalam hanya 3 L, sedangkan istigfar mengandung huruf-huruf yang mengeluarkan lebih banyak karbondioksida sehingga akan menarik lebih banyak oksigen sampai 5 L. Untuk bernapas biasa saja hanya 1 L. 

Rupanya pelafalan ini memiliki efek yang berbeda ketimbang sekadar mengucapkan dalam hati, sebab melibatkan fungsi fisiologis. Ketika hanya berucap dalam hati, mungkin napas kita biasa saja. Ketika melafalkannya, ada tarikan napas yang berbeda, getaran suara, dan sebagainya. Ucapkan istigfar berkali-kali hingga level emosi terasa naik.

Menaikkan level emosi penting agar kita ikhlas dalam mengerjakan segala sesuatu. Tanda keikhlasan adalah munculnya senyum. Kalau di akhirat kelak amal perbuatan dinilai menurut keikhlasan maka sepertinya kita perlu melafalkan istigfar banyak-banyak.

Selama ini kita mungkin hanya bisa meraba-raba pengertian ikhlas, seperti tokoh utama dalam film Kiamat Sudah Dekat. Kita bisa mensugesti diri atau mengatakan bahwa kita ikhlas (pakai "insya Allah"), padahal hati masih mengomel. Melalui pemaparan soal tingkatan emosi ini dan posisinya dalam mencapai keikhlasan memberikan perspektif baru. Paling tidak sekarang kita tahu langkah praktis untuk mengupayakan keikhlasan.

Gambar diambil dari sini. Redaksinya enggak persis dengan
yang ditampilkan di layar proyektor saat acara.
Ini kurang lebihnya saja.
Kembali ke soal pelafalan. Bukan cuma istigfar yang penting untuk dilafalkan, tapi juga perkataan sehari-hari yang biasa kita lafalkan pun sebaiknya kita perhatikan. Contohnya dalam menanggapi suami dan mendidik anak. 

Dalam menanggapi suami, misalnya, istri mesti memerhatikan nada. Jangan bernada dingin karena akan mengurangi ketertarikan suami. Istri yang menyenangkan adalah yang bernada centil dan manja, tapi lakukan ini hanya kepada suami--jangan kepada lelaki lain. Lelaki juga perlu untuk selalu dibela, tapi bukan juga sampai mengompor-ngompori.

Dalam mendidik anak, ibu tidak boleh mengatakan yang buruk-buruk. Misalkan, anak lelet dalam mengerjakan PR atau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bermain gim. Ibu mesti bijak dalam memilih kata-kata. Ibu tidak boleh mengatakan hal seperti, "Ngerjain PR aja lama!" atau "Jangan main gim melulu!" bahkan bernada sarkastis, "Main aja terus!" Sebab, secara tidak sadar, anak bisa merekam itu sebagai perintah. Ia akan terus lelet dalam mengerjakan PR. Ia akan terus bermain gim lama-lama. Apalagi kalau ibu sampai mengatakan keburukan anak pada orang lain--entahkah suami atau tetangga---hingga terdengar oleh anak itu sendiri.

Ada istilah "bukan salah ibu mengandung", tapi mungkin "salah ibu ngomong".

Persoalan ini menurut Bu Dokter merupakan ilmu neuroparenting--bisa jadi kata kunci bila ingin menelusuri lebih jauh.

Kalau istigfar berdampak pada diri sendiri, perkataan sehari-hari pada orang-orang di sekitar kita, adapun doa, katakanlah (dalam bahasa saya sendiri), pada semesta alam--hingga ada istilah "Semesta Mendukung". Yang menarik, Bu Dokter mengatakan bahwa bangunan dapat menghambat sinyal-sinyal doa. Really? Apakah kita harus lari ke hutan kemudian teriakkan doa kita? Entahlah soal itu.

Yang jelas, pembicaraan merembet ke berbagai hal yang intinya adalah: kita harus mengusahakan yang terbaik, mulai dari emosi hingga perkataan sehari-hari--inner dan outer--agar kebaikan pun datang kepada kita. Emosi mendapat sorotan penting agar apa pun yang kita keluarkan (outer), entahkah perkataan atau perbuatan, dilandasi dengan keikhlasan yang tentunya bernilai tertentu di mata Tuhan. Tidak hanya itu, menjaga level emosi agar tetap di atas juga penting untuk menghindarkan dari gangguan psikosomatik.

Islam telah memberikan banyak tuntunan. Khususnya hadis--rekaman segala perkataan dan perbuatan Rasulullah salallahu alaihi wassalam--yang setelah diteliti ternyata memang berdampak baik. Tidak hanya anjuran untuk berkata baik atau diam (mengingat bahasan tentang neuroparenting tadi), tapi juga hingga cara beliau membersihkan diri lewat wudu--jika dilakukan dengan sebenarnya-benarnya (: dengan membasuh, bukan sekadar mengalirkan air)--berdampak baik terhadap saraf. Segala tuntunan dari beliau adalah demi kebaikan kita sendiri.

Sebagian orang sami'na wa ato'na, tapi ada juga sebagian lain yang baru yakin akan kebenaran dan kebaikan itu setelah mendapatkan pemaparan ilmiah (biarpun memusingkan) semacam ini. Yang disebut belakangan ini menurut saya sejalan dengan hubungan antara iman dan ilmu yang seyogianya saling melengkapi. Belum lagi memang ada perintah bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.

Mencari Sebab-sebab Kurangnya Gereget Menonton Joker

$
0
0
Gara-gara membaca resensinya di Kompas, ibu saya tertarik menonton film Joker. Saya ditawari untuk menemaninya.

Seperti sebelumnya, saya lebih dulu mencari review-review tentang film tersebut. Di samping resensi yang telah dibaca ibu saya, saya juga memutar beberapa yang ada di Youtube. Sebagian review memuat spoiler. Saya pikir, enggak masalah.

Sampai sekarang, setelah menonton film itu, saya masih belum bisa menentukan apakah itu memang bukan masalah. Sewaktu menonton Ready or Not, biarpun sudah membaca plotnya yang mendetail di Wikipedia, saya enggak kehilangan keseruan.

Tapi, yang satu ini, saya bahkan rela melewatkan beberapa menit--mungkin seperempat jam--untuk meninggalkan studio dan ke toilet menyambut panggilan alam, dan setelah kembali, tidak merasa kehilangan apa pun.

Ada beberapa hal lain yang sepertinya membikin pengalaman menonton bioskop kali ini kurang maksimal.

Biasanya saya menonton siang-siang pada hari kerja, ketika tidak banyak orang berkesempatan keluyuran di bioskop pada waktu seperti itu. Kali ini, karena bersama ibu saya yang bekerja full time, saya menonton malam-malam pada hari kerja, tepatnya sekitar awal waktu isya. Setelah salat magrib di rumah, kami langsung bersiap lalu pergi ke Trans Studio Mall yang letaknya sangat dekat menggunakan kendaraan pribadi. Pada waktu seperti itu, biasanya saya sudah meremangkan kamar lalu hanya membaca buku, dan setelahnya chatting, menonton Youtube, dan sebagainya--aktivitas-aktivitas santai sampai selelahnya--pokoknya supaya cepat tidur supaya cepat bangun. Malam itu, walau berkesempatan untuk beralih sejenak dari kebosanan karena aktivitas yang begitu-begitu saja, begitu memasuki area parkir TSM saya sudah merasakan kantuk padahal mau menonton film berdurasi dua jam lebih. Kantuk dan lain hal, sehingga mood saya surut.

Tibalah kami di loket (atau apalah namanya soalnya bentuknya enggak seperti pengertian di KBBI daring sih). Pemutaran pukul 18.30 WIB tampaknya masih bisa dikejar. Tapi, di samping enggak suka buru-buru, saya melihat bangku yang kosong tinggal dua deretan terdepan. Saya menanyakan untuk pemutaran pukul 19.00, yang rupanya sama saja, kecuali masih ada beberapa bangku tersisa di deretan ketiga dari depan. Mending, pikir saya. Selain itu, masih ada waktu bagi kami untuk melakukan tujuan lain ke TSM. Saya tidak berpikiran untuk menanyakan kekosongan pada waktu pemutaran selanjutnya, yaitu pukul 20.00 dan seterusnya karena itu berarti kami akan pulang semakin malam. Kami pun memilih dua bangku di deretan ketiga dari depan itu untuk pukul 19.00.

Singkat cerita, pintu Teater 1 telah dibuka. Kami masuk, dan, tampaknya bangku deretan ketiga dari depan ini masih terlalu depan.

Sebelumnya saya sudah pernah mengalami duduk di bangku terdepan, literally paling depan, paling kiri pula, sehingga sepanjang film mesti mendongak ke samping kanan atas. Tapi waktu itu saya mendapatkan tiket gratis, jadi ya sudahlah, rezekinya. Di satu sisi, alhamdulillah, dapat kesempatan menonton film gratis. Di sisi lain, mendongak ke samping kanan atas selama sekitar dua jam (entah juga sih durasi sebenarnya) itu enggak enak.

Itu di deretan pertama. Di deretan ketiga rupanya sama saja.

Saya berusaha menghibur diri bahwa setidaknya layar terlihat lebih jelas terlalu jelas sampai kelihatan titik-titiknya.

Film pun dimulai. Subtitle muncul. Saya takjub betapa gedenya huruf-huruf itu--mungkin sebesar kepala manusia. Dan, kalau mata saya berfokus pada subtitle, saya enggak bisa melihat apa yang terpampang di layar sebelah atas. Mata saya mesti bolak-balik dengan cepat dari subtitle ke atas supaya dapat menangkap keseluruhan gambar.

Damn.

Saya menyadari bahwa keuntungan dari duduk di bangku tengah agak ke atas rupanya agar mata dapat menangkap keseluruhan layar, tanpa menyakitkan mata maupun leher.

Lama-lama, entah bagaimana, mata saya dapat menyesuaikan sehingga saya enggak merasakan lagi masalah harus bolak-balik itu.

Kepekaan saya malah beralih ke indra lain. Di samping masalah kedinginan di bioskop yang biasa saya alami, serta menahan hasrat ingin BAK yang tahu-tahu muncul, kali itu saya juga mencium aneka bebauan makanan dan minuman dari samping kiri saya: seorang cowok yang tampaknya mahasiswa dan belum sempat makan entah sejak berapa lama lalu.

Yah, mari lanjut ke tentang filmnya itu sendiri.

Ketika melihat trailer-nya di Youtube, saya merasa film ini akan relatable, bukan hanya bagi saya, melainkan juga banyak orang lain. Mulai dari latar kota tempat tinggal Arthur Fleck--yang nantinya jadi Joker--yang penuh kekacauan, hingga kondisi kejiwaannya sendiri. Mungkin keadaan kita enggak sampai seekstrem itu, cuma hingga taraf tertentu hal-hal negatif tersebut juga dapat kita alami.

Berkat menonton review Youtuber andalan saya soal film terbaru di bioskop--LIANT--saya juga punya perhatian sama cara ketawa Arthur, yang bukan sembarang ketawa melainkan penyakit. Tawanya itu, saya rasakan, sesungguhnya tangis. Ia mau menangis, tapi berusaha dialihkannya jadi tertawa. Apalagi ketika adegan tawanya muncul untuk pertama kali, terlihat jelas bahwa itu enggak jelas tertawa atau menangis. Arthur sangat-sangat sedih di lubuk hatinya: depresi berat. Tapi, mungkin, karena ibunya selalu memanggil dia dengan nama Happy seolah-olah menyugestikan dia untuk bahagia, sedangkan tawa seolah-olah identik dengan kebahagiaan, maka depresinya itu termanifestasikan sebagai gangguan tawa. Mungkin lo.

Gambar dari artikel CNET
"Joker laughs maniacally 
all the way to a box-office record".
Saya bukan pengikut universe Batman, jadi enggak tahu apakah tawa memang ciri khas karakter Joker ini.

Nama Fleck itu sendiri, kalau boleh otak atik gathok, mengingatkan saya sama "flek". Bagi sebagian orang, flek berupa banyak bercak yang menyebar di wajah. Keberadaannya enggak diinginkan, mengganggu estetika, dan repot menghilangkannya, tapi toh sudah dari sananya begitu--alamiah. Umpamanya, flek ini orang-orang seperti Arthur. Kita lihat betapa menyedihkan dia: kucel, miskin, mengundang bully, dan sebagai-bagainya yang bagi sebagian orang mungkin menjijikkan sehingga enggak pantas mendapatkan perhatian--malah kalau perlu disingkirkan saja. Tapi toh Arthur enggak sendiri. Kita lihat di akhir film bagaimana orang-orang mengelu-elukan dia. Dia seperti mewakili kaum yang keberadaannya enggak diinginkan, seperti flek di wajah. Tapi nama Arthur itu sendiri, paling enggak menurut situs ini, bermakna "kuat", "mulia", dan memang merupakan nama raja yang legendaris. Nama Arthur yang keraja-rajaan itu disandingkan dengan Fleck yang dalam bahasa Inggris memang bermakna "kecil"--seperti sebaran flek di wajah--menjadi paradoks yang menekankan karakter si tokoh.

Ceritanya sendiri secara garis besar dan kurang lebih bisa disimpulkan menjadi tentang bagaimana orang kecil berproses dalam melawan ketidakadilan, kegetiran hidup yang ia rasakan. Bagi Arthur Fleck, caranya dengan menjadi Joker si penjahat yang nantinya bermusuhan dengan Batman. Bagi kamu, ya lain lagi.

Banyak di antara kita yang merasa sebagai orang kecil, sehingga tipe cerita begini semestinya relatable. Tapi, ini teori lain untuk mencari sebab kurang geregetnya pengalaman saya menonton film Joker: sepertinya saya sudah mengonsumsi terlalu banyak cerita seperti itu, baik dari orang-orang di sekitar saya sendiri maupun karya-karya fiksi. Terlalu banyak orang kecil, dan pada zaman kelimpahan informasi begini, sebanyak-banyaknya cerita tentang mereka bisa sampai. Seperti hama yang lama-lama resistan terhadap pestisida, jangan-jangan saya pula mulai mengembangkan kekebalan terhadap tragedi kehidupan(?).

Atau, boleh jadi, senahas-nahasnya nasib seseorang, kalau sebagai mekanisme pertahanannya ia cenderung jahat ketimbang baik, memang sulit untuk memberi dia empati. Kepada orang baik saja belum tentu kita bisa berempati, apalagi sama orang jahat. Lo!?

Tips: Kalau mau menonton film yang lagi laris-larisnya, mending tunggu sampai animonya sudah surut. 

Diary of Childhood Memories (October 7- 11, 2019)

$
0
0
Monday, October 7, 2019

My most precious childhood possession 


My little sister wearing the sunglasses.
I can't remember having a possession that was so precious at that time. I remember I had a lot of little stuffs. I remember coming to a friend's house next door with a red rucksacks full of tiny things which I meant to bring to our kindergarten. But I ended up going back home, emptying my bag, and then I only brought things that were necessary (I don't really remember the rest nor what they were).

A thing from the past which popped in my head recently was a little sunglasses with green frame and Batman logo shape. Gosh, I wish I knew where the sunglasses is! I think I've never seen such sunglasses belong to any other people I know.

Another thing was Kesatria Baja Hitam cassette. I don't remember myself as a big fan of Kesatria Baja Hitam or Kamen Rider RX, so I don't know why my parents bought it. Probably because it was just a hype for a kid my age. One memory I can remember about that cassette is that I didn't listen to much of it, even I might only play it for once. The cassettes didn't just contain music, but also dialogues from the series. I was scared to hear the random male voice.


I've just realized as an adult how cool the opening was!

Here comes another thing in mind: a Sailor Mars barbie doll from Japan. My uncle spent some time in Japan back then--seemingly for study. When he came back to Indonesia, he bought me and my cousin some Sailor Moon merchandises. One of them was the Sailor Mars barbie doll. I didn't know that it could speak. When I held the doll, suddenly came a voice from it. I was surprised and threw the doll. Since then, it never spoke any more. I guess I broke something inside when I threw it. But, the doll remained to be one of my imaginary friends until some years later. Some of her hair was gone during the years. Now I don't know where it is.

Tuesday, October 8, 2019

My favorite childhood shows and characters

When I was a kid, I watched a lot of cartoon shows on TV--especially Japanese cartoons. Not only on Sunday mornings, but also on weekdays afternoons: Doraemon, Sailor Moon, Minky Momo, Mojacko, Akko-chan, Ninja Boy etc. My favorite character of all those Japanese cartoons was Doraemon to the point that I collected a lot of its comic books and some merchandises as well, and also tried to be able to drawing the characters from the series--with awful results.

I wished to have a cat robot with useful tools in its pocket like Doraemon, who would both give me fun and solve my problems. It also inspired me, while I was in the first grade of middle school, to be an inventor--you know, that kind of eccentric scientist in the Back to the Future trilogy who makes fantastic things. I drew some awesome tools that I wanted to create had I become one, and forgot it once I learnt that I am bad at Physics.

Diego Gonzales Boneta from Alegrijes y Rebujos 
Picture is taken from Pinterest.
I also liked watching Mexican telenovelas--for kids. Since Amigos X Siempre (SCTV), I kept up with almost each of its successors. My favorites were Alegrijes y Rebujos (RCTI) and ¡Vivan Los Niños! (SCTV) because I found some cute characters there which inspired me to make my own story--kind of imagining Aliando and Prilly Latuconsina playing your characters, just as today's teenage girls who aspire-to-be-authors-on-W*ttp*d do. (Yeah, I was that kind of girl back then, who's not? It's just a normal teenage girls' thing!)

My treasure: a ¡Vivan Los Niños! postcard--bonus from Tabloid Bintang.
My favorite character was Santiago, the boy with glasses on the left side.
Wednesday, October 9, 2019

Things I created when I was a child

I remember that as a child I had already loved to make up characters, stories, writings, even a song. I showed some of them to my cousins and my friends.

I was inspired to create by looking around me. For example, after reading a lot of Fujiko F. Fujio comic books, in my mind I developed characters that were similar to those Japanese mangaka had created. Another example, when I saw a friend wrote stories in a notebook, I followed her way by making my own collection.

Of all the things that I had tried to create, mostly were about characters and stories. That's why growing up I thought that I was to be an author. 

Too bad that I lost my first writings: my first diary which is a gift from my cousin, my collection of essays in a notebook, and my collection of stories in another notebook. Those were from primary school years; not much left, only some latter diaries. I started to become aware of keeping my scribbles since middle school. 

Some people told me that they just burnt what they had created: stories, sketches. But I don't know why I feel such importance to keep such things, as if they're the only legacy I could give for my kins.

Thursday, October 10, 2019

Places I remember fondly from childhood

When I was a kid, my father loved to take our family to go on vacations--from company trips to visiting our extended-families in other regions. The places were various: beaches, swimming pools, temples, tourist parks, zoos, malls, etc.

He was really generous. He didn't only bring his nuclear family (: me, my siblings, and our helpers), but also his siblings, nephews, nieces, and so on. Sometimes it took more than a Kijang-sized car to bring the whole family. 

Pantai Baron as I remember it.
Picture is taken from Garasi Jogja.
There were some fun experiences that I still remember, like when my father tried to help my cousin out of a swimming pool (which I forget the name of the place) but then he slipped into the water, and also when my other cousin flew me over the transition between fresh water and salt water in Pantai Baron.

I assume that my father just brought us to any place that was hype in those days, like today people would say some places are Instagramable, though we didn't go there just to put some new pictures on a social media (which even did not exist yet). 

I think such experiences had developed my sense of adventure. I dreamed of being a tradventuller--traveller-adventurer (yeah, I know that's weird), just like Dora the Explorer (even though that time Dora wasn't born yet, I guess) with a talking animal as a sidekick.

Friday, October 11, 2019

My favorite picture books when I was little



This book above is not my favorite picture book. Actually I don't remember which. I might have some other picture books before this one, which I don't remember well. This is the only picture book that is still intact. When the question "What were your favorite picture books when you were little?" came up, this one just popped in my mind. This is the latest picture book I had before I developed interest in comic books like Doraemon.


Picture is taken from Tokopedia.
As I write this, I remember that I did like reading 31 Cerita Bada Isya pretty much and I have several of the books. The series are also a picture book kind, right? (Just two days ago I googled to find out what exactly a picture book is, and how it is different from illustrated book.)

I don't think I was fond of picture books very much. Once I got to know comic books, I just read that kind of book on and on. And I also loved reading books--thin or thick--without much illustrations. And once I read more and more walls of texts, I left comic books behind. Until now. Sometimes I read books with pictures and sometimes I find that the pictures are distracting. (I don't know which I should concentrate on first: the text or the picture?)



There are prompts from 500 Prompts for Narrative and Personal Writing.
Tip: do one prompt each day to practice writing in English FOR 15 MINUTES ONLY.

Bebas yang Whatever, yang Penting Nikmat Ditonton

$
0
0
Melihat dari trailer-nya, film ini tampaknya enggak menarik. Enggak kelihatan ceritanya tentang apa. Tentang persahabatan? Saya enggak menggemari tema itu secara khusus. Embel-embel bahwa film ini adaptasi dari film Korea yang sukses, Sunny, juga enggak menarik saya. Saya bukan penggemar kokoreaan. Saya juga belum pernah menonton Sunny, dan enggak tertarik mencari. Ada yang bilang, film ini kurang lebih seperti AADC. Saya juga bukan penggemar AADC.

Tapi, saya punya impian jadi anak SMA tahun '90-an karena hal tertentu, saya punya ketertarikan sama tahun '90-an. Jadi saya penasaran melihat bagaimana latar tersebut ditampilkan dalam film ini.

Jadi, ini film kedua yang sengaja saya tonton sendirian tahun ini, eh, seumur hidup, setelah Terlalu Tampan.

Menguatkan yang ditampilkan di film,
karakter Suci yang sepertinya introver memang misterius,
sampai-sampai di poster pun enggak ditampilkan versi dewasanya.
Gambar dari IMDb.
Film ini katanya mulai diputar di bioskop pada 3 Oktober 2019, dan saya baru berkesempatan menontonnya pada 16 Oktober, berarti kurang lebih hampir dua minggu setelah premier. Sejak sekitar seminggu sebelumnya saya sudah ketar-ketir kalau-kalau film ini keburu dicabut dari bioskop, tapi rupanya pada Rabu itu belum.

Saya tiba di TSM pukul 11 lebih sedikit. Pintu kaca XXI baru dibuka sekitar seperempat jam kemudian--saya mengamati dari jauh. Ketika tiba giliran saya di muka konter, saya melihat bangku-bangku strategis sudah pada terisi--sekitar separuh tempat duduk teratas. Saya pun memilih bangku C4. Tadinya saya mau C5, tapi enggak boleh karena cuma seling satu bangku dengan bangku sebelahnya yang sudah dipesan. Aturannya, kalau ingin ada jarak dengan penonton lain, mesti seling dua bangku. Baiklah. Tiga puluh lima ribu rupiah.

Jadwal pemutaran 11.45 WIB, tapi pintu teater sudah dibuka sejak 11.30. Saya jadi orang pertama yang masuk ke studio.

Para calon penonton lain pun berdatangan. Saya perhatikan bahwa semuanya perempuan dan sepertinya enggak ada yang sendirian--paling sedikit berdua. Ini film tentang nostalgia dan persahabatan. Kemungkinan mereka datang untuk bernostalgia bersama sahabat(-sahabat).

(Baru ketika film berakhir dan lampu-lampu kembali dinyalakan, saya melihat ada satu penonton laki-laki di bangku ujung atas, sepertinya menemani entah siapanya bersama para teman segeng.)

Begitu lampu-lampu dipadamkan dan layar menampakkan gambar bergerak, saya pindah ke bangku C5.

Oh, sepertinya film tentang Susi Susanti, yang katanya rilis 24 Oktober 2019 nanti, akan menampilkan latar '90-an juga. (Cek sisa duit.)

Menuruti tujuan, berikut adalah elemen-elemen tahun '90-an yang saya temukan dalam film ini:

  • Game Watch
  • Stensilan yang diselipkan di balik majalah Mobil Motor
  • Sepatu Kasogi
  • Bahasa gaul, dengan menyelipkan "ga" di setiap suku kata sehingga kedengarannya jadi seperti bahasa Rusia; ada juga yang pakai "ok"--contoh: "sepatu" jadi "sepokat"
  • Kue kepang
  • Telepon umum
  • Edi Tanzil
  • Nasi goreng intel
  • Petugas militer berpatroli di pinggir jalan
  • Pemberedelan media
  • Telepon rumah dikunci
  • Tawuran pelajar
  • Lemon Lime + pil setan?
  • Mahasiswa militan aktivis demonstrasi yang masih dibiayai orang tua dan dua puluhan tahun kemudian katanya ikut makan duit rakyat
  • Lagu-lagu Indonesia tahun '90-an, tentu saja, meski ada juga lagu tahun '80-an--Chrisye, "Sendiri"--yang nyelip
  • Tokoh-tokoh anak muda yang populer pada masa itu, seperti Daan P-Project, Sarah Sechan, Widi AB Three, dan seterusnya, menjadi pemeran
  • Gaya penampilan yang mengingatkan pada idola-idola anak muda pada masa yang belum lama berlalu kala itu (halah, belibet), misalnya tokoh Andra seketika mengingatkan saya sama Onky Alexander Catatan Si Boy, sedangkan untuk tokoh Suci, saya mendengar komentar bahwa dia seperti Meriam Bellina
  • Reza Rahadian, atuh lah, ada enggak sih film Indonesia yang enggak pakai dia?!?!?!
  • Darius Sinathrya yang untuk kesekian kalinya memerankan bapak-bapak menawan
  • Bisma Karisma yang enggak kelihatan kayak Bisma Karisma, tapi aa-aa dari Wado yang cinta Bekasi
Tampaknya, para penonton lain pada lebih tua daripada saya. Mereka heboh sendiri ketika sebagian elemen '90-an itu muncul. Saya sendiri, yang lahir pada awal era '90-an, dan menjadi anak TK lalu SD sepanjang dekade tersebut, rupanya masih terlalu kecil untuk mengakrabi semua elemen tersebut. Yang saya kenal paling-paling Game Watch, kue kepang (yang juga menjadi favorit saya--saya ingat pernah minta dibelikan ayah saya di toko dekat rumah), telepon umum, serta lagu-lagu.

Jadi, rupanya saya belum cukup umur untuk ikut bernostalgia lewat film ini. 

Itu, berikut latar ibukota, lingkungan sosial-pergaulan yang ekstrover menengah ke atas, dan semacamnya, sehingga saya enggak begitu relate. Dalam hal-hal tersebut, film ini memang mengingatkan sama AADC universe: hampir-hampir dream-like dengan berbagai kemewahan yang ditampilkannya, tapi konflik yang sederhana lagi wajar menjadikannya membumi dan heartwarming.

AADC versi '90-an?
Gambar dari artikel Tribun News.
Ada momen-momen ketika, seandainya saya menonton film ini tanpa membayar, bukan di bioskop, atau tidak bersama teman, kemungkinan saya akan angkat kaki. 

Ada juga adegan-adegan yang bikin saya mengernyit karena merasa aneh, bingung, kaget, bahkan berpikir that's good to be true!!! (AWAS BOCORAN.) 

Misalkan, sewaktu Jojo--si cowok melambai--ikut menginap bareng teman-teman ceweknya. (Tapi toh alasan lain saya menonton film ini adalah karena ingin melihat si Jojo remaja yang pemerannya ternyata sudah enggak remaja, #eh.) 

Misalkan lagi, sewaktu Vina beli Lemon Lime lalu tahu-tahu didekati Onky Alexander Andra yang menawarkan sebutir obat. Bukankah tadinya ada ibu-ibu yang menjual Lemon Lime pada Vina, lalu kenapa tiba-tiba jadi tinggal dia berdua Andra--di ruangan segede itu??? 

Misalkan yang lain lagi, ketika pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan semua anggota geng Bebas padahal yang bikin onar kan Andra. Saya merasa ada yang hilang. Memang sih, geng itu diperlihatkan "memberdayakan" adik-adik kelas untuk melayani mereka, berantem sama geng sekolah lain, dan apa lagi, ya? Tapi adegan-adegan itu bagi saya enggak memberikan cukup kesan bahwa mereka geng yang berbahaya di sekolah itu sehingga harus dipisahkan dengan dikeluarkan.

Misalkan yang lain lagi, lagi, yaitu ketika Kris membebaskan Gina dari segala beban finansial dengan memberi dia apartemen, biaya sekolah untuk anak-anaknya, rehabilitasi untuk ibunya, serta pekerjaan di perusahaan .... Rasanya seperti menonton suatu acara reality show di TV.

Judul Bebas itu sendiri menarik untuk diinterpretasikan (halah, bahasanya) lebih lanjut, dikaitkan dengan isu-isu yang muncul dalam film sebagai berikut.
  • Situasi pada masa itu yang menjelang tumbangnya Orde Baru
  • Pesan-pesan feminisme bahwa perempuan harus berani, perempuan yang lebih daripada sekadar istri dan ibu, perempuan sebagai pengusaha kaya raya dan sukses (tapi cerai dan hampir-hampir enggak punya keluarga), perempuan sebagai pencari nafkah tunggal atau pengganti suami, perempuan sebagai generasi sandwich, dan sebagainya
  • LGBT
Yah, terserah yang bikin film lah, namanya juga Bebas.

Bagaimanapun juga, betapapun saya bilang enggak begitu peduli sama ceritanya, ada satu adegan yang berhasil bikin saya terharu, yaitu ketika Vina remaja berpelukan dengan Vina dewasa. Saat itu, Vina remaja baru mengetahui bahwa cowok yang disukainya ternyata--BOCORAN, NIH YE!!!--sudah berhubungan dengan si cewek cover girl

Siapa sih yang enggak relate?

I know that feeling too damn well.

Adakalanya kita tak bisa bebas dari rasa tak bisa memiliki (#eaaa).

Secara keseluruhan, saya enggak menyesal menonton film ini di bioskop. Film ini memberikan wawasan ke-'90-an yang sedang saya perlukan, dan mengalir tanpa berkesan sinetron sama sekali.

Diary of Childhood Memories (October 14-18, 2019)

$
0
0
Monday, October 14, 2019

Feeling embarrassed by things I used to like

What did I use to like?

I don't like the feeling of embarrassment itself. I like to just forget about that.

Well, now I remember that I liked writing diary, since my cousin gave me one as my 9th birthday present, I mean, that was my first diary. And wrote it one page each day. I didn't know that it could be addictive.

But then my friends found out that I had diaries. They tried to read them when they came to my house. I was so embarrassed that I threw my diaries to the roof. I don't remember how I saved them afterwards, or I just let them disappear for ever. What I know for sure is that I don't have them anymore and it's a shame: I lose some of my history.

That didn't make me quit writing diary, though. It's sort of a basic need for me. Just as I eat then I need to defecate; I gather experiences from anywhere then I need to write them down though not all.

I also felt embarrassed for all the bad emotions and negative thoughts I've ever had. Though I can't help those, like to have such things is indeed my default.

Tuesday, October 15, 2019

Wishing to return to moments from my past

Yes, I do. I did some things so bad that I won't tell about them here. I wasn't even big enough. I think those were just impulsive actions any kid might do. Nevertheless, those are sins and I was not supposed to do them.

Besides that, there were decisions. Concerning this, even if I could go back to the past, I don't think I would change much. I have a feeling that things were just going to be the same eventually because I would be just what I am. I don't like to think much of this.

Anyway, going back to the past is impossible. No need to even think about that, just a waste of time. I don't want to live life with regrets. I might do a lot of mistakes, I always do. But, mistakes are there for us to learn, aren't they? And we have a right to choose what mistakes we would learn.

Now, I want to just live the present, make the best of my current time.

Wednesday, October 16, 2019

A toy I wanted as a child but never got

There was, but I got that by doing something I won't like to tell anyone. I wanted it more, but I knew that was actually wrong, so I didn't do it any more. And I don't remember why I didn't just tell my parents that I wanted that sort of toy. Maybe I was reluctant. Maybe I already had too many toys, so I didn't deserve to ask more. That's something I don't like to talk about more.

Speaking of toy, I had various kinds of toy: dolls, wooden blocks, musical instruments, etc. Maybe I just knew that I didn't lack of anything that I shouldn't ask my parents for more. Thus, when I wanted something more, so badly, I would deal with my desire on my own way.

I didn't have all kinds of toys, though. When I visited my cousins' houses, I saw collection of toys that I didn't have and I didn't really want them anyway.

My parents didn't buy me toys such as electronic games: Game Watch, Nintendo, and so on. If I wanted to play Nintendo games, like Mario Bros, Donkey Kong, Tetris, I must wait until vacation when it was time for me to sleep over in my cousin's house for few days. I think I had a Game Watch, and maybe a Tamagotchi, but seemingly I got them later after my friends and cousins had them first. And it turned out that I didn't really like such games--until now.

Thursday, October 17, 2019

Objects that tell the story of my life

There are family photo albums and my diaries.

It's pretty sad when I started this "pardon my english"-in-15-minutes daily journal and I needed to look at the albums, and saw how my parents--especially my father--seemed to love me so much. I am the eldest child. And there was only me for the first three and a half years this family started. Recalling those photos shed tears in my eyes.

Fast forward, I read my oldest diary and saw how things had been changing. I grew to be so bitter and full of negative thoughts.

And now, I don't know any more as to how I should be.

The old photos must be inciting some determination inside to give back the love. But, the diaries make me understand how I have become this way. And how can I change things that have been happening just the same for my whole life? It's kind of an inevitable fate.

I know that people can change, even though it takes decades.

Friday, October 18, 2019

My best sleepover memories

Before middle school years, I used to sleep over for few days during vacation at my cousin's house in Cimahi. She lived in a military neighborhood, whom her parents worked for. She is just about a month older than me. Sometimes there was another older cousin from other city joined us.

There were some bad experiences I had with them. But mostly I enjoyed the moment. My cousin had more things than me: games, books, magazines, comic books, cassettes, money, cats, etc. So I got a lot of references and treats from her: Nintendo games, Harry Potter, Lupus, Sheila on 7, Hello Kitty and Dear Daniel dolls from McDonalds, my first diary, Gareng and Petruk comic books, etc. Well, her mother was quite generous.

Dawn in the morning, we would walk to Lapangan Kodam near her neighborhood. I loved the moments.

Too bad, since middle school, we didn't get along well any more--until now. I don't know why. It seemed that it was always me who must call her first; it was always me who went to her house. It was hardly ever the other way around. Eventually I gave up.



There are prompts from 500 Prompts for Narrative and Personal Writing.
Tip: do one prompt each day to practice writing in English FOR 15 MINUTES ONLY.

Bukan Sekadar Pameran Aurat, Melainkan Pemahaman Ekonomi

$
0
0
Buat cowok-cowok, trailer film ini mestilah sangat mengundang. Enggak heran pada siang itu, di Ciwalk XXI, saya melihat ada beberapa cowok yang datang sendirian--sementara penonton lain paling tidak datang berdua. Yang mengherankan, ada beberapa orang yang tampaknya satu keluarga: ayah, ibu, dan anak lelaki yang sudah remaja--ibunya berjilbab panjang pula. Menonton bersama kekasih pun sebenarnya berpotensi bikin risi. Adapun saya datang karena diajak teman yang lagi perlu hiburan setelah mengalami suatu peristiwa enggak mengenakkan menyangkut kewanitaan.

Gambar dari Geek.com.
Bagaimanapun juga, film ini lebih daripada sekadar pameran aurat. Lagian, kita punya Lembaga Sensor Indonesia. Jadi, sudah mah dilabeli "untuk 21 tahun ke atas", ada beberapa bagian yang disensor pula. Sebagian penonton mungkin kecewa, buat saya sih hore alhamdulillah. Fu fu fu.

Saya tidak begitu merekomendasikan film ini. Ketimbang adegan-adegannya yang sexy, lebih karena saya mendapati penonton cewek di kanan-kiri saya pada ketiduran. Maksud saya, film ini mungkin enggak rame amat. Pemandangan-pemandangannya yang seronok pun sepertinya enggak dimaksudkan untuk menjadikan film ini semiporno atau semacamnya, tapi sekadar menampilkan keadaan dalam dunia yang diceritakan demikianlah adanya. 

Meski begitu, ada juga bagian yang menyentuh dan pelajaran yang dapat saya peroleh dari film ini.

Awas bocoran.

Jalan cerita film ini secara cukup mendetail bisa dibaca di Wikipedia. Singkatnya, film ini bercerita tentang sekelompok penari-tiang/penghibur-malam/semacamnya yang memperdayai lelaki-lelaki kaya untuk mencari nafkah. Tokoh sentralnya sebut saja Dorothy dan Ramona. Masing-masing adalah keturunan Asia dan Latin, yang di Amerika Serikat sana--latar cerita ini--bisa dibilang merupakan minoritas atau ras yang terpinggirkan. Bukan hanya itu, mereka juga sama-sama ibu tunggal dari satu anak perempuan. Ramona merupakan ketua kelompok ini, sedang Dorothy--katakanlah--wakilnya.

"Keibuan adalah gangguan jiwa," begitulah kata Ramona berkali-kali. Maksudnya, mungkin, kalau sudah menjadi ibu, perempuan bisa melakukan apa saja agar ia dan anaknya dapat bertahan hidup. Ucapannya itu seolah-olah untuk menjustifikasi gagasannya mengerjai pria-pria pencari hiburan dengan cara berisiko. Yang menarik adalah, bertentangan dengan slogan tersebut, diceritakan bahwa ibu Dorothy justru kabur setelah menitipkan anaknya di tempat sang kakek-nenek. Mungkin ibu Dorothy hanya berusaha untuk menghindari "gangguan jiwa". Untung Dorothy tidak hendak meniru ibunya dan mau berbuat apa saja demi putrinya, termasuk menyerah kepada polisi.

Bagian yang menyentuh saya dalam film ini, yang mungkin bisa dikatakan sebagai titik balik ke babak selanjutnya, adalah ketika kelompok usaha mikro (?) mereka mulai keterlaluan. Mereka tidak hanya menyasar pria-pria kaya yang busuk, tapi juga pria baik-baik bernasib nahas--sebut saja Doug. Doug baru saja ditimpa kemalangan bertubi-tubi: rumahnya terbakar, bercerai dengan istri dan putra satu-satunya .... Kelompok mereka mendekati Doug, mengambil uang perusahaannya, dan meninggalkan dia begitu saja. Dorothy menjadi tidak tega ketika dengan memelas Doug menelepon dia. Tapi rupanya Ramona tidak berbelas kasih.

Saya menangkap bahwa film ini adalah perjuangan tentang orang-orang kecil yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Mereka hanya ingin bisa bertahan hidup tanpa bergantung kepada orang lain. Tapi ketika orang kecil mulai saling memakan, merugikan sesamanya, perjuangan itu tidak lagi manusiawi. Tidak ada lagi simpati. Mereka yang masih punya hati nurani akan terguncang. Saya kira itulah yang dirasakan Dorothy dengan Doug. Ramona, yang pada awalnya seperti punya tujuan baik untuk memberdayakan sesamanya, menjadi rakus dan tak pandang bulu. Kepercayaan Dorothy pada Ramona pun runtuh.

Ramona punya pembelaan, tentu saja. Dia bilang, dunia ini pada umumnya tak ubahnya seperti kehidupan di klub telanjang yang mereka lakoni itu. Mereka memberi kesenangan kepada pria-pria, mempermainkan nafsu mereka, dan sebagai imbalannya mereka dapat mengambil sebanyak-banyaknya dari para lelaki itu. Ini sekadar soal "give" and "take"; begitulah dunia berjalan.

Kalau boleh mengembangkan perumpamaan yang diutarakan Ramona tersebut, jangan-jangan itu merupakan sindiran terhadap laku konsumtif manusia pada umumnya. Kita tak ubahnya pria-pria korban nafsu itu, yang dilenakan oleh bujuk rayu keindahan media, iklan, dan sebagainya, sehingga rela menukarkan yang kita punya dengan berbagai tawaran itu tanpa peduli jumlah yang kita keluarkan. 

Dan, seperti para pria korban The Hustlers, harga diri menahan kita dari mengaku dan mengadu. Lagian kita tak punya bukti selain aib yang kita sadari sendiri, yang tak mungkin kita paparkan kepada orang-orang lain malah sebisa mungkin kita tutupi. Mungkin, hanya orang-orang seperti Doug--yang sudah tidak punya apa-apa, tidak tahu mesti berbuat apa lagi, terdorong oleh keputusasaan--yang dapat menyuarakan persoalan ini kendati pada awalnya berkali-kali diabaikan.

Hal lain yang menyentil adalah diulang-ulangnya dialog tentang keinginan Dorothy dan Ramona untuk menjadi mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. Padahal cerita film ini menunjukkan betapa untuk mencapai tujuan tersebut mereka saling menunjang baik secara emosional maupun finansial. Mereka menjadi saling terikat sehingga menganggap satu sama lain sebagai saudari. 

Menurut saya, ini pesan bagus untuk mempertanyakan arti "kemandirian" itu sendiri. Rupanya, untuk menjadi "mandiri" sekalipun, kita perlu bahu-membahu.

[#90anBanget] Rezeki Nomplok Telepon Umum

$
0
0
MASYARAKAT pemakai telepon umum secara tidak sadar telah menyubsidi PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Hal ini diketahui dari jumlah pulsa telepon umum dibandingkan dengan jumlah koin yang masuk.

Tahun 1992 Telkom menghitung penerimaan dari sektor telepon umum sebanyak Rp 52,4 miliar, sedangkan pulsa yang digunakan hanya 641,7 juta. Jika tarif satu pulsa adalah Rp 50, penjualan pulsa lewat telepon umum mestinya sekitar Rp 32 miliar.

Lalu kelebihan Rp 20 miliar itu dari mana? Menurut juru bicara Telkom, Doddy Amarudien, uang kelebihan itu berasal dari ketidaktahuan masyarakat konsumen.

Menurut Doddy, kebanyakan orang diperkirakan bicara 1 pulsa. Kalau dia membayar Rp 100, mestinya dia mendapat uang kembalian Rp 50. Sialnya, Telkom belum mempunyai alat pembayar uang kembalian. Namun, orang bisa menggunakan telepon lagi untuk 1 pulsa dengan memutar nomor lain tanpa perlu memasukkan koin baru. "Sisa 1 pulsa ini yang umumnya tidak digunakan," kata Doddy.

Jumlah telepon umum di Indonesia sampai Juli 1993 sudah terpasang 45.840 buah dengan rincian 39.073 untuk koin dan 6.767 untuk kartu. Menurut Doddy, penggunaan kartu untuk telepon umum akan diperbanyak. Selain lebih aman dibandingkan dengan telepon koin, kartu telepon menggunakan kredit masyarakat untuk Telkom (orang bayar sebelum pakai). Penjualan kartu telepon tahun 1992 ternyata menghasilkan Rp 28,6 miliar--cukup tinggi juga. 

Penghasilan Telkom secara keseluruhan tahun lalu tercatat Rp 2,4 triliun, sekitar Rp 1,8 triliun berasal dari para pelanggan telepon, sedangkan laba BUMN yang masih memonopoli jasa telepon ini, Rp 195 miliar.



Sumber: Tempo, No. 31 Tahun XXIII - 2 Oktober 1993



Nih, kalau kamu lupa bahkan tidak tahu
seperti apa wujud rupa dan bentuk telepon umum.
Gambar dari artikel Bobo.id, "Apa Kabar Telepon Umum Kita?".
Viewing all 458 articles
Browse latest View live